Tutupnya 7-11, “Usangnya” Sekolah dan Kreasi Masjid untuk Generasi Z

Sankyu

Oleh: Mastio AF

JAGAD bisnis dikagetkan dengan tutupnya Sevel (minimarket), tempat nongkrong trendy anak muda yang outletnya hanya puluhan di tahun 2012, kemudian menjadi ribuan di tahun 2014 dengan laporan keuangan bagus di bursa saham, tiba-tiba anjlok dan tutup di tahun 2017.

Prof Dr Rhenal Kasali menyalahkan regulator yang kebijakannya kaku. Regulator memaksakan Sevel untuk memilih antara Restoran atau Retail. Izin Restoran adanya di Kementerian Pariwisata, sementara izin Retail adanya Kementrerian Perdagangan. Jika harus memilih resto atau retail, jelas sama saja merobohkan Sevel, karena Business Model Sevel memang dibangun dengan mengkombinasikan resto dan retail. Disitulah ceruk pasarnya mengena, segmen anak muda yang suka makan, suka ngobrol alias suka nongkrong, namun suka belanja ringan dan terlihat beda (trendy).

Kalau harus memilih jadi resto atau jadi ritel, lantas dimana uniqueness nya yang menjadi trendy? Apakah Sevel tutup hanya karena itu? Masalah lainnya memang bisa jadi bukan hanya karena kekakuan birokrasi, namun sejak Sevel ngetrend antara 2012 -2016, Sevel tidak menambah fiturnya agar relevan dengan anak anak muda kelahiran 2000an ke atas (Gen Z).

Generasi GenZ selalu mencari tempat yang lebih sesuai karakteristik mereka. Business Model Sevel yang memadukan Resto dan Retail bisa jadi sudah tidak cukup memadai bagi GenZ. GenZ Setiap generasi Allah ciptakan Unik, karenanya selalu ada peran peran unik yang lahir sesuai zamannya, dan peran peran yang punah karena tidak lagi relevan dengan zamannya. Semua “business model” baik sistem ekonomi/industri, sistem pendidikan, sistem transportasi bahkan business model dakwah pun harus disesuaikan dengan zaman dalam hal ini dengan karakteristik generasi yang menghuni zaman tersebut.

Masih ingat kisah Ashabul Kahfi yang tertidur 300 tahun di dalam gua, dan ketika bangun diutuslah salah seorang diantara mereka untuk mengecek mata uang yang mereka punya apakah masih laku setelah berlalu 3 abad.

Generasi Z, mereka punya karakteristik unik misalnya suka makan sebagai pengalaman wisata, suka nongkrong ngobrol bareng (kolaborasi), suka self learning (belajar mandiri), suka mentor yang keren, suka tontonan atau suka “screen”, suka bekerja sesuai passion dalam suasana informal atau casual, suka mendapatkan panggung ekspresi, suka foto diri (selfie), suka berkomunitas di dunia maya maupun dunia nyata dstnya. Maka Business Model yang dirancang harus memenuhi semua karakteristik diatas, karenanya perusahaan umumnya memerlukan creator idea yang sangat kreatif dan inovatif sekaligus mengenal betul Generasi Z.

Usangnya Sekolah

Sekda ramadhan

Jika Sevel baru saja ditinggal kabur generasi Z, maka Sistem Persekolahan sebenarnya sudah sejak lama bukan tempat yang menghargai keunikan anak dan pemuda. Wacana atau mindset sistem persekolahan masih memberhalakan prestasi akademis daripada menghargai keunikan diri siswa (fitrah diri) apalagi keunikan alam maupun keunikan zaman (fitrah zaman). Tentu saja sudah ada beragam revisi kurikulum, namun para pejabat yang membuat regulasi pendidikan nampaknya belum bisa menemukan rancang bangun Business Model baru yang relevan dengan keunikan generasi Z. Walau siswa nampaknya masih bersekolah, sejatinya banyak dari mereka yang “sekedar” menjalani perintah orangtua yang masih “kecanduan” dengan sekolah dan ketakutan ijazah untuk masa depan keturunan.

Ada anekdot, begini, coba bayangkan bila ada guru abad 18-19 bisa datang dengan mesin waktu ke abad 21, maka guru itu pasti takjub bukan kepalang melihat canggihnya teknologi transportasi, teknologi informasi dan telekomunikasi juga megahnya gedung pencakar langit. Namun mereka akan biasa saja apabila masuk ke ruang kelas di sekolah karena pemandangannya sama dengan 200 tahun yang lalu.

Kita tak bisa berharap banyak dari sistem persekolahan. Walau sudah menyatakan bahwa Indonesia Darurat Pendidikan namun Lazy Incumbent secara realistis susah berubah dan menerima perubahan. A school is like adinosaur.

Sepinya Masjid dari Pemuda

Masjid, walau dipenuhi anak TPA untuk setingkat TK dan Ibtidaiyah, namun sepi pendidikan pemuda setingkat SMP dan SMA bahkan jenjang perkuliahan. Masjid seharusnya menjadi sebaik baik tempat bagi anak dan pemuda. Dakwah atau Pendidikan Pemuda dengan Masjid sebagai pusatnya, sejatinya harus menjadi trend setter bagi generasi baru. Business Model yang dirancang harus dapat memadukan pendidikan berbasis keunikan fitrah Generasi dan pendidikan berbasis Aqidah, secara selaras tanpa harus mengorbankan satu sama lain. Program Pendidikan atau Kegiatan Pra Pemuda dan Pemuda di Masjid sebaiknya mereformasi “Business Model” nya, dari sekedar tempat kegiatan pengajian dan pengajaran (ta’lim dan tabligh), menjadi semacam Miniatur Peradaban yaitu pusat pendidikan dan pemberdayaan pemuda berbasis komunitas. Di masa lampau peran dan fungsi Masjid sesungguhnya adalah pusat membangun peradaban dan komunitas, khususnya pendidikan dan pemberdayaan generasi berbasis komunitas.

Contoh Business Model Ideal Imajinasikan sebuah teritory atau basecamp atau space yang memadukan;

1. Lingkungan belajar mandiri (self organized learning environment).
2. Tempat “nongkrong ngobrol” produktif, kolaborasi belajar bersama baik nyata maupun maya.
3. Tempat pengembangan bakat dan akhlak dengan dukungan mentor.
4. Coworking space (small office).
5. Panggung ekspresi dan festival idea produktif.
6. Tempat membangun komunitas bukan hanya tempat berkumpul.
7. Life style/trend setter.
8. Library online.
9. Learning Cafe.
10. Startup Business & Investment Center.

Contoh di atas adalah contoh ideal sederhana dengan melihat sejumlah riset keunikan generasi Z. Semakin dalam kita bisa memetakan keunikan generasi, juga fitrah personal maupun fitrah zamannya, maka semakin idealah business model yang kita buat.

Semoga kita bisa menjadikan Masjid sebagai sebaik baik tempat bagi Generasi Masa Depan. (*)

Honda