Menguak Kisah Cinta Saija Adinda yang Kandas Akibat Kekejaman Kolonialisme di Tanah Jawara
LEBAK – Pemerintah Kabupaten Lebak melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), sering kali menggelar Pemilihan Duta Pariwisata Saija-Adinda untuk para kaula muda yang mempunyai kemampuan dalam bidang akademisi.
Hal itu digelar bertujuan untuk mempromosikan berbagai ragam Kebudayaan dan Pariwisata yang dimiliki daerah itu ke kancah Nasional maupun Internasional.
Belum lama ini, Kabupaten Lebak menggelar pemilihan Duta Pariwisata Saija-Adinda dalam tahap Grand Final yang dilaksanakan di Hall Univertas Latansa Mashiro. Dalam acara tersebut turut dihadiri Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya, pada Sabtu (22/7/2023).
Dengan demikian, nama Saija-Adinda menjadi ikon kebanggaan Pemerintah Kabupaten Lebak.
Namun, tahukah Anda nama Saija-Adinda merupakan sosok yang cukup fenomenal, dimana kisahnya ditulis oleh Max Havelaar atau dengan nama pena Multatuli di masa kolonialisme pada awal abad ke-20 silam.
Dilansir Fakta Banten dari berbagai sumber. Kisah Saija-Adinda sebuah karya Max Havelaar yang pertama kali secara terbuka mengungkap nasib buruk penduduk pribumi di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Karya itu ditulis oleh seorang asisten Residen di Lebak pada 1860.
Dengan menggunakan nama pena Multatuli, Eduard Douwes Dekker mengungkapkan penderitaan rakyat Banten yang tidak hanya disebabkan karena penjajahan, tetapi juga karena kesewenang-wenangan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara, dan Demang Pajangkujang Raden Wira Kusuma.
Sebab buku yang lahir di tanah Lebak inilah, tanah Hindia (Indonesia) mengalami banyak perubahan, mulai dari politik etis, lahirnya kaum intelektual, kebangkitan nasional hingga kemerdekaan.
Saija-Adinda adalah satu potret betapa buruknya sistem kolonial dan kemiskinan di Banten pada 1860 yang digambarkan dalam sebuah kisah cinta yang tidak dapat bersatu dalam Max Havelaar.
Saija merupakan anak seorang petani miskin, sama seperti keluarga lainnya di Lebak. Keluarga Saija dibebani pajak yang tinggi, dan pemerasan oleh Demang dan Bupati Lebak.
Ibu Saija sakit dalam penderitaan hingga kemudian meninggal. Sedangkan ayahnya pergi tak pernah kembali, karena takut tak dapat membayar pajak. Dalam kesengsaraan selimut kolonialisme, Saija tumbuh menjadi pemuda yang tangguh dan menjalin cinta dengan Adinda, sahabat kecilnya.
Saija memutuskan merantau ke Batavia, menjadi pengurus kuda dan pelayan salah seorang Belanda. Dia ingin mengumpulkan uang untuk melamar Adinda. Namun, sekembalinya Saija setelah bertahun-tahun di Batavia, Adinda telah pergi meninggalkan kampung halamannya.
Adinda dan ayahnya pergi dan bergabung dengan para pejuang melawan tentara Belanda di Lampung. Saija pun menyebrangi lautan dan menyusuri jejak mereka.
Namun, ternyata Adinda telah meninggal dengan tubuh penuh luka setelah diperkosa tentara Belanda dalam pertempuran. Saija pun memberontak hingga sebuah bayonet tentara Belanda membuatnya menyusul Adinda.
Cinta yang dulu pernah diikrarkan menjadi salah satu korban kolonialisme bangsa asing dan keserakahan pejabat bangsa sendiri.
Kisah Saija dan Adinda yang tertulis dalam sebuah karya Multatuli telah banyak menggetarkan banyak jiwa hingga hari ini, termasuk pemilik sistem kolonialisme di Hindia Belanda pada awal abad IX. (*/Yod/Aji)