KH Ahmad Dahlan, Tak Lelah Berdakwah
Oleh: M. Anwar Djaelani
Cermatilah kalimat ini: “Jika kamu berhalangan untuk bertabligh, janganlah permisi kepadaku. Tapi, permisilah kepada Tuhan dengan mengemukakan alasanmu. Setelah itu, kamu (harus) bertanggung-jawab atas perbuatanmu.” Berasal dari lisan siapakah kalimat yang sungguh menggetarkan itu?
Gesit Beramal
Kalimat bernas di atas itu diucapkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Maka, agar bisa lebih memahami konteks kalimat itu, menarik jika kita membuka ulang sejarah hidup aktivis dakwah yang tak mengenal lelah dalam mensyiarkan Islam itu.
Pada 01/08/1868 di Kampung Kauman Jogjakarta lahir bayi yang oleh KH Abubakar –sang ayah- diberi nama Muhammad Darwisy. Kawasan tempat Darwisy lahir berada tak jauh dari Masjid Besar Kesultanan Jogjakarta dan warganya dikenal taat beragama. Sementara, KH Abubakar adalah Imam dan Khatib terkemuka di masjid itu.
Darwisy keturunan keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang dari Walisongo (baca: Sembilan pelopor perkembangan agama Islam di Jawa). Sejak masa kanak-kanak Darwisy dikenal memiliki perhatian yang besar kepada agama. Dia pandai bergaul dan mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
Saat berusia tujuh tahun Darwisy belajar di pesantren. Di sana dia tak hanya belajar mengaji, tapi juga pengetahuan agama dan bahasa Arab. Lalu, pada 1883 –pada usia 15 tahun- dia berangkat ke Mekkah untuk berhaji sekaligus belajar selama lima tahun. Gurunya senang karena dia tergolong sebagai murid yang cerdas dan pandai bergaul.
Pada 1888 Darwisy pulang dan –seperti lazimnya saat itu- namanya berganti menjadi Haji Ahmad Dahlan. Dia-pun, diangkat menjadi pegawai Masjid Kesultanan Jogjakarta dengan gelar Khatib Amin. Kemudian, pada 1902 Dahlan ke Tanah Suci lagi. Kecuali berhaji, di sana dia tetap aktif menambah ilmu dan pengalaman. Di antara yang lebih dia dalami adalah pemikiran Muhammad Abduh, seorang pembaharu Islam ternama.
Di Mekkah dia bersahabat dengan Ahmad Khatib Minangkabawi (dari Minangkabau). Nama yang disebut terakhir itu telah lama mukim di Mekkah dan lebih dari sekali dia berkata kepada Dahlan: “Pengajaran Islam di Indonesia sudah jauh ketinggalan zaman. Harus diperbarui. Harus dengan cara modern. Agama Islam itu sebenarnya agama kemajuan. Dapat sesuai dengan zaman baru”. Atas pendapat sang sahabat, Dahlan merespon: “Itu tepat sekali. Memang banyak hal yang perlu diperbaharui dalam mengajarkan agama Islam”.
Pada 1904 Dahlan kembali ke Indonesia dan tetap aktif memerdalam pengetahuannya. Dia berguru ke ulama-ulama yang terkenal. Misal, dalam ilmu falak dia belajar kepada Syaikh Jamil Jambek di Bukittinggi.
Dahlan punya cita-cita pembaharuan dalam penyebaran Islam. Sebab, “Kemunduran Islam di Indonesia berasal dari masyarakat sendiri. Ajaran lama masih kuat dianut. Bercampur-baur dengan kepercayaan lainnya, sehingga ajaran Islam yang murni menjadi pudar dan kabur,” kata Dahlan.
Pada 18/11/1912 Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Muhammadiyah berarti umat Nabi Muhammad. Muhammadiyah adalah persyarikatan yang bergerak dalam bidang agama, sosial, dan pendidikan.
Pada 20/12/1912 diajukanlah permohonan kepada ‘pemerintah’ untuk mendapat status Badan Hukum dan dikabulkan pada 1914. Pada mulanya, Muhammadiyah hanya boleh di Jogjakarta saja. Maka, pada 07/05/1921 diajukanlah permohonan izin untuk seluruh Indonesia. Pada 02/09/1921 permohonan itu dikabulkan.
Setelah itu, aktivitas Dahlan makin bertambah dan makin terarah. Gerakan di bidang sosial makin diperluas. Balai Kesehatan, Rumah Sakit, Panti Asuhan, sekolah, madrasah, diusahakan untuk terus dibangun dan dibiayai dengan kekuatan sendiri dari dana yang berasal dari zakat, infaq, dan sumber-sumber halal lainnya.
Dahlan pandai memberi semangat dan pencerahan. Suatu ketika, dia berkata: “Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama dengan menyumbangkan jiwamu. Jiwamu tak usah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu kamu akan mati. Tapi, beranikah kamu menawarkan harta-bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini. Umat Islam dan Muhammadiyah sangat membutuhkan uluran tangan dari demawan Islam untuk memajukan perkembagan umat Islam.”
Saat awal berdirinya Muhammadiyah tak sedikit tantangan yang menghadang Dahlan, baik dari kalangan keluarganya sendiri dan dari masyarakat. Muncul berbagai tuduhan dan fitnah seperti sebutan “Kiai palsu” atau “Mengajarkan agama baru”. Namun, semua tantangan itu dihadapi Dahlan dengan sabar. Hasilnya, dakwah Muhammadiyah terus berkembang.
Dalam memimpin, Dahlan tak hanya pandai memberi komando, tapi beliau juga langsung terjun ke lapangan. Alhasil, Dahlan dikenal sebagai pekerja keras dan tak kenal lelah karena tampak seperti tak pernah beristirahat.
Dahlan tak sempat mewariskan karya berupa buku. Tapi, sejumlah ajaran dan mutiara kata sempat dicatat orang, antara lain: “Umat Islam telah merosot moralnya sehingga sudah tak mempunyai keberanian seperti harimau, tapi hanya mempunyai semangat seperti kambing”.
Dahlan meninggal pada 23/02/1923. Pemakamannya mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat dan pemerintah. Kala itu, sekolah-sekolah –negeri dan swasta- diliburkan. Di sepanjang jalan yang dilalui jenazah, berduyun-duyun masyarakat memberikan penghormatan yang terakhir. Utusan dari cabang-cabang Muhammadiuah di Jawa datang. Sementara, yang dari luar Jawa –karena kesulitan transportasi- mengirimkan telegram dukacita. Sejumlah pemimpin pergerakan nasional lainnya juga hadir, antara lain Ki Hajar Dewantara.
Dari paparan di atas, tampak sebuah performa seorang Muslim yang menjadikan aktivitas tabligh atau dakwah sebagai kesehariannya. Maka, di titik ini kita bisa menemukan urgensi dari kalimat Dahlan yang dikutip pada paragraf pertama dari dari sejarah ringkas Sang Pencerah ini.
Siapa Pikul
Terakhir, mari ‘jawab’ tantangan KH Ahmad Dahlan ini: “Tidak mungkin Islam lenyap dari seluruh dunia, tapi tidak mustahil hapus dari bumi Indonesia.” Pernyataan itu lalu beliau sambung dengan kalimat: “Siapakah yang bertanggung-jawab?” (*)
*Penulis tinggal di www.anwardjaelani.com