KPK SP3 Kasus BLBI Sjamsul Nursalim, Dimana Biang Keroknya?

Terhadap perkara tersebut Mahkamah berpendapat, walaupun KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, namun menurut Mahkamah yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas.
Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal yang diujikan tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy) seperti lembaga swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat lainnya.
Pasalnya, KUHAP pada hakikatnya adalah instrumen hukum untuk menegakkan hukum pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat pada umumnya.
Kembali ke kasus SP3 oleh KPK maka kalau kebijakan SP3 itu tidak digugat dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan bagi petinggi KPK untuk mengobral kewenangannya mengeluarkan SP3. Soalnya ada indikasi selain kasus BLBI, KPK membuka peluang untuk penghentian penyidikan atau SP3 kasus kasus hukum lainnya.
“Terkait kemungkinan SP3 lagi tentu kita akan melihat case by case (kasus per kasus). Ada beberapa kasus yang lama dan beberapa tersangkanya itu sudah tidak bisa lagi mengikuti pemeriksaan karena sakit parah atau sakit permanen, sehingga tidak layak diajukan ke persidangan,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Kamis, 1 April 2021 seperti dikutip media.
Kalau memang demikian halnya maka siap siap koruptor berpesta karena terbuka peluang kasusnya akan di hentikan oleh KPK. Terutama koruptor koruptor kakap yang telah menyikat uang negara tiriliunan nilainya. Mereka bisa melakukan berbagai upaya untuk meloloskan kasusnya dari jerat hukum yang selama ini menghantuinya. Dengan kekuatan uangnya yang luar biasa, apa sih yang tidak bisa dilakukan di Indonesia ?
Ini Dia Biang Keladinya
Kalau ditelusuri kebelakang maka semuanya bermula dari adanya revisi UU KPK yang dulu pernah ditentang habis habisan oleh mahasiswa. Dengan keberhasilan merevisi UU KPK maka dampak buruk selain menghambat penindakan korupsi, UU KPK yang baru juga menguntungkan para koruptor di Indonesia antara lain dengan munculnya kewenangan KPK untuk menghentikan perkara yang ditanganinya lewat SP3.
Seperti kita ketahui bersama, sesuai dengan hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) maka salah satu poin yang berubah adalah komisi antirasuah diberikan kewenangan menerbitkan SP3 jika penyidikan atau penuntutan tidak selesai dalam dua tahun sesuai Pasal 40.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1), KPK yang baru dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Kemudian Pasal 40 ayat (2) menyatakan, penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya SP3.
Dengan adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 maka terbuka peluang perkara yang ditangani KPK berhenti di tengah jalan alias di SP3. Perkara-perkara besar yang selama ini ditangani oleh KPK akan sangat memungkinkan untuk dihentikan penanganannya. Oleh karena itu menurut hemat saya seyogyanya kewenangan KPK yang tidak bisa mengeluarkan SP3 dipertahankan eksistensinya.
Memang dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa dengan tidak adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 dalam perkara korupsi dinilai bertentangan dengan KUHAPidana. Pada hal dengan tidak diberikannya wewenang kepada KPK untuk mengeluarkan SP3, sebenarnya bukan berarti melanggar KUHAPidana.

Karena ketidakwenangan KPK dalam mengeluarkan SP3 adalah bentuk kekhususan dari UU KPK (yang lama) terhadap KUHAP yang biasa kita kenal dengan istilah lex specialis derogat legi generali dalam arti peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Pengaturan ini merupakan prosedur khusus yang dimiliki oleh KPK untuk memaksimalkan pemberantasan dan penegakan hukum terhadap kasus kasus korupsi di Indonesia.
Sebab apabila diberikan kewenangan mengeluarkan SP3 maka apa bedanya KPK dengan Kepolisian maupun Kejaksaan dalam menangani suatu perkara korupsi di Indonesia ? Bukankah selama ini kita mengenal KPK memiliki desain lembaga khusus yang unik dan tak dimiliki lembaga lainnya ? . Desain khusus itu melahirkan kemampuan menindak korupsi dengan tepat guna serta dengan kewenangan besarnya ?
