Oleh: Hersubeno Arief*)
Presiden Jokowi mengeluarkan ancaman tegas, mau menggebuk PKI (Partai Komunis Indonesia). Ancaman itu disampaikan saat bertemu dengan para pemimpin redaksi sejumlah media massa di Jakarta (17/5).
Presiden Jokowi memang tidak menyebutkan ancaman tersebut hanya untuk PKI, namun dia memastikan pemerintah akan bertindak tegas terhadap organisasi mana pun yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Presiden tidak akan pandang bulu, baik terhadap kelompok kanan maupun kelompok kiri. Namun presiden secara spesifik menyebut “Kalau PKI nongol, ya kita gebuk.”
Coba perhatikan diksi kata “gebuk”, “PKI”, dan “ekstrem kanan dan kiri”. Kata gebuk ini mengingatkan kita kepada kosa kata penguasa Orde Baru Soeharto, PKI adalah musuh utama Orde Baru.
Sementara ekstrem kanan dan ekstrim kiri dulu sering disampaikan oleh Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Sudomo dengan sebutan Eka-Eki.
Yang dimaksud dengan ekstrem kanan adalah Islam yang menjadi musuh baru Soeharto. Sementara ekstrem kiri adalah PKI musuh lama Soeharto, sosialis dan gerakan kiri lainnya.
Jadi sebenarnya semuanya bukan hal yang baru. Sesuatu yang sudah lama mengendap dalam memori kolektif generasi yang hidup di masa Orde Baru dan kini coba dibangkitkan kembali oleh Jokowi.
Menggebuk musuh
Kata gebuk bukanlah kata yang muncul secara kebetulan. Sebab bila melihat asal keduanya juga berdekatan.
Soeharto kelahiran Jogyakarta menikah dengan putri Solo Siti Hartinah (ibu Tien). Sementara Jokowi lahir di Solo juga menikah dengan putri Solo bernama Iriana. Jadi kedua-duanya dibesarkan dalam kultur Jawa Mataram.
Kultur Mataram berbeda dengan Jawa Ngapak (Banyumasan), apalagi dengan budaya Arek di Jawa Timur. Kedua sub kultur ini relatif lebih terbuka, egaliter dan blak-blakan.
Jawa Mataram adalah sebuah sub kultur Jawa yang sangat halus dengan ciri kemampuan pengendalian diri yang sangat ketat. Penuh sanepo, perlambang, simbolisasi.
Masih ingat bagaimana Jokowi tiba-tiba mengunjungi proyek fasilitas atlet dan olahraga di Hambalang, Bogor?
Di lokasi proyek yang terbengkalai ini Jokowi tidak melakukan apa-apa. Hanya berkunjung, melihat-lihat dan difoto oleh media. Tidak ada kata-kata keras.
Pesannya jelas ditujukan kepada mantan Presiden SBY yang tengah melakukan safari ke berbagai kota di Jawa.
Safari politik itu dinilai merupakan serangan kepada Jokowi. Dia kemudian menyerang balik dengan mengirim pesan bahwa Hambalang adalah proyek penuh korupsi yang dibangun pada masa SBY.
Proyek itu menyeret sejumlah kader Demokrat dalam pusaran korupsi. Mulai dari Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Nazaruddin dan mungkin masih ada yang lainnya. Jadi pesan Jokowi “awas ya, kalau masih diteruskan.”
Ketika berlangsung aksi 411, Jokowi memilih mengunjungi “proyek” di bandara Cengkareng, ketimbang bertemu para tokoh ulama yang memimpin unjuk rasa.
Dalam kultur Jawa ini disebut nglungani, ditinggal pergi, sebagai bentuk ketidaksetujuan. Tidak perlu konfrontasi. Kalau marah ya tidak perlu ditunjukkan apalagi diucapkan. Jadi kalau sampai muncul kata “gebuk” ini menunjukkan ada kemarahan yang sangat dalam.
Menariknya karena pengendalian diri yang sangat kuat, Soeharto bisa mengucapkan kata “gebuk” sambil tersenyum dengan pandangan dan sorot mata yang tidak frontal.
Sementara Jokowi digambarkan oleh media ketika mengucapkannya dengan nada tinggi dan terkesan emosi.
Apapun ekspresinya baik Soeharto maupun Jokowi, keduanya adalah Presiden RI. Sebuah negara besar dengan jumlah penduduk 260 juta jiwa (2016). Jadi ucapannya jangan dianggap main-main.
