Oleh: Hersubeno Arief*)
Apakah Ahok korban atau pahlawan? Bila kita mengamati dan mencermati hiruk pikuk politik saat ini jawabannya jelas, Ahok adalah korban yang sedang coba dijadikan pahlawan.
Apakah Ahokers ‘remaja’ yang sedang jatuh cinta atau segerombolan manusia yang sedang murka? Jawabannya jelas mereka adalah sekelompok ‘remaja’ yang sedang jatuh cinta dan sedang coba dimanipulasi untuk berbuat angkara murka?
Apakah Jokowi pelindung atau menjadi batu sandung bagi Ahok dan para pendukungya? Jawabannya sebenarnya adalah “pelindung” tapi sekarang dianggap sebagai batu sandung dari ambisi kelompok-kelompok yang sedang mencoba memanfaatkan Ahok sebagai pintu masuk disintegrasi bangsa.
Pahlawan atau korban
Coba perhatikan track record Ahok. Dia masuk dalam kelompok hanya segelintir etnis cina yang mau, berani dan bersedia menjadi politisi. Apa artinya?
Ahok adalah jenis manusia yang berbeda dibandingkan etnis cina di Indonesia umumnya yang hanya maunya berdagang dan memikirkan diri sendiri.
Kalau mau aman dan nyaman, sebenarnya Ahok bisa memilih menjadi pedagang. Tidak usah masuk ke dunia politik yang di Indonesia situasinya ngeri-ngeri sedap.
Tapi Ahok memilih terjun ke dunia politik. Dia masuk ke parpol, terpilih menjadi bupati Belitung Timur. Nekad maju memperebutkan kursi Gubernur Bangka Belitung, tapi kalah. Banting stir menjadi anggota DPR RI dari Golkar dan kemudian menjadi calon Wagub DKI Jakarta berpasangan dengan Jokowi.
Peruntungan Ahok kali ini baik, bahkan sangat baik. Dia terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI dan nasib sangat baik kemudian membawanya menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Di sini lah pusaran politik mulai menggulung Ahok. Ada kelompok-kelompok yang mencoba menjadikan Ahok sebagai eksperimen politik.
Ada yang mencoba membuat sebuah skenario dan mengubah roadmap politik Indonesia. Ahok di-branding sedemikian rupa sehingga sangat populer di media.
Ketika popularitas dan elektabilitasnya sangat tinggi, Ahok didorong mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI. Bila berhasil maka Ahok akan didorong menjadi Wapres pada Pilpres 2019 dan kemungkinan besar akan maju sebagai Capres pada 2024.
Jangan terlalu cepat menuduh bahwa ini sebuah teori konspirasi. Atau sekadar sikap paranoid. Ahok sendiri pernah mengucapkan bahwa Pancasila telah terealisasi bila minoritas menjadi penguasa Indonesia.
Entah sebuah kebetulan atau tidak, Ahok mengucapkan hal itu ketika menyampaikan sambutan pada ulang tahun mantan politisi Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Sabam Sirait di Balai Kartini, Jakarta (15/10/2016). Parkindo adalah salah satu unsur partai yang kemudian melebur (fusi) ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) cikal bakal PDIP ketika Rezim Soeharto melakukan penyederhanaan partai (1973).
Media mengutip ucapan Ahok seperti ini. ”Kalau suatu hari yang dicap minoritas di negeri ini konstitusi menjamin bisa menjadi presiden republik ini, maka atap dan pagar rumah Pancasila lengkap kita bangun,” tegasnya.
Jadi kesimpulan Ahok dan mungkin sebagian kecil kelompok minoritas lainnya, Indonesia belum Pancasilais, karena mereka belum berkuasa. Kalau muslim yang mayoritas selalu berkuasa, maka Indonesia bukanlah negara Pancasila.
Apakah Ahok salah? Sebagai warga negara Ahok berhak punya harapan dan aspirasi semacam itu. Sebagai warga yang hidup di sebuah negara demokrasi, Ahok, Sabam Sirait dan komunitas minoritas lainnya berhak menyampaikan harapan semacam itu dan berjuang mewujudkannya. Yang menjadi masalah bila cara mewujudkan keinginan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar. Yang menjadi salah bila kemudian mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa Indonesia belum Pancasilais karena yang berkuasa selalu yang beragama Islam.
