*) Oleh Emha Ainun Nadjib
HARI INI BERAKHIR selama bulan Ramadhan tahun ini Tuhan memaksakan kehendak-Nya. Orang-orang beriman dipaksa untuk berpuasa, tidak makan minum serta sejumlah perbuatan lain dari Subuh hingga Maghrib.
Resminya, yang dipaksa berpuasa itu manusia-manusia yang sedang menjalani dan memperjuangkan imannya kepada Tuhan. Bahasa Qur`annya “Ya ayyuhalladzina amanu”. Bukan “Ya ayyuhal Mu`minun”. Bukan orang yang identitas formalnya “Kaum Beriman”. Bukan kata benda statis, melainkan kata kerja dan sifat yang dinamis.
Juga bukan “Wahai orang-orang yang berilmu”, “ber-Islam”, “berakhlaq”, bukan juga “Wahai orang-orang Saleh”, atau “Wahai manusia”. Jelas sasaran paksaan Tuhan adalah “Ya ayyuhalladzina amanu”. Kata kerja. Bukan mudlori’ saja, juga bukan madli saja. Melainkan sudah dan sedang beriman dan terus berjuang untuk beriman. Kalau bersangka baik, Tuhan memaksakan puasa itu agar para “Prajurit Iman” berlatih sebulan penuh untuk mempertahankan imannya.
Output-nya, perolehannya, produk dan efektivitasnya juga bukan terutama soal mendapat pahala atau pujian dari Tuhan, melainkan “la’allakum tattaqun”: semoga kalian bertaqwa, atau secara dinamis mudah-mudahan lebih bertaqwa, atau lebih berkualitas taqwanya.
Taqwa itu apa? Mungkin “waspada”: kepada apapun dan siapapun, termasuk waspada terhadap perangai Allah, skenario Qadla dan Qadar -Nya atas karier, atas gol-gol di Piala Dunia, atau atas seberapa jauh parah suatu bangsa diizinkan atau dibiarkan terjajah. Atau yang kecil-kecil: warung ramai pembeli atau tidak, minggu depan tetap sehat atau sakit. Nenek moyang Jawa bilang “eling lan waspodo ”. Bahasa Arabnya “dzikir dan taqwa”.
Alamat ruang, waktu dan perjuangan manusia selalu hanya pada “la’alla”: semoga, siapa tahu, mbok menowo, who knows . Dagang ayam goreng, semoga laku. Narik ojek, siapa tahu laris. Menjadi pejabat, who knows bisa memperpanjang satu periode lagi, sementara lainnya berjuang mbok menowo bisa mengganti Presiden. Seolah-olah 2019 punya potensi untuk mengubah zaman.
Untung yang dipaksakan oleh Tuhan hanya “shiyam”. Adapun “shoum”-nya silakan. Shiyam adalah tidak makan minum dan lain-lain dari Subuh hingga maghrib. Shoum adalah segala sesuatu yang sifatnya membatasi diri, menahan diri, mengendalikan diri. Shiyam berlaku pada Ramadlan atau hari-hari lain seperti Senin Kamis atau Puasa Nabi Daud. Shoum berlaku dalam bisnis, olahraga, pemerintahan dan kekuasaan, arsitektur, teknologi apapun saja, juga aransemen musik dan segala pekerjaan estetika, ilmu, budaya, apalagi akhlaq.
Memang manusia, juga kakak-kakaknya: binatang, alam, Jin, Malaikat dan Iblis, meng-ada hasil paksaan Allah. Mereka dipaksa ada dari tiada, tanpa tiada punya kesanggupan untuk bernegosiasi. Ada yang dipaksa jadi serbuk, jadi air, jadi hidung, jadi rambut, jadi anaknya Pak Ini dan Bu itu. Dipaksa menjalani hidup pada batas usia tertentu. Yang sana dipaksa lahir sebagai bayi di Eskimo, yang ini dipaksa lahir jadi bayi di Kebumen. Tuhan juga memaksa kehidupan yang ini dilandasi oleh oksigen, sementara di kehidupan lain Tuhan memaksa tidak bisa hidup kalau ada oksigen.
Tuhan memaksa Nabi Musa sakit dan memaksanya sembuh sesudah makan daun. Kemudian para Ilmuwan menyangka daun bisa menyembuhkan. Ketika Nabi Musa sakit perut lagi dan langsung ambil daun, Tuhan memaksanya tetap sakit. Nabi Musa protes dan Tuhan menjawab: “Yang menyembuhkanmu adalah Aku, bukan daun. Dan terserah Aku bikin kamu sembuh pakai daun, pasir, besi, atau tidak pakai lantaran apa-apa”.
Di usia balita, di zaman normal dulu, setiap Ibu rutin “mencekoki” anaknya. Yakni memasukkan dengan paksa cairan jamu atau apapun yang menurut orangtua menyehatkan anaknya—ke dalam mulut anaknya. Adegannya serba pemaksaan. Mungkin Bapak meringkus badan anaknya, menjepit tangan dan kaki anak itu, sehingga Ibu bisa membuka paksa mulut anak itu untuk dicekoki.
Para orangtua berpendapat bahwa baik jamunya maupun pengalaman dicekoki, merupakan landasan, bekal dan infrastruktur kesehatan jasad, ketangguhan mental serta kematangan budaya. Sampai hari ini Komnas HAM mungkin belum tahu tradisi “nyekoki” di wilayah masyarakat tertentu, sehingga belum ada Ibu dan Bapak yang ditangkap oleh Polisi karena melanggar HAM.
