Vaksin Nusantara Sudah Dipesan Turki, Negara Lain Mau Bayar Rp3,4 Triliun
JAKARTA – Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merilis jurnal terkait Vaksin Nusantara di situs resminya, clinicaltrials.gov, pada Jumat lalu (20/8/2021).
Sebelumnya, dalam sebuah wawancara dengan Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Proffesor Nidom Foundation (PNF), Prof Dr Chairul Anwar Nidom menyebutkan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Vaksin Nusantara.
“Saya berharap inilah jalan keluar dari pandemi atau dari virus-virus yang tidak bisa didekati dengan vaksin konvensional. Bahkan, dengan Vaksin Nusantara, berbagai penyakit dapat diatasi seperti demam berdarah, HIV, Ebola,” imbuhnya dalam Channel YouTube Siti Fadilah Supari, dikutip Selasa (24/8/2021).
Di sisi lain, Siti Fadilah Supari mengungkapkan kondisi dirinya usai disuntik Vaksin Nusantara. Menurut Siti Fadilah, usai makan nasi tangan tangan biasanya bengkak kini malah tidak sama sekali.
“Vaksin biasa bikin inflamasi, namun Vaksin Nusantara tidak ditemukan,” ucapnya.
Siti Fadilah mengatakan, Vaksin AstraZeneca yang sudah jelas menimbulkan inflimasi saja ditandatangani, lantas kenapa Vaksin Nusantara tidak didukung.
Dalam kesempatan itu Prof Nidom mengatakan, Vaksin Nusantara sudah dipesan sebanyak 5,2 juta dosis.
“Saya dengar Turki sudah pesan 5.2 juta Vaksin Nusantara,” ucapnya.
Di tempat terpisah, Pendiri Beranda Ruang Diskusi yang juga praktisi media, Dar Edi Yoga mengungkapkan, salah satu negara tetangga bahkan berani membayar sebesar Rp3,4 triliun agar uji klinis dilakukan di negara tersebut.
“Yang saya dengar dari sumber yang dapat dipercaya, negara tetangga kita berani bayar Rp3,4 T jika uji klinis Vaksin Nusantara diambil alih oleh negara itu, dan negara tetangga lainnya juga berminat memesan Vaksin Nusantara,” ungkapnya.
“Ini seperti metoda DSA dr Terawan yang ditentang oleh IDI tapi sudah menyelamatkan puluhan ribu orang dan diakui dunia internasional,” tandas Yoga.
Menurutnya, Vaksin Nusantara adalah imonotherapi, sehingga tidak bisa sistem pengujiannya disamakan dengan vaksin konvensional. Jika imonoterapi ini bisa melawan Covid, kenapa tidak diproduksi saja?. Terlebih sudah masuk jurnal uji klinis di Jurnal WHO. (*/Red/Net)