Loading...

Skandal Pertamax Oplosan Rugikan Konsumen Rp193,7 Triliun, AKMI Tuntut Pertamina Bertanggung Jawab

IP UBP Suralaya HUT Cilegon

 

JAKARTA – Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, RS, sebagai tersangka dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang berlangsung dari 2018 hingga 2023.

Kasus ini mengungkap praktik oplosan Pertalite menjadi Pertamax yang tidak hanya merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun, tetapi juga jutaan konsumen di seluruh Indonesia dengan jumlah kerugian yang sama.

Modus yang dilakukan adalah membeli BBM jenis Pertalite atau lebih rendah, lalu mencampurnya agar menyerupai Pertamax.

Namun dalam proses pembelian, PT Pertamina Patra Niaga tetap membayar dengan harga Pertamax seolah-olah mereka benar-benar membeli bahan bakar dengan kualitas RON 92.

Akibatnya, konsumen yang seharusnya mendapatkan BBM berkualitas malah dipaksa menggunakan bahan bakar oplosan yang dapat merusak mesin, mengurangi efisiensi bahan bakar, dan memberikan dampak sosial serta lingkungan yang tidak diantisipasi.

Lembaga Advokasi Konsumen Muslim Indonesia (AKMI) PP KB PII menilai skandal ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap hak konsumen.

“Kami selaku Lembaga Advokasi Konsumen Muslim Indonesia menuntut kepada PT Pertamina Patra Niaga untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen pengguna Pertalite dan Pertamax di seluruh Indonesia,” tegas Sunano, Direktur AKMI PP KB PII, dalam pernyataannya pada Selasa (25/2/2025).

Menurutnya, praktik curang ini telah memanipulasi kepercayaan publik dan menciptakan ketidakadilan yang luar biasa.

“Kerugian konsumen pertalite dan pertamax selama 5 tahun antara lain selisih harga antara harga pertalite dan pertamax bagi konsumen yang angkanya sama 193,7 triliun rupiah. Biaya kerusakan mesin, karena harus menggunakan BBM yang tidak sesuai ketentuan kendaraan. Biaya pemborosan karena konsumen berpendapat penggunaan pertamax itu lebih irit dibandingkan pertalite. Padahal kenyataannya yang mereka beli adalah pertalite. Biaya sosial karena dampak penggunaan pertalite pada kendaraan,” tambahnya.

Sebelumnya dalam kasus ini, terdapat tujuh orang tersangka yang telah dilakukan penahanan.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Pertamina Patra Niaga mengabaikan pasoka minyak dalam negeri dengan sejumlah alasan.

Tersangka Riva Siahaan selaku Direktur Pertamina Patra Niaga bersama tersangka Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Optimasi Feedstock dan Produk; serta Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina Internasional Shipping menggelar rapat untuk memutuskan impor minyak mentah.

“Ada mufakatan jahat antara tersangka SDS, tersangka AP, tersangka RS, dan Tersangka YF bersama DMUT/broker, yakni tersangka MK, tersangka DW, dan tersangka GRJ sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur,” kata Qohar dalam konferensi pers di Kompleks Kejaksaan Agung, Selasa (24/2/2025) malam.

Qohar menerangkan, Riva mengimpor bahan bakar minyak dengan kadar RON 90 atau setara dengan Pertalite.

Padahal, dalam kesepakatan dan pembayarannya tertulis pembelian Pertamax dengan RON 92.

“Kemudian dilakukan blending di-storage/depo untuk menjadi RON 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” ucap Qohar.

Di sisi lain, Qohar menerangkan, tersangka juga melakukan mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka Yoki sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13%-15%.

Dari situ, tersangka M. Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa mendapatkan keuntungan.

“Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal,” ungkap Qohar. (*/Hery)

WhatsApp us
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien