MAGELANG – Di tengah pernyataan sejumlah daerah yang mengaku mengalami surplus produksi beras pada awal tahun ini, pemerintah tiba-tiba mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam. Meski berdalih impor beras itu untuk meredam kenaikan harga beras, kontan kebijakan pemerintah itu menimbulkan pertanyaan.
Seperti yang diumumkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Kamis (11/1) lalu, pemerintah akan mengimpor sebanyak 500 ribu ton beras dari Thailand dan Vietnam. Beras impor itu akan tiba di Tanah Air pada akhir Januari ini.
“Saya tidak mau mengambil resiko kekurangan pasokan. Saya mengimpor beras khusus,” ujar Mendag menjelaskan alasannya, dalam konferensi pers di Auditorium Kementerian Perdagangan.
Mendag mengaku, beras yang akan diimpor adalah beras kualitas khusus yang tidak ditanam di Indonesia. Jenis beras tersebut memiliki spesifikasi bulir patah di bawah lima persen. Meski masuk dalam golongan beras khusus, Enggartiasto memastikan komoditas pangan utama itu akan dijual dengan harga medium.
Pemerintah sendiri telah menunjuk Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai perusahaan yang akan melakukan impor. Keputusan impor diambil karena saat ini tengah terjadi kelangkaan pasokan beras medium yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.
Meski pemerintah menyatakan panen masih terjadi, pasokan beras dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Sementara, panen raya diperkirakan baru akan terjadi pada Februari-Maret mendatang.
Enggartiasto memandang urusan pangan rakyat adalah urusan prioritas. Oleh karenanya, ia meyakini keputusan impor merupakan solusi terbaik. “Jangan ada pertentangan karena petani juga kosumen yang harus beli beras,” ujarnya.
Surplus beras
Di saat Mendag mengumumkan kebijakan impor beras, pada hari yang sama, sejumlah daerah justru mengemukakan bahwa mereka mengalami surplus produksi beras. Seperti yang diungkapkan Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Wijayanti. “Kami menolak impor kerena setiap tahunnya surplus,” ujar dia, Kamis (11/1).
Ia melanjutkan, kabupaten Magelang setiap tahun mengalami surplus rata-rata 80 ribu hingga 100 ribu ton beras. Angka itu bahkan meningkat setelah adanya program Upaya Khusus Padi Jagung Kedelai (Upsus Pajale) yang meningkatkan surplus hingga 147.413 ribu ton pada 2017. “Dibandingkan sebelum Upsus Pajale, ada kenaikan 40 persen,” katanya.
Hal tersebut dibuktikan Wijayanti dengan melakukan panen di lahan seluas 14 hektare di Desa Pagersari, Kecamatan Mungkid dan 12 hektare di Desa Sawangan, Kecamatan Sawangan. Rata-rata produktivitas yang dihasilkan 6,3 ton per hektare.
Hal ini diakuinya menjadi prestasi membanggakan mengingat Magelang merupakan sentra hortikultura. Namun dengan pengelolaan yang tepat, lahan seluas 108 ribu hektare di kabupaten ini mampu menghasilkan komoditas pertanian secara maksimal. “Lahan itu dibagi untuk semua komoditas. Itu pun masih surplus, bagaimana kalau difokuskan untuk pangan?” ujarnya.
Pada Januari ini, Kabupaten Magelang panen pada lahan seluas 3.652 hektare dengan produktivitas rata-rata 6,3 ton per hektare. Hasil diperkirakan mencapai 21.380 ton Gabah Kering Giling (GKG) setara 13.512 ton beras. Kebutuhan beras di Kabupaten Magelang sendiri adalah 11.583 ton per bulan. “Artinya kebutuhan beras tercukupi malah terjadi surplus sebanyak 1.929 ton,” katanya.
Kondisi ini yang membuat Magelang menjadi kabupaten nomor satu yang menolak adanya impor beras. Petani bahkan memasarkan beras surplus tersebut ke tempat lain.
Terkait impor, Direktur Buah dan Florikultura Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Sarwo Edhy menegaskan jika Indonesia telah dua tahun tidak melakukan impor beras. “Produksi banyak, no impor,” tegasnya saat ditemui usai panen di Kabupaten Magelang.
Magelang, kata dia, menjadi salah satu bukti bahwa panen masih terjadi di Tanah Air. Surplus yang terjadi menepis komentar miring dari banyak pihak terkait minimnya produksi beras dan meminta dibukanya keran impor. “Namun produksi beras kita ada, data kita benar karena dari BPS,” ujarnya.
Setiap hari panen
Surplus beras juga terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kepala Dinas Pertanian DIY Sasongko mengaku Januari ini hamper setiap hari selalu diundang untuk menghadiri panen padi.
“Di DIY setiap tahun rata-rata surplus beras sekitar 200-250 ribu ton, Sementara produksi beras di DIY per tahun 920 ribu ton, sehingga banyak yang dijual keluar,” kata Sasongko pada Republika, Rabu petang (10/1).
Lebih lanjut Sasongko mengungkapkan meskipun beras di DIY cukup stoknya, ada kenaikan harga beras. Penyebab kenaikan harga beras antara lain karena musim hujan ada penambahan biaya untuk pengeringan gerabah dan menambah tenaga.
“Ada pula karena di luar DIY harga naik, maka secara otomatis harga beras di DIY menyesuaikan. Kalau tidak ikut naik, nanti beras di DIY diserbu dan bisa habis,” kata dia.
Di bulan ini panen padi di DIY merata di empat kabupaten (Gunungkdul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman). Setiap lokasi panennya bisa mencapai 25-30 hektare. “Jadi di bulan ini rata-rata dalam sehari yang tanaman padi yang dipanen 100 hektare lebih,” ungkap Sasongko.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan panen padi mulai terjadi pada Januari ini. Bahkan Februari disebutnya akan menjadi puncak panen padi. Ini dikarenakan, petani mulai menanam padi sejak Oktober tahun lalu pada saat musim hujan.
“Oktober hujan berarti tanam kan, berarti Desember sudah panen, apalagi Januari. Kita tahu kalau kondisi cuaca normal, itu panen memasuki puncak Februari karena kondisi iklim normal,” kata Amran di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (11/1).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik yang diperlihatkan oleh Kementan, luas tanam padi selama 2017 sebesar 16,4 juta hektare. Sementara, produksi padi pada Januari 2018, diprediksi mencapai 4,5 juta ton gabah kering giling (GKG). Sedangkan, ketersediaan beras mencapai 2,8 juta ton dengan konsumsi beras 2,5 ton, sehingga ketersediaan beras surplus sebesar 329,3 ribu ton.
Ketika ditanya mengenai kondisi di lapangan bahwa saat ini harga beras naik, Amran hanya berkomentar mengenai produksi beras yang surplus. Produksi beras pada Januari 2018 diproyeksikan surplus sebesar 329,3 ribu ton.
Sebelumnya, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, harga beras medium pada Juli 2017 berada di level Rp 10.574 per kilogram dan meningkat menjadi Rp 10.794 per kilogram pada November di tahun yang sama. Pada Januari 2018, angka ini merangkak naik menjadi Rp 11.041 per kilogram. (*/Republika)