Puasa, Mencegah Berkata dan Bertindak Dusta

Dprd ied

Oleh: Sabrur R Soenardi*)
advertisement

Dalam konteks ibadah puasa, Nabi menyebut istilah “qaul al-zur” , yakni sesuatu yang merusak nilai puasa seseorang di sisi Allah. Secara lughawi kata al-zur bisa diartikan “melenceng” (al-mail). Sedangkan secara terminologis, qaul al-zur adalah setiap perkataan yang melenceng dari kebenaran, seperti kata-kata dusta, kesaksian atau sumpah palsu, atau mengaku-ngaku sesuatu yang bukan miliknya. Ini semua adalah qaul al-zur. Maka istilah ini mencakup semua perkataan batil dan melenceng dari kebenaran (al-haqq).

Dalam sebuah hadis, Nabi pernah mengatakan bahwa qaul al-zur adalah satu di antara dosa besar. Beliau suatu kali berkata kepada orang-orang: “Tidakkah kalian ingin aku kabari tentang dosa terbesar (akbar al-kaba’ir)?” Beliau mengulangi pertanyaan itu tiga kali. Para sahabat menjawab: “Tentu saja, wahai Rasulullah.” Beliau berkata: “Menyekutukan Allah, berani kepada orangtua,” kemudian beliau duduk dan melanjutkan, “… dan ketahuilah, selanjutnya adalah perkataan melenceng (qaul al-zur), dan ketahuilah, selanjutnya adalah perkataan melenceng (qaul al-zur), dan ketahuilah, selanjutnya adalah perkataan melenceng (qaul al-zur)…” Sahabat periwayat hadis ini mengatakan: “Beliau terus saja mengulangi kata-kata itu sampai-sampai kami berkata dalam hati: ‘Duhai, seandainya saja beliau berhenti mengucapkannya…’” (HR Bukhari dari Nufai’ ibn al-Harits).

Rasul SAW menyebut perkataan melenceng (qaul al-zur) sebagai salah satu dari tiga dosa besar (tsalatsah min al-kaba’ir). Sementara, dosa besar adalah dosa yang meniscayakan siksa dari Allah, kecuali jika Dia sudah mengampuni pelakunya.

Kenapa Nabi SAW mengulangi “dan ketahuilah, selanjutnya adalah perkataan melenceng (qaul al-zur)”, menekankannya berkali-kali? Itu karena kebanyakan manusia abai akan hal ini. Nabi SAW pernah bersabda:“Sesungguhnya seorang hamba sangat mungkin mengatakan suatu kalimat yang itu Allah benci, karena dengan perkataan itu Allah akan melemparkannya ke neraka Jahanam” (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Ini bisanya terjadi ketika kata-kata itu berkait kelindan dengan sumpah palsu, dan itu adalah kedustaan, dan kata-kata seperti inilah (sumpah palsu, dusta) yang akan menjerumuskan ke dalam neraka. Nabi SAW suatu kali bersabda: “Siapa yang mengambil hak seorang Muslim dengan sumpah palsunya, maka hal itu akan jadikan Allah mewajibkan atas dirinya neraka dan mengharamkan atas dirinya surga.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasul, walaupun itu hanya masalah kecil?” Rasul menjawab: “Ya, meskipun yang diambil hanya sebatang pohon ara.” (Muwaththa’Imam Malik, hadis dari Abu Umamah). Maka seburuk-buruk perkara adalah ketika kata-kata yang melenceng (qaul al-zur) itu bergandengan dengan sumpah palsu (di pengadilan).

dprd tangsel

Selain qaul al-zur ada juga istilah ‘amal al-zur, yang berarti berbuat melenceng, berbuat curang, bertindak dusta. Misalnya dalam hal ini: orang yang berpakaian ala ulama, padahal ia bukan ulama; orang yang berpakaian ala orang kaya, padahal ia bukan orang kaya; atau sebaliknya, berpakaian layaknya orang fakir padahal ia bukan orang fakir, berpakaian ala sufi meskipun dia bukan seorang sufi, dan seterusnya. Suatu kali, ada seorang wanita yang menghadap Nabi SAW dan berkata: “Ya Nabi, saya memiliki uzur. Bolehkah saya berdandan di depan suami saya dengan sesuatu yang bukan pemberiannya?” Nabi SAW bersabda: “Seseorang yang berdandan dengan sesuatu yang bukan pemberian untuknya adalah laksana memakai dua pakaian palsu (tsaubay zur).” (HR Muslim dari Asma’ bint Abu Bakar Ra). Istilah “dua pakaian palsu” (tsaubay zur), merujuk pada kebiasaan orang Arab kala itu, bahwa pakaian terbaik itu terdiri dari dua macam, yakni pakaian dalam (al-izar, semacam cawat) dan jubah (al-rada’), itulah pakaian yang lengkap dan terbaik, maksudnya orang yang bisa memakainya dianggap sebagai berkecukupan (kaya).

