Museum Purna Bhakti Selenggarakan Seminar Serangan Oemoem 1 Maret 1949
JAKARTA – Museum Purna Bhakti Pertiwi bersama Yayasan Kajian Citra Bangsa pada 16 Maret 2023 menyelenggarakan seminar terkait Serangan Oemoem 1 Maret 1949 dalam upaya merawat ingatan seluruh Bangsa Indonesia atas kekejaman genosida yang dilakukan tentara Belanda dalam Agresi Militer Belanda II di Indonesia saat itu.
Ketua Yayasan Kajian Citra Bangsa Mayjend (Purn) Lukman R Boer dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (16/3/2023) menyebutkan, seminar yang berlangsung di Museum Purna Bhakti Pertiwi Jakarta itu juga diharapkan dapat menggugah generasi muda agar memiliki patriotisme dan nasionalisme dalam mengisi cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Seminar yang mengangkat tema “Kemusuk Bersimbah dan Letnan Kolonel Soeharto” itu dihadiri berbagai tokoh, antara lain Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto (mantan KSAD), Dr Sumardiansyah Halim Perdana Kusumah (Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia), dan Noor Johan Nuh (Penulis buku-buku tentang Pak Harto).
Seminar yang dimoderatori oleh Sejarawan Diana Trisnawati M Hum itu juga diikuti oleh para pelajar, mahasiswa, tokoh lokal maupun nasional, guru sejarah dan sivitas akademika serta berbagai elemen masyarakat lainnya.
Mengutip almarhum Probosutejo dalam buku biografi novelistiknya yang berjudul “Saya dan Mas Harto”, Lukman Boer menjelaskan, pada sekitar awal Januari 1949 pasukan Belanda setiap hari menginterogasi semua orang di Desa Kemusuk yang menjadi saksi atas kekejaman Belanda pada Agresi Militer Belanda II.
Mereka mencari tahu di mana Letkol. Soeharto yang telah memimpin serangan malam hari terhadap pasukan Belanda di sekitar Kantor Pos Besar, Secodiningratan, Ngabean, Patuk, Sentul, dan Pengok pada 29 Desember 1948.
Alih-alih mendapatkan informasi, ternyata berbagai interogasi tentara Belanda tersebut hasilnya nihil, sehingga akhirnya mereka dengan membabibuta menembaki kaum pria yang terlihat di Desa Kemusuk maupun desa-desa di sekitarnya.
Seluruh jasad pria korban penembakan itu langsung dilemparkan ke dalam api yang berkobar-kobar, termasuk Atmo Pawiro (ayahanda Probosutejo) serta lebih dari 200 korban lain yang tiga di antaranya adalah bayi dan balita.
Tentara Belanda juga membakar semua rumah dan tempat penyimpanan jerami.
Saat itu Kemusuk yang damai telah berubah menjadi neraka mengerikan yang dipenuhi letusan senjata. Desa Kemusuk seketika berubah menjadi ladang pembantaian (Killing Field). Genosida itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM).
Lukman Boer juga mengemukakan, dua bulan sebelum Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto ada ratusan, dan yang bisa tercatat namanya hanya 202 korban penduduk Dusun Kemusuk dan sekitarnya yang gugur dibantai oleh tentara Belanda, persisnya pada 7 dan 8 Januari 1949.
Ratusan korban yang gugur sebagai kusuma bangsa itu hingga kini terbaring abadi di Makam Somenggalan, Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul. Adanya ratusan korban yang menjadi perisai bagi Letnan Kolonel Soeharto itulah yang melatari penyelenggaraan seminar nasional yang diadakan Museum Purna Bhakti Pertiwi bersama Yayasan Kajian Citra Bangsa.
Ketua Yayasan Kajian Citra Bangsa itu lebih lanjut menjelaskan bahwa putera Kemusuk yang menjadi Komandan Wehrkreise III Kolonel Soeharto melakukan empat kali serangan malam hari (29 Desember 1948, 9 Januari 1949, 16 Januari 1949, dan 4 Februari 1949) serta satu serangan siang hari (1 Maret 1949).
Serangan yang dipimpin oleh Letkol Soeharto itu memakan banyak korban jiwa dan bangunan di pihak Belanda, padahal sebelumnya pasukan Belanda telah merasa menang ketika menangkap Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa Menteri.
Penyebab utama terjadinya serangan umum dilatarbelakangi oleh propaganda Belanda ke dunia internasional yang mengklaim bahwa Indonesia sudah hancur. Tak hanya itu, kelompok Belanda juga mengatakan bahwa pasukan tentara Indonesia tidak ada yang tersisa meski negaranya sudah merdeka. (*/Red)