Reformasi Gagal Total; Kronik Reformasi Mei 1998

Hut bhayangkara

*) Oleh: Fahmi Agustian

“Kalau sudah begini, ya sudah, saya mundur!” begitulah kalimat yang diucapkan oleh Soeharto setelah menerima surat pengunduran diri 14 Menteri pada malam hari 20 Mei 1998. Setelah berkuasa selama 32 tahun lamanya, sampai pada saatnya Soeharto harus meletakkan jabatannya. Desakan untuk mundur saat itu pada akhirnya tidak hanya datang dari mahasiswa dan rakyat saja. Bahkan dari orang-orang terdekat Soeharto juga turut menyarankan agar mundur.

Dalam hitungan hari, Soeharto yang sempat bersikukuh untuk tidak melepaskan jabatannya sebagai Presiden, akhirnya berubah pikiran. Cak Nun dan Cak Nur, beserta beberapa tokoh lainnya yang bertemu di Istana Negara pada tanggal 19 Mei 1998 berhasil meyakinkan Soeharto untuk mundur. Proses pergantian kekuasaan pun kemudian diatur sedemikian rupa agar berjalan secara konstitusional. Wakil Presiden B.J. Habibie kemudian diambil sumpahnya untuk melanjutkan jabatan Presiden.
Andai saja para tokoh Reformasi mau sedikit saja untuk bersabar, mau menerima usulan dimunculkannya Komite Reformasi, mungkin situasinya akan lebih baik. Komite Reformasi yang digagas dalam pertemuan 19 Mei 1998 itu memang direncanakan akan dipimpin sendiri oleh Soeharto.
Kerangka berpikirnya adalah bahwa orang yang bersalah adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan atas kesalahan yang dilakukan.

Dari 45 anggote Komite Reformasi yang dirancang, 43 diantaranya adalah tokoh Reformasi. Secara umum, kekuatan tokoh Pro Reformasi lebih banyak jika dibandingkan dengan perwakilan dari penguasa saat itu. Tetapi, para tokoh Reformasi tidak sabaran. Cak Nun dalam sebuah tulisannya mengibaratkan, perjuangan Reformasi 1998 saat itu seperti sebuah tim sepakbola yang ingin langsung memenangkan pertandingan 5-0. Bahkan, kalau bisa tidak perlu bertanding tetapi menang telak.

Sementara, selama gejolak Mei 1998 bergulir, masing-masing tim yang bergerak di lapangan, seperti tidak terkoordinir satu sama lain. Setiap pasukan, memiliki sendiri komandannya masing-masing. Setiap pasukan, memiliki strategi perangnya masing-masing. Begitu Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden, seluruh pasukan itu berpencar. Dan kemudian mengambil peluangnya sendiri-sendiri.

Cak Nur sendiri yang meminta kepada Soeharto agar sembilan tokoh yang bertemu di Istana Negara pada 19 Mei 1998 tidak dilibatkan dalam Komite Reformasi. Bahkan tidak terlibat pun, sembilan tokoh tersebut difitnah sebagai alat politiknya Soeharto. Sehingga gagasan Komite Reformasi dianggap sebagai strategi Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. Jangan-jangan, para tokoh Reformasi itu sendiri yang memang sedari awal tidak yakin dengan soliditas perjuangan mereka sendiri?

Setelah Soeharto secara resmi menyatakan mundur, B.J Habibie yang notabene adalah pangeran kesayangan Soeharto menduduki jabatan Presiden. Dan atas jaminan Soeharto, ABRI saat itu mendukung penuh kepemimpinan B.J. Habibie. Andaikan Soeharto tidak sungguh-sungguh untuk mundur dari jabatan Presiden, saat itu setidaknya ia masih memiliki kesempatan untuk melakukan kudeta dengan cara militer. Kekuatan militer saat itu belum benar-benar dilepaskan oleh Soeharto. Namun, Soeharto sama sekali tidak memanfaatkan kesempatan itu.

Yang terjadi kemudian, Soeharto justru bersedia untuk diadili. Cak Nun, sebagai salah satu tokoh yang terlibat pada pertemuan 19 Mei 1998, secara khusus ditunjuk sebagai “imam” oleh Soeharto. Satu tahun setelah ia mundur dari jabatan Presiden, pada suatu malam Cak Nun diundang ke kediamannya di Cendana. Tidak mudah bagi Cak Nun mengiyakan keinginan Soeharto untuk bertemu. Setidaknya ada lima kali upaya pihak Cendana menghubungi Cak Nun agar mau menemui Soeharto di Cendana. Bahkan, Tommy dan Bambang juga sempat mencari Cak Nun agar mau bertemu Soeharto.

