Oleh: EMHA AINUN NADJIB
Alangkah tak terbatas jumlah fakta kehidupan yang saya tidak tahu. Saya sama sekali buta pengetahuan tentang berapa perbandingan prosentase antara jumlah kasus korupsi dibanding yang diproses oleh KPK. 50-50-kah? 99-1-kah? 99,999-00,001-kah? Kalau dalam satu kasus korupsi kolektif diolah, berapa perbandingan antara yang didakwa dan dihukum dibandingkan yang tidak?
Kalau ada bantuan dana untuk desa, berapa ratus atau ribu jumlah “Desa Hantu”? Yakni desa yang tertera di lembaran birokrasi namun tak ada di permukaan Bumi? Kita tidak punya data, dan tak punya jalan untuk mendata, yang kesimpulannya adalah “semua pejabat adalah koruptor”, meskipun kita tidak berdosa untuk merasa “sukar membayangkan bahwa ada pejabat yang tidak korup”.
Iseng-iseng adakah di antara Anda yang punya data tentang salah seorang prajurit Korea yang dipaksa menjadi tentara Jepang, ikut menjajah ke Indonesia, kemudian membelot, bergabung ke Tentara Rakyat Indonesia dan berganti nama menjadi Mustakim?
Ada apa sebenarnya kok Indonesia tidak memproklamasikan kemerdekaan tanggal 15 Agustus 1945, sebagaimana Korea, karena Hiroshima Nagasaki dibom masing-masing pada 6 dan 9 Agustus, tapi Indonesia mengulur waktu kemerdekaannya sampai 17 Agustus 1945? Apakah ada di antara Anda yang punya data tentang anaknya siapa Pak Harto itu sebenarnya? “Seberapa bersaudara” ia dengan Pak Probosutejo dan Pak Sudwikatmono? Apa hubungan antara Suharto kanak-kanak dengan arit dan rumput?
Andaikan saya menjawab itu semua, tidaklah akan sampai pada kebenaran apapun, kecuali berhenti pada versi saya. Saya kelahiran Jombang, dan Jombang sampai hari ini tidak bisa menentukan hari kelahirannya. Saya tidak tahu di mana tongkat kiriman Syaikhona Kholil Bangkalan kepada muridnya Hasyim Asy’ari sebagai perintah untuk mendirikan NU.
Jangankan lagi Ayat berapa Surat apa pula yang menyertai tongkat itu, yang dititipkan kepadanya melalui santri As’ad Syamsul Arifin. Jangankan menjelaskan tentang kenapa Gus Dur Waliyullah sementara Mbah Yai Hasyim atau Mbah Wahid Hasyim bukan. Atau Kitab apa yang diamanatkan oleh Syaikhona Kholil kepada KH Hasyim Asy’ari dan KH A Dahlan. Pisang yang dikasih ke Mbah Romli pisang ambon atau pisang emas. Mana pula cincin itu, untuk apa ia, yang diamanatkan bersamaan dengan pisang dan kitab.
Tapi apa perlunya itu semua. Toh bangsa Indonesia sudah punya cermin sendiri, untuk memahami rute perjalanan sejarah NKRI, sampai hari ini kenapa begini, dan besok mau ke mana. Bangsa Indonesia sudah tahu apa yang akan terjadi besok pagi, sudah bisa menghitung apa yang akan mereka alami dua dan tujuh tahun ke depan. Bahkan sudah ber-muhasabah menyiapkan diri sesudah dua puluh delapan tahun dari sekarang.
Bagi saya sendiri mungkin malah lebih mudah menjelaskan apakah bumi ini bulat ataukah datar. Tinggal yang perlu penjelasan maunya apa. Kalau yakinnya datar, akan dibikin tampak datar di pandangan matanya. Kalau maunya bumi bulat, akan dibuat kelihatan bulat ketika dilihatnya.