Para ulama menafsirkan kata “tsaubay zur” (dua pakaian palsu) itu tak ubahnya tindakan pencitraan, yakni ketika seseorang penampilan lahiriahnya tidak sesuai dengan kenyataan sejatinya; ia memakai pakaian ala orang kaya, tetapi sesungguhnya ia bukan orang kaya. Atau, misalnya, ia mungkin mengendarai mobil yang mewah hasil kredit, nyicil, sementara di rumahnya ia tidak memiliki apa-apa yang layak. Hal yang sama bisa terjadi pada diri seorang penguasa, penyelenggara negara, yang menampilkan dirinya, mencitrakan dirinya sebagai “merakyat”, populis, dan semacamnya, tetapi pada kenyataannya tidak begitu. Ini adalah ‘amal al-zur (berbuat melenceng, bertindak dusta), laksana orang yang menampilkan lahiriahnya dengan sikap-sikap tawaduk, populis, agamis, tetapi hatinya serigala, sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi SAW tentang kondisi akhir zaman: “Akan muncul di antara kamu, orang-orang yang hati mereka hati setan, meskipun tubuh mereka tubuh manusia.”(HR Muslim, dari Hudzaifah al-Yamani).

Sampai di sini, memang harus ada kesesuaian antara tampilan lahiriah dengan kenyataan sesungguhnya; harus ada kesesuaian antara yang kita ucapkan, yang kita lakukan, dengan kenyataan atau kebenaran yang ada. Kita harus berkata yang hak, berbuat yang benar, meski serasa pahit kita melaksanakannya. Ketika Nabi SAW bersabda:“Barangsiapa yang tidak bisa mencegah mencegah dari berkata dan bertindak dusta/melenceng (qaul al-zur wa al-‘amal bih), maka Allah tidak butuh akan usahanya mencegah diri dari makan dan minum,” (HR Bukhari dari Abu Hurairah), ini mengandung arti bahwa Allah tidak butuh ibadah (puasa) seseorang. Sebab, seorang Muslim beribadah tidak lain untuk dirinya sendiri; dengan ibadah, harusnya seseorang yang menyucikan jiwanya (tazkiyah al-nafs), sebagaimana firman Allah: “Siapa yang beramal saleh, maka itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa beramal buruk, maka ia akan mendapat akibatnya.” (QS Fushshilat: 46). Puasa, al-shiyam, tujuannya tidak lain adalah untuk membentuk pribadi Muslim yang takwa, sebagaimana tersinyalir dalam QS al-Baqarah: 183 itu. Takwa, secara sekilas, bisa dimaknai sebagai kedekatan kepada Allah SWT. Barangsiapa yang tidak takwa kepada Allah, tidak takut kepada-Nya, dengan berkata-kata dusta (qaul al-zur), bertindak dusta (al-‘amal bih), maka tak ada faidah dan gunanya ia menahan lapar dan dahaga, menahan makan dan minum.

Wal akhir, pesan penting dari kajian kita hari ini, mari selama satu bulan ke depan ini, kita khidmatkan diri kita untuk menjauhi berkata-kata dusta, baik itu lewat lisan, tulisan, dan sebagainya; menjauhi perbuatan dan tindakan dusta dalam segala bentuknya. Karena, jika kita tak kuasa menghindari itu semua, maka tiada guna kita menderita lapar dan dahaga sehari lamanya. Wallahu a’lam.

*) Penulis adalah pegawai di DP3AKBPMD Kabupaten Gunungkidul, alumnus PPWI Petanahan Kebumen & PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, eksponen PII wilayah Yogya Besar

Golkat ied