Dalam kosmologi Jawa para penguasa mempunyai ilmu sakti berupa ajian idu geni (ludah api). Siapa saja yang terkena ludah atau kata-katanya, bisa mati. Namanya juga presiden atau dalam kultur Jawa disebut sebagai raja, ratu.
PKI sebagai musuh bersama
Kosa kata “PKI” punya arti yang berbeda bagi Soeharto dan Jokowi. Soeharto naik ke puncak kekuasaan karena keberhasilannya menumpas gerakan G30S/ PKI, sedang Jokowi sering dituduh sebagai anggota PKI atau setidaknya orang tuanya PKI. Sebuah tuduhan yang berbahaya dan harus dapat dibuktikan secara hukum.
“Saat PKI dibubarkan, saya masih berumur 4 tahun. Saya lahir jelas, orang tua jelas. Silakan dicek. Tapi setelah orang tua saya jelas tak terlibat PKI, kok dibilang itu bukan ibu saya. Kalau seperti itu terus ya tidak rampung-rampung,” ujar Jokowi geram.
Sikap Jokowi sangat benar. Sebagai negara hukum sebuah tuduhan, apalagi tuduhan yang sangat berbahaya sebagai anggota PKI atau anak PKI memang harus dapat dibuktikan secara hukum. Bila tidak terbukti itu bisa menjadi fitnah yang keji dan berbahaya, apalagi yang difitnah adalah seorang Presiden RI.
Masalahnya menjadi berbeda bila anak PKI itu sendiri yang mengaku dan menyatakan bangga sebagai anak PKI. Anggota DPR RI dari PDIP Ribka Tjiptaning Proletariati malah sampai harus membuat buku dengan judul “Aku Bangga jadi Anak PKI”. Kalau ini bukan fitnah.
Itulah tampaknya yang menjelaskan mengapa kemudian Jokowi memilih PKI sebagai contoh yang akan digebuk. Kata ini jauh lebih aman dan bisa menguntungkan posisi Jokowi.
Dari sisi umat Islam, kata PKI tetap menjadi musuh nomor satu. Dengan memilih kata PKI, Jokowi bisa tetap mengingatkan adanya bahaya dari kelompok-kelompok ekstrem, tanpa menyinggung umat Islam, sekaligus merangkul umat karena punya musuh bersama bernama PKI.
Pihak lain yang berhasil dirangkul Jokowi dengan kata PKI adalah TNI. Setiap kali kata ini muncul sudah dipastikan telinga anggota TNI -mulai dari yang masih aktif sampai pensiunan- langsung berdiri.
Secara personal Jokowi juga makin menegaskan tudingan bahwa dia kader PKI atau setidaknya anak PKI, tidak benar. Mosok anak PKI mau menggebuk PKI?
Jadi kosa kata atau akronim PKI tidak muncul begitu saja. Pasti sudah dipikirkan sangat masak. Sekali tepuk dua sampai tiga lalat mati. Sangat efektif.
Ekstrem kanan dan kiri
Istilah ekstrem kanan dan ekstrem kiri, juga merupakan pilihan kata yang tepat. Walaupun sudah tidak cukup populer, kata itu boleh jugalah digunakan sebagai kewaspadaan. Namun harus-hati-hati jangan sampai terjebak pada labeling serta hegemoni tafsir dan makna.
Di masa Orde Baru bila sudah diberi label sebagai anti Pancasila, hukumannya sangat berat. “Menentang Pancasila” itu tafsirnya bermakna tunggal, yakni tafsir penguasa.
Cara penafsiran seperti itu lah yang kemudian coba dipakai untuk meredam berbagai aksi umat Islam dalam berbagai Aksi Bela Islam (ABI). Mulai dari radikal, intoleran, tidak bhineka dan yang serem adalah tudingan makar.
Tuduhan yang tidak tepat dan tidak efektif. Sebagai orang Jawa seharusnya Jokowi memahami bahwa apa yang dilakukan umat Islam itu seperti tradisi topo pepe. Di Jawa khususnya di Kasultanan Jogyakarta ketika rakyat menyampaikan protes kepada raja, mereka akan memilih berjemur di bawah terik panas matahari (topo pepe) sambil berdiam diri. Tujuannya menuntut keadilan.
Nah, Aksi Bela Islam juga bukan makar. Tujuannya menuntut keadilan, karena kitab sucinya dinistakan oleh Ahok.
