Hari Tani Nasional, GMNI Soroti Krisis Regenerasi Petani
JAKARTA – Setiap 24 September, masyarakat Indonesia memperingati Hari Tani Nasional. Penetapan 24 September sebagai Hari Tani tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Soekarno Nomor 169 Tahun 1963. Penetapan Hari Tani Nasional merupakan suatu pemuliaan tertinggi terhadap masyarakat tani Indonesia.
Namun, Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menyoroti semakin sedikitnya anak muda yang berprofesi sebagai petani. Profesi petani dianggap sebagai profesi “orang tua”. Rata-rata penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian yaitu penduduk kelompok usia di atas 65 tahun.
Bila tren ini terus berlanjut menurut Arjuna, 50 tahun mendatang Indonesia berpotensi kehilangan profesi petani, krisis regenerasi petani.
“Sejumlah riset menyebutkan rata-rata petani usianya di atas 65 tahun. Kelompok usia produktif di bawah 45 tahun justru mengalami penurunan. Kita sudah mengalami krisis regenerasi petani. Ini yang harus kita refleksikan, karena 50 tahun ke depan jika berlanjut akan berbahaya bagi Republik ini,” tutur Arjuna, Sabtu (24/09/2021).
Arjuna menilai, ada dua hal yang menyebabkan sektor pertanian ditinggalkan oleh generasi muda atau generasi muda tak berminat menjadi petani. Pertama menurut Arjuna, rendahnya kesejahteraan petani. Berdasarkan data BPS per Agustus 2020, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian hanya sebesar Rp 1,92 juta per bulannya, terendah dari 17 sektor yang ada.
Lalu, rendahnya kesejahteraan petani membuat anak muda enggan menjadi petani, bahkan profesi petani terstigma identik dengan profesi “orang miskin”, “terbelakang”.
“Pendapatan riil petani sangat rendah, dalam tiga kali panen terkadang petani hanya mendapatkan 700 ribu hingga 1 juta saja. Belum dibebani dengan ongkos produksi dan sebagainya. Apalagi rata-rata petani padi di Indonesia hanya menguasai lahan seluas 0,66 hektare. Benar-benar terdesak,” papar Arjuna.
Kedua menurut Arjuna, penyebab ditinggalkannya profesi petani karena semakin tingginya alih fungsi lahan pertanian di Indonesia. Lahan baku sawah, misalnya, tercatat mencapai 8,1 juta hektare pada 2009. Sepuluh tahun berikutnya, luas lahan baku sawah berkurang hingga 604,3 ribu hektare menjadi 7,46 juta hektare.
“Saat ini banyak lahan pertanian yang beralih menjadi industri dan real estate. Sawah terus menyusut dan ini berpotensi membuat profesi petani semakin punah,” ungkap Arjuna.
Untuk itu, GMNI memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memperketat alih fungsi lahan pertanian produktif dan memberikan perlindungan harga di tingkat usaha tani. Menurut Arjuna, di daerah sentra produksi pertanian masih banyak Pemerintah Daerah yang tidak mengintegrasikan lahan sawah produktif ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sehingga lahan produktif dibangun dengan serampangan oleh Pemerintah daerah.
“Pemerintah pusat harus menertibkan daerah yang tidak mengintegrasikan lahan pertanian produktif ke dalam RTRW mereka. Bahkan seringkali banyak manipulasi data. Pemerintah daerah enggan mempertahankan lahan sawah produktif, karena dianggap lebih menguntungkan jika dibangun menjadi pabrik, mall dan real estate,” Ujar Arjuna.
Selain itu, GMNI meminta pemerintah dan semua elemen pemuda untuk mempercepat transformasi teknologi dan digital di sektor pertanian guna meningkatkan kesejahteraan serta mewujudkan ketahanan pangan nasional secara jangka panjang.
Menurut Arjuna, Pemuda bisa berperan melalui digitalisasi untuk mencapai praktik agribisnis yang baik dan presisi. Dengan teknologi digital diharapkan terjadi peningkatan pendapatan petani sedikitnya 50 persen, serta perbaikan produktivitas.
“Pemuda bisa berperan melalui percepatan transformasi teknologi digital. Ini penting untuk mencapai praktik agribisnis yang lebih presisi dari hulu sampai ke hilir, bukan cuma soal marketing. Pemuda harus mendorong konsep pertanian berbasis teknologi yang bertumpu kepada observasi dan pengukuran yang menghasilkan data. Data ini menjadi penentu kegiatan kerja bercocok tanam yang efektif dan efisien,” pungkas Arjuna. (*/Red).