Luluh Lantak Kritik Konsumen Dihajar Korporasi

JAKARTA – Komika Muhadkly MT alias Acho tak bisa menutupi takut saat berada di Polda Metro Jaya, Jakarta, 17 Juli 2017. Dia berpose di depan kamera bukan sebagai artis, tapi sebagai tersangka.

Acho diduga melanggar Pasal 27 Ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 310-311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Ada perasaan takut juga. Ini pertama kalinya saya mengalami kasus hukum,” kata Acho mengenang kejadian itu, Kamis (6/8/2020).

Kasus bermula dari artikel berjudul “Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya” yang diunggah Acho di blog pribadinya pada 8 Maret 2015. Sejumlah kejanggalan usai membeli hunian di apartemen itu ia beberkan. Mulai dari bayar parkir per jam, sampai biaya izin renovasi bangunan.

Komplain ke pihak apartemen hingga demo bersama tetangga sudah dijalankan. Semua keluhan tak mendapat tanggapan.

“Karena saya dan warga lain merasa mentok enggak didengarkan, makanya saya inisiatif menulis di blog pribadi saya,” ujarnya.

Acho mengatakan artikel itu ditulis sebagai peringatan bagi calon pembeli supaya tidak mengalami pengalaman serupa. Tak ada maksud menghina pihak manapun, tulis Acho di artikel itu.

5 November 2015, Acho dilaporkan kuasa hukum pengembang PT Duta Paramindo Sejahtera, Danang Surya Winata ke Polda Metro Jaya. Selang dua tahun kemudian, ia baru dipanggil sebagai saksi oleh penyidik.

Acho sempat mengupayakan mediasi dengan Green Pramuka saat statusnya naik menjadi tersangka, namun tak direspons. Kasusnya kemudian dilimpahkan ke kejaksaan. Ia tinggal menunggu sidang di pengadilan. Rasa takut perlahan sirna. Acho banyak berkonsultasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yang kala itu menjadi kuasa hukumnya.

“Saya jadi banyak wawasan, sebetulnya enggak perlu takut. Karena apa yang saya utarakan itu dijamin UU [Perlindungan] Konsumen. Itu hak konsumen untuk bersuara,” ujarnya.

Komika Muhadkly alias Acho mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terkait dengan pencabutan laporan pihak pengembang Green Pramuka City.

Kasus tersebut mendapat sorotan dari berbagai media massa. Begitu pula perbincangan di media sosial. Para pengikut Acho di medsos banyak yang mendukung aksinya.

Mendekati masa sidang, Green Pramuka akhirnya mengajak mediasi dan berdamai. Pihak apartemen memutuskan untuk mencabut laporannya tanpa syarat. Acho pun hanya memuat pembelaan Green Pramuka di blognya, tanpa menghapus tulisan sebelumnya.

Dari pengalaman itu, ia sadar kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak yang dilindungi dan perlu diperjuangkan. Ia kini aktif mendukung orang lain yang terjerat kasus serupa.

Kuasa hukum pengembang PT Duta Paramindo Sejahtera, Danang Surya Winata tak menjawab konfirmasi yang dilakukan wartawan.

Tahapan Pengaduan
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengamini ada ketidakadilan yang dilakukan Green Pramuka pada kasus ini. Menurutnya, Acho sudah menjalani tahapan pengaduan kritik sesuai rekomendasi YLKI.

Kartini dprd serang

Ketika konsumen ingin menyampaikan keluhan terhadap sebuah layanan atau produk, kata Tulus, ada tahapan yang perlu diperhatikan. Pertama, sebaiknya konsumen menyampaikan keluhan ke pihak korporasi terlebih dahulu.

Jika pengaduan tidak direspons korporasi atau tanggapan yang diberikan tidak memuaskan, konsumen direkomendasikan mengadu ke lembaga terkait, seperti YLKI. Dari situ pendampingan dan analisis kasus dilakukan.

Pendampingan bisa berupa pernyataan ke publik maupun surat yang dilayangkan kepada korporasi. Namun apabila korporasi tidak merespons surat, kasus berlanjut dengan pelaporan ke kementerian maupun kepolisian.

“Acho itu sudah melakukan prosedur sesuai standar itu. Sudah komunikasi dengan operator, tapi tidak dapat kepuasan. Tapi tetap dilaporkan secara pidana,” ujarnya.

Penggunaan langkah represif atas kritik konsumen, menurut Tulus, tak sepatutnya dilakukan korporasi. Ia menilai kritik konsumen seharusnya ditanggapi sebagai umpan balik positif.

Pelaporan kepolisian oleh korporasi bisa memunculkan dampak psikologis berupa ketakutan konsumen mengutarakan pendapatnya. Hal ini dinilai sebagai upaya pembungkaman sikap kritis konsumen.

Penyampaian kritik dan keluhan dilindungi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan,” demikian bunyi pasal 4.

Pasal yang sama menyatakan, konsumen berhak mendapat kompensasi atau ganti rugi jika barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.

Kriminalisasi Konsumen
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu mengatakan kriminalisasi konsumen oleh korporasi umumnya bermula dari kritik. Ia menyebut kasus ini marak dilakukan korporasi sejak UU ITE disahkan.

Kasus Acho bukan sengketa konsumen dan korporasi pertama. Insiden serupa pernah dialami ibu rumah tangga, Prita Mulyasari yang menyampaikan keluhan pelayanan RS Omni Internasional melalui email.

Belakangan, Youtuber Rius Vernandes juga dijerat pidana setelah mengungkap penerbangan kelas bisnis Garuda Indonesia membagikan menu makanan di kertas dengan tulisan tangan. Ia digugat Serikat Pekerja Garuda Indonesia atas unggahannya di sosial media, meski akhirnya berdamai.

Erasmus menilai penggunaan UU ITE dan Pasal 310-311 KUHP pada sengketa konsumen dan korporasi seharusnya tak bisa diloloskan. Karena menurutnya Pasal 310-311 mengatur perlindungan martabat bagi individu, bukan korporasi. Sedangkan UU ITE dibuat dengan landasan hukum kedua pasal KUHP itu.

“Karena disebut [pada KUHP] itu martabat orang bukan perusahaan. Dan perusahaan itu sebenarnya dalam konteks privasi enggak mungkin punya harga diri, kecuali bersifat privat, ya. Jadi kalau perusahaan mau ambil dalam konteks perdata, silakan. Tapi kalau pidana agak aneh,” ujarnya kepada wartawan.

Pasal 310 dan 311 termasuk aturan terkait penghinaan dalam KUHP. Pasal 310 mengatur terkait pencemaran kehormatan dan nama baik seseorang dan Pasal 311 mengatur pencemaran tertulis.



Selain itu, Erasmus menilai UU ITE sudah seharusnya direvisi secara menyeluruh, khususnya Pasal 27 Ayat (3). Katanya, pasal tersebut tidak bisa hanya mempertimbangkan Pasal 310-311 KUHP saja.

“Bab soal penghinaan di KUHP itu dari pasal 310 sampai 321. Sedangkan dalam UU ITE yang di-cover hanya 310-311. Itu menunjukkan bahwa perumus UU ITE dari awal enggak paham bedanya delik penghinaan KUHP dengan konteks ITE,” lanjutnya. (*/CNN)

Polda