Oleh : Hersubeno Arief
Dunia akademis dan perguruan tinggi kita sedang memasuki abad kegelapan. Persekusi dan stigma radikal yang disematkan oleh BNPT dan Menristek Dikti mengingatkan kita pada masa-masa inkuisisi di Spanyol (1.478- 1. 834), di Italia (1.208-1.834).
Inkuisisi (Roman Catholic Tribunal) adalah sebuah pengadilan yang dibentuk oleh gereja Katolik Roma untuk memberantas praktik-praktik agama yang dinilai sebagai bid’ah. Tidak boleh ada pemikiran yang berbeda apalagi bertentangan dengan doktrin dan keyakinan gereja. Para pemimpin gereja adalah pemilik monopoli kebenaran.
Tujuan inkuisisi adalah quoniam punitio non refertur primo & per se in correctionem & bonum eius qui punitur, sed in bonum publicum ut alij terreantur, & a malis committendis avocentur. Hukuman bukan dijatuhkan terutama dan per se demi perbaikan dan kebaikan si terhukum, melainkan demi kebaikan masyarakat agar orang-orang lain menjadi takut dan menjauhkan diri dari kejahatan-kejahatan yang hendak mereka lakukan. Jadi targetnya adalah efek jera massal di masyarakat.
Tak lama setelah dinasti Ummayah (711-1.492) jatuh di Andalusia, Raja Spanyol Ferdinand dan Ratu Isabella mengeluarkan sebuah dekrit yang kemudian dikenal sebagai Dekrit Alhamra (1492). Warga Yahudi dan Islam diperintahkan keluar Spanyol. Bila ingin tetap bertahan harus pindah agama menjadi Katolik. Mereka yang menolak berpindah agama disiksa dan banyak yang dibunuh.
Di Italia seorang filsuf, astronom, dan ahli matematika Galileo Galelei diadili oleh gereja Katolik karena mendukung teori Copernicus bahwa bumi mengelilingi matahari. Sebuah keyakinan yang bertentangan dengan doktrin gereja. Galileo pada tanggal 13 Februari 1633 diadili dan dijatuhi hukuman seumur hidup. Ada yang menyebut Galileo dihukum mati. Profesor matematika di Universitas Padua, Italia itu meninggal dunia pada tahun 1642.
Di Indonesia sejumlah guru besar dan tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi saat ini sedang menghadapi sidang kode etik dan diberhentikan dari jabatannya, karena diduga menjadi pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Para Rektor dan petinggi kampus menjelma menjadi hakim yang suci, seperti petinggi gereja pada awal abad ke-15. Sementara Menristek Dikti menjadi semacam Paus yang sangat berkuasa dan pemegang otoritas kebenaran.
Di ITS Dekan Fakultas Teknologi Kelautan Profesor Daniel M Rosyid dan beberapa orang dosen lainnya diberhentikan sementara dari jabatannya karena sebuah postingan di medsos yang menyebut mereka sebagai pendukung HTI.
Di Universitas Diponegoro, Semarang Profesor Suteki seorang guru besar ilmu hukum juga diberhentikan sementara dan menjalani sidang kode etik. Suteki pernah menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk HTI yang mengajukan judicial review atas pembubaran HTI oleh Depkumham. Suteki disidang karena postingan statusnya di medsos yang mendukung khilafah. Ribuan orang menandatangani petisi yang dibuat untuk mendukungnya.
Di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dua orang tenaga pengajarnya juga dinonaktifkan karena diduga menjadi anggota HTI. Di kampusnya Presiden Jokowi ini Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dicekal ketika akan menyampaikan ceramah Ramadhan di masjid kampus. Sementara di ITB sebuah organisasi mahasiswa yang diduga berafiliasi dengan HTI dibekukan.
Menristek Dikti M Nasir memberikan ultimatum yang sangat keras “Kembali ke pangkuan NKRI, atau dipecat.” Sebuah statemen yang sulit kita bayangkan akan keluar dari mulut seorang menteri yang nota bene juga akademisi.
Statemen Nasir mengingatkan kita pada masa Orde Baru ketika lembaga seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) masih sangat eksis dan berkuasa.