Ustadz Abu Bakar, seorang aktivis PadhangmBulan saat itu menyampaikan kepada Cak Nun bahwa Cak Nun adalah salah satu orang yang masih dipercaya oleh Soeharto, dan masih dianggap objektif. Pertemuan itu berlangsung selama 3 jam, di Cendana. Dalam sebuah ruangan, hanya Cak Nun dan Soeharto saja.

Loading...

Dalam sebuah pengajian di Brebes, Cak Nun sempat menyatakan bahwa Soeharto harus bersegera meminta maaf kepada Rasulullah Saw di makamnya. Kemudian, harus bersegera mencari momentum untuk meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Dan juga menyatakan bersedia untuk diadili. Dengan cara inilah kemudian Soeharto kemudian akan menjalani husnul khatimah.

Lazim saat itu diketahui oleh banyak pihak, bahwa laporan-laporan yang diterima oleh Soeharto dari para bawahannya bersifat ABS (Asal Bapak Senang). Sehingga, seringkali laporan yang disampaikan kepada Soeharto semasa berkuasa tidak seperti yang terjadi di lapangan. Para Menteri memilih untuk memanipulasi laporan kepada Soeharto, karena mereka takut kepada Soeharto.

“Cak Nun, saya dengar Anda keliling ke mana-mana. Saya ingin tahu rakyat kita bagaimana sekarang, sengsara apa tidak. Krisis ini seberapa berat bagi mereka?”, Soeharto bertanya kepada Cak Nun saat itu. Cak Nun pun menjawab apa adanya. Bahwa akibat dari krisis ekonomi saat itu yang paling merasakan dampaknya adalah kaum marginal. Yang terpinggirkan di kota-kota. Masyarakat Desa yang punya akses terhadap tanah dan alam relatif lebih tahan terhadap krisis.

“Pak Harto, sekarang ini Sampeyan bicara apa saja di forum apa saja dan di media mana saja tak akan dipercaya siapapun. Tapi masih ada satu forum yang terbuka bagi Pak Harto. Yakni Forum Ikrar Husnul Khatimah. Pak Harto bertekad untuk membayar semua dosa dan memastikan mengakhiri sisa kehidupan dengan kebaikan-kebaikan”, Cak Nun menyarankan Soeharto untuk melaksanakan Ikrar Husnul Khatimah saat itu.

Agenda itu direncanakan akan dilaksanakan di Masjid Baiturrahman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada 21 Mei 1999. Dalam Ikrar Husnul Khatimah itu, Soeharto bersedia untuk bersumpah setidaknya untuk Empat hal: Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia lagi. Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan Presiden Republik Indonesia. Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan segala kesalahan saya selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia. Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas mengembalikan harta rakyat yang dibuktikan oleh Pengadilan Negara.

Namun, Ikrar Husnul Khatimah 4 Sumpah Soeharto itu urung dinyatakan oleh Soeharto. Bahkan Cak Nun kembali difitnah oleh beberapa tokoh politik nasional: “Emha adalah mesin politik Soeharto di bidang Agama dan berusaha menghindarkan Soeharto dari Pengadilan Negara”. Pada suatu waktu, Cak Nun menggagas acara pertemuan antara rakyat Yogya dengan Sri Sultan HB X di Alun-alun utara Yogyakarta. Dan dalam acara yang digagas oleh Cak Nun itu pun, tetap saja ada tokoh yang memfitnah Cak Nun, dan menuduh Cak Nun sebagai salah satu antek Soeharto.

4 sumpah Soeharto itu akhirnya sama sekali tidak pernah dibacakan oleh Soeharto di depan umum. Bahkan hingga akhir hayatnya, tak sekalipun kita melihat Seoharto diseret ke meja pengadilan untuk mempertanggungjawabkan semua kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan selama berkuasa.
Satu hal yang juga perlu dicatat, hingga wafatnya, Seoharto tak sekalipun memilih untuk mencari suaka di negara lain untuk melarikan diri. Hidupnya begitu nyaman. Ia menetap di bilangan Cendana. Mungkin sesekali ia tersenyum melihat para penerus penguasa di Indonesia. Dan tak heran jika ia juga pernah menyatakan bahwa memimpin Indonesia itu tidak mudah. (*)

*) Fahmi Agustian, Penulis adalah penggiat Maiyah, Kenduri Cinta

(Sumber: Caknun.com)

Ks rc
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien