Opini Ditulis Oleh: M. Agung Laksono (Aktivis Kota Cilegon)
CILEGON – Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) mengumumkan Laba Bersih perseroan sebesar USD 24 juta untuk periode 9 bulan yang berakhir 30 September 2025 atau Quartal 3.
Namun, angka tersebut adalah Laba Semu yang menutup rapat-rapat kelemahan fundamental BUMN baja strategis ini.
Publik dan pemegang saham diminta bertepuk tangan atas pembalikan dari rugi menjadi untung.
Padahal, jika dianalisis lebih dalam, kinerja inti KRAS masih berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan mengkhawatirkan.
Kritik utama penulis amat sederhana: Laba Bersih KRAS tidak datang dari aktivitas utamanya. Data laporan keuangan menunjukkan bahwa laba ini didorong oleh pos non-operasional masif, yaitu “Keuntungan (kerugian) lainnya (bersih)” yang menyumbang lebih dari USD 155 juta.
Keuntungan dari pos ini adalah penyelamat akuntansi yang luar biasa
Tanpa adanya ‘keajaiban’ non-operasional ini, KRAS akan kembali mencatat kerugian besar, melanjutkan tren buruk tahun-tahun sebelumnya.
Faktanya, Laba Usaha (Operating Profit) KRAS, yang mencerminkan keuntungan murni dari penjualan baja, masih berada dalam zona negatif. Ini adalah indikator paling jujur bahwa perusahaan ini, hingga kini, belum mampu menutupi biaya operasionalnya sendiri.
Ini adalah praktik akuntansi yang secara etika patut dipertanyakan, meskipun secara regulasi mungkin legal. Laba yang dihasilkan tidak berkelanjutan, dan hanya berfungsi sebagai kosmetik finansial untuk memberikan citra “sehat” di hadapan publik dan politik.
Sebagai BUMN strategis yang mengelola aset negara, kualitas laba KRAS sangat penting.
Laba yang bergantung pada transaksi non-operasional (apakah itu keuntungan dari modifikasi utang besar atau penjualan aset) adalah Laba Sekali Jadi. Laba ini tidak akan terulang, dan membuat performa KRAS di periode mendatang akan kembali rentan.
Pemerintah melalui Danantara dan direksi harus jujur kepada rakyat
Fokus pada Laba Bersih telah mengalihkan perhatian dari pekerjaan rumah yang sesungguhnya, yakni memperbaiki efisiensi dan daya saing.
Laporan keuangan menunjukkan bahwa Beban Pokok Penjualan (COGS) naik lebih cepat dari Penjualan Bersih, mengakibatkan penurunan margin laba bruto. Ini adalah sinyal bahaya serius. Ini menunjukkan inefisiensi yang parah dalam mengendalikan biaya bahan baku dan energi, masalah klasik yang membuat baja Indonesia tidak kompetitif.
Dari penilaian tersebut di atas, penulis berharap agar Danantara melakukan tiga hal fundamental:
1. Transparansi Penuh: Jelaskan secara rinci dan terbuka kepada publik, apa saja komponen rinci dari “Keuntungan (kerugian) lainnya” yang bernilai ratusan juta dolar tersebut. Publik berhak tahu asal-usul keuntungan yang bukan dari menjual baja.
2. Laba Usaha Wajib Positif: Hentikan upaya mempercantik laporan. Target utama BUMN harus diarahkan untuk membuat Laba Usaha kembali positif secara berkelanjutan.
3. Audit Kinerja Biaya: Lakukan audit menyeluruh dan ketat terhadap efisiensi rantai pasokan dan biaya produksi. Selama kita tidak bisa memproduksi baja secara efisien, selama itu pula KRAS akan menjadi beban dan risiko bagi keuangan negara.
4. Percepat Restrukturisasi khususnya dengan merombak Direksi Krakatau steel dan Group.
Singkatnya, keberhasilan KRAS tidak diukur dari seberapa banyak aset yang bisa dilepas atau seberapa besar keuntungan non-operasional yang bisa dicatat. Keberhasilan di mata rakyat diukur dari kemampuan BUMN ini menjadi produsen baja yang kuat, efisien, dan berkelanjutan, berdiri kokoh di atas kaki sendiri. Saat ini, KRAS masih jauh dari harapan tersebut. (***)
Penulis M. Agung Laksono, adalah warga Cilegon eks DPP GMNI.

