Asal Usul Gelar ‘Haji’ di Indonesia, Ternyata Warisan Belanda

DPRD Pandeglang Adhyaksa

BAGI ummat Muslim di Indonesia sepulang dari menjalankan Rukun Islam yang Ke-5, yakni Ibadah Haji, kenapa langsung mendapat gelar atau dipanggil “Haji” di depan namanya? Yuk kita simak asal usulnya yang konon hanya ada di Indonesia dan Malaysia saja ini.

Padahal, dalam tradisi ini tidak terjadi di negara manapun bahkan Timur Tengah dan Arab Saudi sendiri tempat Ibadah Haji dilaksanakan, tak ada tradisi tersebut. Seperti diungkapkan oleh sejarawan Islam Nusantara dari Nahdlatul Ulama (NU), Agus Sunyoto dikutip NU Online.

“Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji?” ungkapnya.

Begitupun di Banten sendiri, seperti peristiwa Geger Cilegon 1888 yang diketahui pelopornya adalah para Kiai yang saat itu belum diberi gelar Haji, seperti Ki Wasyid. Dan puluhan tahun sebelumnya, pada Perang Gudang Batu yang juga di pimpin Ki Wachia, padahal sudah Ibadah Haji.

Lalu, bagaimana sejarah dari fenomena unik khas yang ada pada masyarakat kita ini?

Dalam sejarahnya, sebagaimana telah diketahui bahwa Islam menjadi salah satu kekuatan anti-kolonialisme di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Semangat kemerdekaan sering digelorakan oleh tokoh-tokoh Islam.

Diantaranya ketika mereka pulang dari ibadah haji. KH. Ahmad Dahlan, ketika pulang haji mendirikan Muhammadiyah. Begitu pula KH. Hasyim Asyari yang mendirikan NU sepulangnya dari ibadah haji. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam sepulangnya dari haji. Cokroaminoto yang juga berhaji, sepulangnya ia mendirikan Sarekat Islam. Tentu, pendirian organisasi-organisasi itu benar-benar mengkhawatirkan pihak Belanda.

“Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap Kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari pesantren,” tutur Agus Sunyoto.

Loading...

Maka, agar pergerakan tokoh-tokoh Islam terus bisa dipantau dan diawasi, disematkanlah gelar haji di depan nama Muslim Indonesia yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke Tanah Air saat itu. Ini bahkan hingga diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

“Untuk apa gelar haji? Supaya gampang mengawasi, intelijen, sejak 1916 itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari luar negeri diberi gelar haji,” ujar Agus Sunyoto.

Aktivitas haji juga dipantau dan diawasi sejak dini. Sehingga di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan, Pemerintahan Hindia-Belanda mendirikan karantina jemaah haji. Pulau-pulau itu dijadikan gerbang utama jalur lalu lintas perhajian Indonesia dengan alasan kamuflase “untuk menjaga kesehatan”.

Dan hingga kini, gelar haji pun kerap menjadi gelar penanda kelas sosial-ekonomi di Indonesia. Maka, berarti gelar itupun bias paradigma kolonialis.

Dan kenapa penyandang gelar Haji tersebut pada umumnya senang dengan tradisi warisan Belanda, bahkan mungkin tidak sedikit pula diantaranya yang merasa tersinggung sampai sakit hati ketika ia tidak dipanggil haji di depan namanya?

Padahal kalau mau merujuk secara substansi dan makna kata, harusnya gelar itu tersemat ketika ia sedang beribada haji saja, ketika sudah selesai ya sudah, seperti pada Rukun Islam lainnya.

Dan kalau kita mau berlaku adil pada tradisi pemberian gelar Haji, agar tidak dianggap sebagai pewaris tradisi Belanda, sudah sepatutnya juga pada Rukun Islam lainnya juga harus diberikan gelar. Seperti Muslim yang sedang/sudah Sholat di gelari ‘Musholi’, Zakat digelari ‘Muzaki’, begitu juga pada Puasa dan Syahadat. (*/Ilung)

(Dari Berbagai Sumber)

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien