Angka Laju Deforestasi Kian Turun, Perusahaan Diminta Hentikan Kehilangan Hutan dan Kerusakan Lingkungan
JAKARTA – Laporan terkini dari CDP, organisasi nirlaba yang menjalankan sistem pelaporan lingkungan global, menunjukan bahwa sebanyak 1.043 perusahaan telah melakukan pengungkapan melalui kuesioner hutan CDP di tahun 2022.
Hasil ini memperlihatkan peningkatan sebesar 300% untuk jumlah partisipasi perusahaan dalam lima tahun terakhir.
Hal ini menjadi pertanda positif bahwa banyak perusahaan yang mulai menyadari pentingnya hutan dan mulai terbuka untuk mengungkapkan dampak operasional bisnisnya terhadap hutan.
Sayangnya, perusahaan yang melakukan pengungkapan di Asia Tenggara hanya berjumlah 35 perusahaan.
Meskipun ada peningkatan perusahaan yang menyadari adanya risiko bisnis dari deforestasi, namun tindakan untuk memenuhi komitmen mengurangi deforestasi masih dianggap kurang sehingga mendorong peningkatan risiko tersebut.
Bahkan, hanya 1 dari 10 perusahaan yang melaporkan telah mengambil langkah-langkah cukup dalam menghentikan deforestasi.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa secara global, perusahaan-perusahaan masih belum secara efektif melakukan mitigasi risiko sehingga berpotensi mengalami kerugian hampir $80 miliar secara keseluruhan.
Dari 10 perusahaan di Asia Tenggara saja, total risiko yang dilaporkan mencapai $2,3 miliar, sedangkan biaya penuh untuk menangani semua risiko yang diidentifikasi dan dilaporkan oleh 16 perusahaan hanya sebesar US$223 juta.
CDP berpendapat bahwa dampak finansial yang dilaporkan perusahaan terkait risiko ini jauh lebih rendah daripada jumlah sebenarnya.
Kawasan Asia Tenggara memiliki sekitar 30% dari keseluruhan terumbu karang dunia, sepertiga dari total hutan bakau dunia, dan hampir 15% hutan tropis dunia.
Hal ini membuat implikasi dari ketidakpedulian terhadap dampak deforestasi menjadi sangat besar dan dampaknya akan luar biasa dirasakan di kawasan Asia Tenggara.
Pemerintah dan para pemangku kebijakan di Asia Tenggara telah mengambil langkah-langkah penting dalam menunjukkan komitmennya terhadap netralitas karbon atau net zero.
Sejumlah langkah yang telah dilakukan antara lain adalah menetapkan target untuk mengurangi emisi dari sektor hutan dan penggunaan lahan, pengelolaan deforestasi, dan melakukan kolaborasi dengan pihak non-pemerintah, termasuk sektor swasta.
Beberapa inisiatif yang telah diimplementasikan meliputi peningkatan Nationally Determined Contribution (NDC), pengembangan taksonomi hijau, dan persyaratan pengungkapan mengenai Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) atau ESG.
Meskipun terdapat kemajuan yang telah dicapai, banyak tantangan yang perlu mendapatkan perhatian lebih, khususnya bagi perusahaan yang membeli komoditas dari Indonesia. Salah satunya adalah dampak dari produksi komoditas terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia.
Pada tahun 2022, terdapat 28 perusahaan (meningkat dari 21 perusahaan pada tahun 2021) di Asia Tenggara yang melakukan pengungkapan melalui kuesioner hutan dan menjadi yang terdepan di kawasan ini.
Di antaranya, 10 perusahaan berasal dari Indonesia, 7 perusahaan dari Malaysia, 6 dari Singapura, 4 dari Thailand, 1 dari Filipina, dan tidak ada dari Vietnam.
Tindakan mendesak diperlukan untuk mengakhiri deforestasi. Oleh karena itu, laporan ini menjabarkan langkah-langkah utama yang harus diambil oleh perusahaan.
Langkah-langkah ini termasuk melakukan evaluasi risiko secara komprehensif, meningkatkan kepatuhan terhadap kebijakan bebas-deforestasi dan-konversi, dan mengungkapkan kemajuan mereka dalam mencapai rantai pasok yang bebas deforestasi serta bebas konversi.
Pengungkapan yang difasilitasi CDP atas perusahaan dan sektor jasa keuangan memungkinkan adanya pelaporan yang transparan terkait kemajuan dalam mencapai kerangka dan standar praktik terbaik.
“Kawasan Asia Tenggara memiliki alam dan iklim yang penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Karena itu, negara di kawasan ini perlu segara mengambil langkah pencegahan perubahan iklim secara bersama-sama. PIlihan yang diambil oleh pemerintah dan perusahaan di Indonesia serta negara lainnya di kawasan Asia Tenggara dapat membantu mencegah bencana perubahan iklim global dan kehilangan hutan serta habitatnya,” ujar John Leung, Direktur Asia Tenggara dan Oseania dari CDP.
Perkembangan terbaru ini tentu sangat menjanjikan, dan wilayah ini sedang menuju arah yang tepat dalam upaya keberlanjutan.
Namun, untuk mencapai komitmen global penghentian laju deforestasi pada tahun 2030, tindakan yang tegas harus dipercepat.
Ia menyebut komitmen netral karbon atau net zero tidak akan tercapai tanpa menghentikan deforestasi dan konversi lahan.
Laporan ini telah menunjukkan bahwa di Asia Tenggara saja, total risiko yang dilaporkan, yakni US $2,3 miliar, merupakan 10 kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan biaya untuk menangani semua risiko yang teridentifikasi yang hanya sebesar US $223 juta.
“Tindakan dan pengungkapan lingkungan yang lebih serius diperlukan agar kita dapat memperoleh gambaran lebih jelas tentang bagaimana bergerak menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, dimana alam dan manusia bisa hidup berdampingan. Kami berharap lebih banyak perusahaan di kawasan ini menyadari bahwa upaya melindungi lingkungan dan memperkuat komitmen mereka terhadap konservasi alam bisa menjadi keunggulan kompetitif bagi mereka,” pungkasnya
Sementara itu Thomas Maddox, Global Director, Forests, CDP mengatakan tahun ini adalah tahun luar biasa bagi perusahaan yang mengungkapkan dampaknya terhadap hutan, sekaligus menunjukkan sinyal positif untuk transparansi.
“Laporan ini menunjukkan, bahwa perusahaan-perusahaan semakin menyadari risiko dan peluang terkait dengan penanggulangan deforestasi. Tetapi, kami masih melihat kesenjangan antara komitmen dan tindakan nyata dari mereka. Deforestasi bukanlah keharusan dalam produksi komoditas,” ujarnya.
Pemberantasan deforestasi dari rantai pasok komoditas adalah langkah yang masuk akal secara ekonomi dan lingkungan, tetapi membutuhkan insentif keuangan dan kebijakan yang tepat untuk memprioritaskan tindakan tersebut.
“Tidak ada ruang bagi deforestasi dalam pencapaian emisi nol bersih dan masyarakat pun menuntut hal yang sama. Hal yang paling penting dalam mencapai tujuan ini adalah ‘kapan’, bukan ‘jika. Perusahaan yang bertindak terlambat akan menghadapi risiko biaya yang paling tinggi,” pungkasnya. (*/Red)