Felix Siauw dan Bahtsul Masail
Oleh: Tb Ardi Januar
Setiap malam akhir pekan tiba, di tempat saya dulu pesantren selalu ada event namanya bahtsul masail. Isinya berdebat untuk mengupas suatu persoalan dengan berbekal sederet referensi dalil. Baik dari Alquran, hadits Nabi, kitab salaf, hingga ijma para ulama.
Tema yang diperdebatkan cukup mendasar. Baik persoalan fiqih, syariah, ataupun muamalah. Satu per satu satu santri yang didampingi para ustadz bersuara menyatakan pendapat, hingga akhirnya menemukan sebuah kesimpulan. Tidak ada adu otot dan murni adu otak.
Kemudian saat jenjang pendidikan berlanjut ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, forum diskusi pun kerap terjadi di antara mahasiswa. Bahkan tema yang diperdebatkan jauh lebih ekstrem, mulai dari mengkritisi ajaran agama, hingga berdebat tentang Tuhan.
Pemandangan semacam itu kerap disaksikan. Tanpa ada yang baper, tanpa ada yang emosi, dan tidak ada tindakan persekusi oleh satu organisasi. Tidak ada tudingan kafir, liberal, bid’ah atau wahabi. Forum intelektual begitu dijunjung tinggi.
Kemarin, sosmed mendadak gaduh tentang penolakan ceramah Siauw Chen Kwok atau lebih dikenal dengan nama Ustadz Felix Siauw di Jawa Timur. Ini bukan pemandangan pertama, sebelumnya Ustadz Khalid Basalamah pun pernah merasakan aksi penolakan serupa dari kumpulan massa yang kabarnya dari Banser.
Di sisi lain, saya juga kerap menyimak potongan ceramah, tulisan artikel atau sekadar status sosmed menyoroti satu sama lain. Predikat sinis pun bermunculan, mulai dari “ahlul bid’ah”, “kaum bumi datar”, dan lain sebagainya.
Tentu saya prihatin dengan fenomena semacam ini. Bagaimana tidak, polemik ini melibatkan dua golongan manusia yang agamanya sama. Dan semakin hari, polemik ini pun bukannya mereda serta melahirkan solusi, tetapi justru kian membesar bak bola salju.
Efeknya, umat Islam seakan terbelah. Status ustadz memiliki predikat lanjutan. Ustadz ahlus sunnah atau ustadz salafi. Masjid pun turut kebagian imbasnya. Itu masjid garis keras atau bukan. Begitulah kira-kira pengamatan saya.
Sebagai santri yang lahir dan dibesarkan dari kalangan Nahdliyin, saya tidak happy melihat kondisi seperti ini. Perbedaan yang seharusya bisa disikapi dengan dewasa justru malah diperuncing dengan perang opini bahkan berujung persekusi.
Saran saya, kalau ada yang tidak suka atau keberatan dengan ceramah Felix Siauw dan sejenisnya tak perlu ditolak atau diboikot. Justru seharusnya didatangi dan diinterupsi isi kepalanya dengan argumen dan bukan sentimen. Bawa referensi sebanyak-banyaknya.
Sebaliknya, untuk para pengikut ustadz-ustadz yang kerap membid’ahkan suatu ajaran, sebaiknya jangan nyinyir atau ngejek. Hadiri pengajiannya dan ajak diskusi dengan pengetahuan yang dimiliki. Karena Islam yang saya fahami selalu mengajak, bukan mengejek.
Budayakan lagi bahtsul masail, kedepankan diskusi, pertajam lagi pengetahuan tentang Alquran, hadits dan ijma para ulama. Kalau perlu MUI fasilitasi acara ini. Bahas tema-tema sensitif semacam hukum tahlilan atau hukum khilafah dengan tujuan bertukar pikiran, menyamakan isi kepala dan isi hati.
Kasihan umat yang mau belajar agama kalau situasinya seperti ini. Kalau kepada golongan yang berbeda keyakinan saja kita dituntut adil dan menjunjung toleransi, masa ini yang Tuhannya sama-sama Allah, Rasulnya sama-sama Muhammad, kitabnya sama-sama Alquran dan shalatnya sama-sama menghadap kiblat malah ribut melulu.
Alquran mengajarkan kita bertabayun. Rasul juga meminta umatnya untuk adil sejak dalam pikiran. Karena itu, hentikanlah sifat saling membenci dan kedepankan lagi budaya diskusi dan musyawarah.
Bagi saya, sebuah Bangsa atau suatu golongan tidak akan pernah besar tanpa melalui proses diskusi atau perdebatan. Dan menurut saya, mendebatkan ajaran agama juga bukanlah sesuatu yang haram.
Saya akan selalu menghormati seluruh kiai dan ustadz. Baik itu Kiai Said dan kiai lainnya, serta Ustadz Khadid Basalamah dan ustadz lainnya. Karena bagaimapun juga pengetahuan agama mereka jauh lebih baik dibanding kita. Terutama saya.
Akhir kata, semoga umat Islam bersatu guna tewujudnya Islam Rahmatan lil Alamin. Aamiin…
*Penulis adalah Sekjen Ikatan Keluarga Alumni Asshiddiqiyah (IKLAS)