Hal ini mengingat korupsi adalah kejahatan yang luar biasa sehingga diperlukan lembaga yang istimewa bersifat khusus dan mempunyai kewenangan yang berbeda pula dengan lembaga penegak hukum pada umumnya.
Pada kenyataannya, sudah jamak terjadi dimana seringkali dalam penanganan kasus kasus korupsi di Indonesia menjadi ajang permainan antar aparatur penegak hukum dengan pihak yang terkait dalam proses penghentian penyidikan suatu perkara.
Selain itu dengan tidak diberikannya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 merupakan salah satu amunisi yang bisa digunakan oleh KPK dalam proses penyidikan kasus korupsi agar KPK dapat bekerja maksimal dan efisien. Untuk mencegah negosiasi terselubung antara oknum KPK dengan pihak-pihak yang terkait dalam hal ini tersangka kasus korupsi, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam proses penyidikan yang dilakukannya.
Tidak diberikannya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 merupakan sikap kehatihatian yang harus sangat diperhatikan oleh KPK. Karena setiap kasus yang telah disidik oleh KPK akan terus berlanjut hingga ke ranah tingkat pengadilan untuk ditangani perkaranya. Dalam hal ini KPK diwajibkan untuk bekerja secara hati-hati dan maksimal berkaitan dengan masalah pembuktian baik dari awal proses penyelidikan hingga akhirnya menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Namun seperti telah disinggung diatas, kewenangan KPK untuk bisa mengeluarkan SP3 sudah dilegalisasi melalui refisi UU KPK serta sudah dimanfaatkan dengan sebaik baiknya oleh KPK dengan dikeluarkannya SP3 untuk kasus mega kosupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Sebentar lagi sangat mungkin dikeluarkan SP3 SP3 lainnya terutama kasus kasus korupsi kakap yang selama ini menjadi perhatian rakyat Indonesia.
Oleh karena itu boleh dikata dengan keluarnya SP3 oleh KPK tersebut sebagai awal kemenangan koruptor kakap di Indonesia. Sebagai pertanda kemenangan kubu yang dahulu begitu getol ingin merevisi UU KPK yang banyak ditentang mahasiswa.
Kini hasil revisi itu sudah menuai hasilnya. Bagi KPK sendiri tidak bisa disalahkan karena lembaga itu menjalankan perintah sesuai ketentuan Undang Undang yang menaunginya. Kalau kemudian kewenangan mengeluarkan SP3 itu kemudian dimanfaatkan dengan sebaik baiknya oleh KPK lalu siapa yang harus dipersalahkannya ?.
Diluar hal diatas,meskipun kewenangan KPK dalam menyidik Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, sebagai penyelenggara negara telah gugur karena upaya hukum luar biasanya melalui peninjauan kembali (PK) ditolak Mahkamah Agung (MA), kiranya KPK tetap diharapkan dapat melanjutkan penyidikannya dan bukan menghentikannya. Karena Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor memungkinkan KPK menyidik pihak swasta yang merugikan keuangan negara di atas Rp1 miliar nilainya.
Selain itu, cara lain yang bisa dilakukan KPK adalah mengajukan gugatan perdata terhadap kasus tersebut jika dinilai tidak cukup alat buktinya. Cara ini bisa dilakukan dengan menyerahkan kasus itu untuk digugat secara perdata kepada Kejaksaan Agung dimana secara simultan KPK melakukan supervisi atas kasusnya.
Demi keadilan karena hilangnya uang negara yang bernilai triliunan rupiah seharusnya kasus BLBI memang tidak boleh ditutup begitu saja sebab kerugian negara itu begitu nyata . Tetapi maukah KPK melakukannya ? (*/Red/LJ)
