Rektor UMJ: Indonesia Bukan Negara Agama, tetapi Negara Agamis
TANGSEL – Kader Muhammadiyah yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) untuk masa khidmat 2021-2025 Dr. Ma’mun Murod menilai, Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, tapi sejatinya adalah negara agamis.
“Indonesia bukan negara agama, tapi negara agamis. Letak agamisnya di mana? Tegas disebutkan dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,” katanya dalam perbincangan dengan wartawan di Ciputat Tangerang Selatan (Tangsel), Minggu (22/8/2021).
Sebelumnya, dalam diskusi publik pada 20 Agustus 2021 dengan tema “Refleksi 76 tahun Kemerdekaan RI: Sudahkah kita merdeka?”, Ma’mun Murod melontarkan pernyataan bahwa Indonesia bukan negara agama, tapi sesungguhnya adalah negara agamis.
Dialog publik itu sendiri diselenggarakan secara daring oleh Program Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMJ. Selain Rektor UMJ, pembicara lain pada diskusi itu adalah Prof. Dr. Siti Zuhro dari LIPI dan Prof. Aidul Fitriciada dari Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Dialog publik yang dipandu oleh Wakil Rektor UMJ Dr. Endang Sulastri itu dibuka oleh Dekan FISIP UMJ Dr. Evi Satispi serta dihadiri 81 peserta dari kalangan akademisi, mahasiswa, dan publik.
Rektor UMJ lebih lanjut mengemukakan, Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan secara tegas bahwa Negara (Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan narasi tersebut merupakan bentuk penegasan dari sila pertama Pancasila.
Penyebutan kata “negara” dalam Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 itu sendiri menegaskan positioning Indonesia dalam konteks relasi negara dan agama, bahwa Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler.
“Indonesia adalah negara yang menempatkan agama pada posisi yang penting dan strategis. Inilah yang kemudian saya menyebut Indonesia sebagai “negara agamis,” kata rektor termuda dalam sejarah UMJ yang dilantik pada 25 Mei 2021 itu.
Ia juga mengangkat makna kemerdekaan dari sisi Islam, dimana merdeka di dalamnya harus bermakna persamaan egaliter, yakni adanya persamaan antara kaya-miskin, “kopral-jenderal”, orang yang punya harta banyak dengan yang punya harta sedikit, dan persamaan di depan hukum serta tidak adanya diskriminasi.
Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo pada dialog publik antara lain mengemukakan, dalam refleksi 76 tahun Kemerdekaan RI, sejumlah indikator seperti merdeka dari ketergantungan, merdeka dari kemiskinan, merdeka dalam akses keadilan, dan merdeka dalam melaksanaan HAM mengalami kemunduran.
“Refleksi untuk memaknai kemerdekaan itu sendiri adalah sesuatu hal yang wajar karena memang sesungguhnya dibutuhkan untuk introspeksi diri dalam proses pendewasaan,” kata Ketua MPR.
Ia juga mengatakan, kemajuan pada berbagai sektor telah mendorong adanya kemampuan untuk meningkatkan kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan domestik, namun tidak menafikan masih adanya beberapa sektor penting dimana tingkat ketergantungan masih tinggi.
Sementara itu pakar politik dari LIPI yang juga pengajar Magister Ilmu Politik UMJ Prof. Siti Zuhro mengangkat sejumlah isu kemunduran dalam demokrasi di Indonesia setelah 76 tahun Indonesia merdeka.
Ia kemudian menawarkan formula perbaikan dalam penataan sistem pemerintahan seperti penyempurnaan sistem demokrasi presidensial, penataan ulang mekanisme dan persyaratan pasangan calon presiden/wakil presiden, dan pelembagaan koalisi atas dasar platform politik yang permanen.
Pada kesempatan yang sama Prof. Aidul Fitriciada dari Universitas Muhammadiyah Surakarta menyoroti kurang berkembangnya demokrasi di Indonesia karena adanya juristokrasi sejak munculnya Mahkamah Konstitusi.
“Kalau kita lihat perkembangan dari kaca mata hukum, sebenarnya sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi sudah terjadi semacam reduksi atas demokrasi. Demokrasi yang diperjuangkan tahun 1999 itu sejak 2003 justru cenderung menjadi surut dan berkurang karena adanya yudisialisasi politik,” jelasnya. (*/Red)