Itulah yang menjelaskan mengapa ketika Anies-Sandi menang dalam Pilkada DKI kemudian muncul framing dan labeling kelompok Islam garis keras, Islam militan dan radikal menguasai Jakarta.
Jadi kalau Islam yang menang dan berkuasa, maka itu tanda kemenangan radikal. Jika minoritas atau Kristen seperti Ahok yang menang, baru Pancasilais.
Kalau mau main framing dan label-labelan boleh dong kita juga menyebut kelompok minoritas radikal, kelompok Kristen radikal sedang mencoba menguasai Jakarta dan menguasai Indonesia.
Bila Ahok yang menang kelompok radikal Kristen yang berkuasa?
Itu namanya logika menang-menangan. Logika sak karepe dewe, semaunya sendiri.
Ini adalah sebuah hegemoni kebenaran, hegemoni pemikiran. Kalau gua yang berkuasa baru Pancasilais, kalau lu yang berkuasa negara ini dikuasai kelompok militan radikal.
Mari berpikir dengan logika demokrasi. Apa sih intinya demokrasi?
Pemerintahan dari rakyat oleh rakyat. Apa dasar legitimasinya? Rakyat memberi mandat kepada presiden, gubernur, bupati, kepala desa melalui pemilihan langsung.
Siapa yang mendapat mandat? Mereka yang memperoleh suara terbanyak. Nah karena Indonesia mayoritas adalah umat Islam dan lebih khusus lagi Jawa, maka yang menjadi presiden selalu berasal dari etnis Jawa dan muslim. Kalau sudah tahu faktanya seperti itu mengapa dulu sepakat memilih demokrasi?
Apakah tidak boleh minoritas berkuasa? Boleh-boleh saja. Syaratnya Anda harus memenangkan pemilu. Tapi lakukan dengan cara-cara yang fair.
Jangan gunakan kekuasaan untuk menekan apalagi menakut-nakuti umat Islam. Umat Islam tidak akan takut. Umat Islam adalah bangsa pejuang. Darah pahlawan mengalir dalam tubuh mereka. Umat Islam mempunyai saham terbesar memerdekakan republik ini.
Kalau mau menang dan menghalalkan segala cara, Anda boleh melakukan kecurangan. Menggelembungkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT), boleh melakukan money politics. Syaratnya cuma satu. Jangan ketahuan.
Masih ada cara lain yang bisa dilakukan, dan ini sebenarnya sudah dilakukan bertahun-tahun, tapi sejauh ini kelihatannya tidak berhasil. Apa itu?
Mengubah cara berpikir publik. Para intelektual terutama yang sudah berhasil di-westernisasi, disekulerisasi, diliberalisasi sudah sejak lama membuat label yang disebut dengan politik aliran.
Langkah mind framing atau mengubah frame berpikir ini juga tampak sekali dipaksakan dalam Pilkada DKI.
Ketika sebagian besar umat Islam memilih calon pemimpin muslim, maka itu disebut politik aliran, pilihan emosional. Namun ketika etnis cina dan non muslim hampir semua memilih Ahok, maka itu adalah pilihan rasional.
Langkah gegabah dan berbahaya itu untungnya sekarang dengan mudah dapat dipatahkan. Ada dua penyebab setidaknya. Pertama, banyak intelektual muslim yang masih waras dan dapat mengimbangi cara berpikir mereka. Kedua, kehadiran media sosial yang massif membuat mereka tidak lagi mudah melakukan framing melalui media massa. Dulu ketika media massa masih dikuasai sepenuhnya oleh mereka, dengan sesuka hati mereka memaksakan framing dan labeling. Sekarang no way.
Setelah gagal menjadikan Ahok gubernur kelompok ini kemudian mendorong Ahok menjadi pahlawan. Namun sesungguhnya Ahok akan dijadikan korban.
Ahokers dari murka menjadi angkara murka
Ahokers sejati adalah Ahoker yang naif dan sedang putus cinta. Namun ada diantara mereka yang diehard, hardliners, radikal.