Atau ambil padanan wacana yang tidak populer: Bangsa Indonesia tak perlu jadi Arjuna tak apa, asal tekun teguh dan rajin berlatih seperti Bambang Ekalaya untuk meraih peluang masa depannya.
Apa pula ini? Indonesia tidak mematuhi “Jasmerah”-nya Bung Karno tak apa, asalkan mempertahankan kepribadian dan konsistensi perjuangan seperti Ekalaya, yang terbukti mampu mengalahkan Arjuna. Lebih bermartabat jadi Kumbokarno, meskipun buruk rupa tapi berprinsip. Daripada Sumantri yang sibuk ngèngèr, melamar, mengemis, memohon-mohon, ndlosor-ndlosor.
Bangsa Indonesia tidak butuh fakta objektif tentang Gadjah Mada atau Gaj Ahmada atau Haji Ahmad, Semar Tsamar Smarabhumi, Petruk Fatruk, Gareng Ghoiron, Bagong Bagho, Negeri Saba Wanasaba, Sulaiman Sleman Salam Salaman, atau siapapun otak-atik gathuk pseudo-puzzling dari sejarah masa lampau.
Yang mereka butuhkan adalah berhala Latta dan Uzza: tokoh mitologi dari masa silam, atau karakter imajiner di masa depan. Yang mereka perlukan adalah inspirasi harga diri dan semangat nasionalisme dari siapapun saja, baik yang tokoh nyata atau mitos. Bangsa Indonesia tidak butuh fakta ada atau tiadanya Sunan Kalijaga atau Sunan-sunan Kali-kali lainnya. Yang mereka perlukan adalah contoh kerja keras, kesetiaan nasional, kasih sayang kerakyatan dan kebijaksanaan hidup.
Waktu kanak-kanak di desa dulu, kalau ada teman ingah-ingih klenyat-klenyit ketika berkelahi lawan anak desa lain, saya bilang: “Kakekmu dulu Pendekar hebat, mosok kamu penakut begitu”. Maka dia pun bangkit, berkelahi dengan penuh vitalitas dan spirit. Sesudah dia menang, saya bisiki: “Mbah-mu sebenarnya tidak bisa pencak silat, dan bukan Pendekar, sama dengan Mbah saya”.
Perhatikan teman saya itu. Faktanya hari itu ia menang berkelahi, karena percaya kepada provokasi saya tentang masa silam. Padahal fakta masa silamnya: Kakeknya orang biasa-biasa saja. Tidak rasionalkah jika fakta masa silam yang diketahui oleh teman saya itu adalah Kakek yang memang benar-benar sakti dan berkepribadian – maka kemenangannya akan berlipat-lipat?
Kenapa Khidlir, alias Kilir, alias Balya, alias Qoli’, atau Muammar, atau Amaniel, atau siapapun: membocorkan kapal, membunuh anak kecil dan menegakkan pagar raksasa? Karena menurut Ilmu Waktu versi beliau: “Pemenang dalam pertarungan sejarah adalah Ksatria yang berpijak di masa kini, yang di tangan kirinya tergenggam masa lampau, dan di tangan kanannya ia usap-usap masa depan”.
Baiklah tak usah mengandalkan kenyataan masa silam. Masa silam hanya bagian dari kebangkitan hari ini dan kebijaksanaan masa depan. Tapi cobalah tengok data-data tentang kepemilikan saham, peta modal, gumpalan-gumpalan keuangan, sertifikat tanah dan bangunan-bangunan, bunyi undang-undang dan aturan – sesungguhnya berlandaskan cara berpikir yang bagaimana mulut kita mampu keras-keras meneriakkan NKRI Harga Mati? Belum bedhol-kah Negoro ini dari rakyat yang dulu memilikinya?
Garuda terbang di angkasa. Anak Garuda hidup dalam kurungan, tubuhnya tidak berkembang, tidak punya pengalaman terbang. Cucu Garuda kerdil badannya, ia menyangka dunia adalah kurungan di mana ia berada.
Sumber: caknun.com