Nasir juga menyatakan akan mendata dan memonitoring nomor HP dan akun medsos para tenaga pengajar dan mahasiswa. “Kami lakukan pendataan. Dosen harus mencatat nomor hp yang dimiliki. Mahasiswa medsosnya dicatat. Tujuannya agar mengetahui lalu lintas komunikasi mereka itu seperti apa dan dengan siapa,” ujarnya.
Pernyataan Nasir merupakan respon atas sebuah data yang dilansir oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa sebanyak tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang terpapar radikalisme. Ketujuh PTN itu adalah UI, IPB, ITB, UGM, Undip, Unair, dan Unibraw.
Sungguh dahsyat! Kita bisa membayangkan betapa waktu seorang Menristek Dikti dan jajarannya akan habis tersita untuk mengawasi lalu lintas komunikasi di HP dan medsos. Berdasarkan data BPS 2014 total perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 3.280. Terdiri dari 99 PTN, dan 181 PTS. Total jumlah mahasiswanya sebanyak kurang lebih 5.8 juta orang. Dengan tenaga pengajar sebanyak 250 ribu orang. Saat ini diperkirakan jumlah mahasiswa dan dosen di Indonesia sebanyak 8 juta orang.
Menristek mengaku akan menggandeng Kementrian Kominfo untuk mengawasi HP dan medsos mahasiswa dan dosen. Belum ada respon dari Menteri Kominfo atas tambahan beban kerja dari rekan di kabinetnya itu.
Rezim paranoid
Tindakan Nasir tadi semakin menunjukan indikasi yang kuat bahwa rezim Jokowi sedang panik, dan paranoid. Semua kegiatan masyarakat ingin mereka awasi dan kendalikan. Sebuah situasi yang disebut sebagai Orwellian. Mengacu pada sebuah novel karya George Orwell “1984” dimana sebuah rezim mengontrol secara keras dan brutal warganya melalui manipulasi, propaganda, penolakan, dan “unperson“. Seseorang yang masa lalunya dihapuskan dari ingatan publik.
Ciri-ciri tersebut dalam batas-batas tertentu sudah muncul di bawah pemerintahan Jokowi. Seseorang yang kritis, berbeda pendapat dengan pemerintah distigma, dilarang atau dihalang-halangi berceramah, dihukum, atau dinonaktifkan dari jabatannya.
Kementrian Agama mengeluarkan rekomendasi ulama yang boleh menyampaikan ceramah, sejumlah masjid juga disebut terindikasi radikal.
Bersama Menristek, Menteri Agama dan pemerintah telah menjelma menjadi pemilik monopoli kebenaran. Coba perhatikan kriteria daftar 200 mubalig dari Kemenag: kemampuan agama yang mumpuni, reputasi yang baik, dan berwawasan kebangsaan. Jadi kemenag menjadi pemegang otoritas keilmuan, reputasi, dan wawasan kebangsaan sekaligus. Sementara Menristek Dikti lebih tegas lagi. “Kembali ke pangkuan NKRI, atau dipecat!.”
Sejak kapan seorang Menristek menjadi pemegang otoritas dan bisa menentukan seseorang cinta NKRI atau tidak? Menjalankan UUD 45 atau tidak? Pancasilais, atau tidak?
Sejak kapan seorang Menristek Dikti menjadi seorang “Panglima Kopkamtib” yang berwenang membatasi kebabasan akademis? Sejak kapan di negara demokrasi kebebasan berpikir, berpendapat dibatasi.
Kemerdekaan berekspresi, berpendapat secara lisan maupun tulisan adalah fitur utama demokrasi. Seseorang boleh menyatakan apa saja pendapatnya, termasuk masalah khilafah. Kita boleh tidak setuju, tapi tidak boleh membatasi pendapat orang lain, apalagi melarang dan menindasnya dengan otoritas kekuasaan. Yang tidak boleh ketika sebuah gagasan dipaksakan, apalagi kemudian melakukan perlawanan bersenjata.
Mengacu pada inkuisisi, proses persekusi, stigma radikal, dan berbagai stigma lainnya terhadap kelompok oposisi maupun mereka yang kritis terhadap pemerintah, tujuannya untuk menakut-nakuti masyarakat. Namun dalam sebuah negara demokrasi, Anda juga bebas memilih. Tunduk dan patuh pada kekuasaan, atau melawan dan memperjuangkan sebuah kebebasan. (*)
Sumber : www.hersubenoarief.com