Saya berterima kasih telah dibesarkan oleh budaya pemaksaan itu. Karena telah membuat saya berkembang menjadi penguasa atas diri saya sendiri, tanpa seorang pun bisa menggerakkan sehelai bulu saya kecuali Allah, Kanjeng Nabi, para Malaikat, Ibu dan keluarga saya.
Saya bersyukur Tuhan memaksa saya menjadi prajurit perjuangan di berbagai macam dimensi dan frekuensi tanpa mengalami lelah. Siap banting di getaran ruang dan aliran waktu. Matang didera penderitaan dan rasa sakit. Terbiasa mengalami sesuatu yang saya tidak setuju, bahkan bertentangan dan tidak nyaman—tanpa saya mengamuk dan heboh menyalah-nyalahkan orang.
Di masa tua ini saya menyaksikan dari jauh banyak manusia tidak bisa benar kecuali dengan menyalahkan. Tidak bisa baik tanpa menjelek-jelekkan. Tidak bisa menang tanpa meremehkan bahkan menghina yang kalah. Di seluruh Negeri dan Dunia orang habis waktu dan energi untuk mempertengkarkan “kebenaran”. Mereka “GR” terhadap yang mereka sangka kebenaran.
Bayangkan, bangsa sebesar itu dengan kelas cendekiawan sepandai itu bisa menyimpulkan bahwa komplikasi penyakit gawat darurat Negaranya bisa diselesaikan dengan ganti Presiden. Setiap lima tahun sekali mereka ribut berupaya mengganti pembohong dengan pendusta, mengganti topeng dengan topeng baru, mengganti penguasa dengan penguasa baru—padahal mereka mengerti siapa dan apa yang sejatinya berkuasa. Sepertinya tak seorang pun dari ratusan juta penduduk Negeri ini yang berpikir tentang pemimpin dan kepemimpinan.
Untung “benarnya sendiri-sendiri” maupun “benarnya orang banyak” itu tak pernah menarik minat saya. Alhamdulillah juga “kebenaran yang sejati” tak ada pada saya, karena “Al-haqqu min Robbika”, kebenaran berasal dari Maha Pengasuhku.
Orang di muka bumi sejak tujuh abad silam meletakkan kebenaran di ranah sendiri, kebaikan pada domain yang lain, dan keindahan pada “walayah” berbeda. Padahal ketiganya adalah anasir-anasir komposisional komprehensif. Maka produknya adalah destruksi keutuhan kemanusiaan dan kegagalan manusia, meskipun mereka meyakininya sebagai kemajuan dan kecanggihan.
Mereka mempertengkarkan demokrasi, padahal maksudnya adalah pelampiasan nafsu. Mereka saling membenci karena Agama, ideologi, aliran, policy , padahal maksudnya adalah prasangka. Atau paling jauh: pendapat. Itu pun subjektif dan eksklusif. Orang-orang sangat pandai dalam hal ketamakan, kerakusan dan keserakahan. Sementara sangat bodoh soal kebersamaan, keberbagian dan kemenyatuan.
Mereka perlakukan prasangka sebagai kebenaran mutlak. Dhonn di-
haqq-kan. Dhonny di-qoth’i-kan. Manajemen Negara dan peradaban zaman silang sengkarut di antara kekaburan antara denotasi dengan konotasi, primer dengan sekunder,
default dengan custom , pakem dengan carangan. Belum lagi kerancuan antara Negara dengan Pemerintah, atau dismanajemen cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, resolusi pandang—karena dominasi kepentingan pandang. Bahkan mereka merancukan antara Sunnatullah, Sunnah Rasul, Sunnah Fiqih dan Sunat Khitan.
Untung saya tidak punya HAM. Sebab saya tidak punya saham sedikit pun atas sehelai rambut dan setetes air kencing saya. Yang saya jalani hanyalah WAM, wajib asasi manusia. Saya tidak mau menolak atau melawan paksaan Tuhan, sebab saya tidak mau masuk neraka. Apa nyamannya Sorga bagi istri dan anak-anak saya, jika mereka menyaksikan saya tersiksa di neraka. Apa enaknya sorga bagi siapapun saja yang orang yang dicintainya berada di neraka. Sebagaimana Nabi Nuh yang istri dan satu anaknya membangkang kepada Tuhan. Tentulah bukan begitu “sistem semesta” Sorga, meskipun dengan jenis organisme dan ekosistem apapun tetaplah Neraka mengerikan.
“A” dan “Z” adalah paksaan Tuhan. B, C, D hingga Y adalah “mu’amalah”, alur kemerdekaan, ijtihad, hak pilih bagi setiap manusia. Pada B hingga Y itulah terletak Negara, Madzhab, Parpol, Ormas, Piala Dunia, hamparan Kuliner, serta segala muatan Peradaban manusia. Bagi saya itu semua tidak urgen. Tetapi saya toleran terhadap segala jenis B hingga Y, sepanjang jangan coba-coba menyeret saya untuk tidak sampai ke Z.
“A” adalah “Inna lillahi”, “Z” adalah “IlaiHi roji’un”. Ya Allah di tengah peluru-peluru nyasar dan sangat banyaknya kotoran di antara B hingga Y, rawatlah fithri cintaku beserta keluarga dan anak-anak cucu Generasi Maiyahku kepada-Mu, untuk pembenihan masa depan Negeri dan Bumi—hingga tiba di keindahan “Z”-Mu. (*)
Yogya, 14 Juni 2018
(Sumber Caknun.com)