Mereka ini bersama kekuatan liberal, kelompok kiri, anak keturunan PKI, PKI gaya baru dan tangan-tangan kepentingan taipan dan asing sedang mencoba melakukan radikalisasi Ahokers.
Ahokers sejati kebanyakan rakyat jelata, tidak mungkin bisa mengirim karangan bunga. Untuk makan saja susah, boro-boro beli karangan bunga bernilai miliaran rupiah. Yang mengirim karangan bunga adalah kelompok penguasa modal bekerjasama dengan Ahoker die hard dari kelas menengah.
Mereka ini yang kemudian bergerak di berbagai kota di Indonesia dan kota-kota besar dunia mendiskreditkan citra Indonesia dan pemerintahan Jokowi sebagai pelanggar hukum, pelanggar HAM.
Coba cek dari nama-nama koordinator aksi yang beredar di dunia maya. Jangan-jangan mereka bukan lagi warga Indonesia. Kalau toh masih menjadi warga Indonesia, sebagian sudah menjadi permanent resident. Mereka tidak akan peduli bila Indonesia dilanda kekacauan dan konflik horisontal.
Bila mereka Ahoker sejati, mereka tidak mungkin meretas situs Tempo. Bila mereka Ahokers sejati, tidak mungkin mereka meretas situs Saringan Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2017.
Mereka juga pasti punya anak, keponakan, saudara yang sedang mengadu nasib dan berjuang untuk mendapatkan kursi di perguruan tinggi terbaik di Indonesia.
Ada kelompok-kelompok kepentingan yang mendorong Ahokers naif yang sedang berduka, menjadi gerombolan orang yang menyebar angkara murka.
Targetnya apa? Ini yang kita harus super waspada. Agak tidak masuk akal bila hanya gara-gara Ahok maka skala reaksinya sedemikian massif.
Jangan buru-buru menyebut paranoid bila disebut ada kelompok kepentingan, baik di dalam maupun luar negeri yang sedang mengincar sesuatu yang besar di Indonesia. Ahok hanya menjadi pintu masuk. Something big. Something stranger.
Jokowi pelindung yang menjadi batu sandung
Bahwa Jokowi menjadi pelindung Ahok, tidak perlu diperdebatkan apalagi dipersoalkan. Ahok adalah teman seperjuangan Jokowi ketika memperebutkan kursi Gubernur DKI.
Ahok juga diusung oleh partai-partai yang menjadi pendukung Jokowi di pemerintahan. Jadi wajar-wajar bila Jokowi menjadi pendukung dan pelindung Ahok.
Oleh kelompok-kelompok yang semula ingin menjadikan Ahok sebagai eksperimen politik, Jokowi dianggap mulai menjadi batu sandungan. Sikapnya yang “membiarkan” Ahok dihukum dua tahun dan langsung masuk penjara dianggap sebagai penghianatan.
Langsung masuk penjara selama dua tahun menyebabkan ambisi mereka hancur berkeping-keping. Kartu politik Ahok menjadi mati. Padahal bila hanya hukuman percobaan seperti yang dituntut oleh jaksa, maka Ahok tidak harus menjalani penjara. Dia masih bisa menjadi apa saja, termasuk kemungkinan masuk dalam kabinet, atau meneruskan langkah politik lainnya.
Inilah waktunya Jokowi sebagai presiden dan kepala negara bertindak. Jangan sampai Anda dikenang sebagai presiden dan kepala negara yang tidak bisa menjaga keutuhan bangsa.
Mendiskreditkan citra Indonesia di dunia internasional, berunjukrasa dengan menabrak semua aturan, membawa parang menyerbu bandara, mendorong konflik horisontal adalah makar sesungguhnya.
Apalagi bila sudah mengibarkan bendera kemerdekaan seperti di Papua dan Minahasa, itu adalah makar di depan mata.
Sudah waktunya semua elemen dan komponen bangsa tanpa memandang suku, agama, ras dan latar belakang politik untuk bersatu. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah warisan yang harus kita pertahankan dengan jiwa dan raga. INI BUKAN RETORIKA. (*)
*) Konsultan Media dan Politik
Sumber: kanigoro.com