Rasa keberagamaan adalah kesadaran kolektif yang paling tinggi. Itu menjelaskan mengapa aksi itu sampai diikuti jutaan orang.
Pesan itu tampaknya bisa dengan lebih jelas ditangkap oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, tapi tidak oleh pembantu Jokowi yang lain, yang berada di lingkaran dekatnya, termasuk kepolisian RI.
Sebagai jenderal yang juga besar dalam kultur Solo, Gatot malah sampai harus menyatakan ketersinggungannya ketika ditanyakan kepadanya umat Islam mau melakukan makar. Sikap Gatot ini sebenarnya juga di luar kebiasaan orang Solo. Sikap Gatot ini absolutely correct.
Dia sangat benar menangkap pesan umat Islam dan sekaligus bisa memberi keseimbangan sikap dalam pemerintahan Jokowi.
Sikap Gatot bisa menjadi kartu yang menyelamatkan hubungan Jokowi dengan umat Islam. Apalagi Jokowi sendiri tidak pernah secara terbuka dan frontal menyatakan umat Islam makar. Pintu dialog masih terbuka. Dengan pernyataan Jokowi tentang PKI tampaknya dia sedang mengirim signal membuka pintu dialog. Pintu rekonsiliasi.
Berbeda dengan Orde Baru ketika para penguasanya bisa menggunakan ajian idu geni, ludah api, sekarang eranya sudah berbeda. Pada Orde Baru kekuasaan terpusat di satu tangan, yakni pada Pak Harto. Dengan kekuasaan yang absolut pak Harto punya otoritas untuk “menggebuk” lawan politiknya tanpa banyak tanya.
Jokowi menjadi presiden karena mendapat mandat dari rakyat melalui pilpres. Mandat itu akan dievaluasi lima tahun berikutnya. Dia juga dibatasi hanya boleh menjabat selama 10 tahun atau dua periode. Sementara Pak Harto menjabat selama 32 tahun.
Jadi Presiden Jokowi tidak bisa asal main gebuk. Selain bisa dituduh menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), yang lebih gawat bila gara-gara itu level elektabilitasnya menurun. Sebuah survei terbaru yang dilakukan oleh NCID menunjukkan elektabilitas Jokowi sudah berhasil dikalahkan oleh Prabowo Subianto.
Gara-gara Ahok, hubungan Jokowi dengan umat Islam yang nota bene adalah pemilih terbesar, menjadi terganggu. Padahal untuk memenangkan Pilpres 2019 dukungan dari umat Islam mutlak harus diperoleh.
Jokowi tampaknya mulai menyadari ada kelompok-kelompok tertentu yang melakukan radikalisasi Ahoker yang kecewa dan tujuan akhirnya menghancurkan kredibilitas pemerintahannya di dunia internasional.
Jangan dianggap sepele dengan aksi-aksi seribu lilin yang coba dinyalakan di berbagai belahan kota di dunia. Para Ahoker sejati jangan mau diseret terlalu jauh untuk sebuah agenda yang sesungguhnya tidak mereka pahami.
Hampir dapat dipastikan aksi-aksi di luar negeri tidak ada urusannya apakah Ahok menang atau kalah. Apakah Ahok dihukum atau tidak.
Lilin yang tampaknya kecil itu bisa menjadi pemantik api yang lebih besar. Api yang membakar citra Indonesia di mata dunia sebagai pelanggar HAM dan yang lebih berbahaya membakar integrasi NKRI.
Seorang purnawirawan perwira tinggi TNI menggambarkan situasi Indonesia saat ini seperti “adu jangkrik”. Jangkrik sebenarnya bukan binatang yang agresif.
Dua jangkrik jantan yang disatukan dalam sebuah kandang, bisa hidup dengan damai. Namun ketika ada campur tangan dari luar dengan mengkilik-kilik tubuh mereka, maka keduanya akan bertarung dengan ganas.
Situasi itulah yang agaknya disadari Presiden Jokowi. Ada kekuatan asing yang mencoba memancing di air keruh dari kasus Ahok. Mereka menjadi penunggang bebas (the free riders) dan mencoba membuat badai, angin puting beliung (the storm/hurricane makers).
Karakter api bila masih kecil menjadi sahabat. Namun ketika berubah besar menjadi sangat berbahaya, bisa membakar apa saja, termasuk kesatuan bangsa Indonesia. Presiden Jokowi belum terlambat untuk bertindak.(*)
*)Konsultan Media dan Politik.
Sumber: kanigoro.com