Hibah Pilkada Antara Berkah dan Tulah
Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Untuk penyelenggaraan Pilkada Banten 2024, dalam hal ini Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, pemerintah Provinsi Banten menganggarkan dana yang sangat besar.
Untuk Komisi Pemilihan Umum atau KPU Provinsi Banten, pemerintah Provinsi Banten mengucurkan dana hampir sekitar 500 miliar rupiah.
Sementara untuk pengawasannya, pemerintah Provinsi Banten memberikan hibah kepada Bawaslu Provinsi Banten tidak kurang dari 100 miliar rupiah.
Lho, koq tahu? Tahu lah! Wong saya tahun lalu yang turut merumuskan angka itu. Itu uang? Ya iya lah. Masa bungkus permen.
Jadi, ada sekitar 600 miliar rupiah uang negara yang pemasukan terbesarnya bersumber dari rakyat itu, dikeluarkan untuk kepentingan memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten.
Lalu, dengan sebesar itu, kita memilih calon yang hanya berhadapan dengan kotak kosong? Terlalu! Hambur bungbu!
Untung akhirnya kompetisi dengan kotak kosong itu tidak jadi. Setelah Andra Soni dan Dimyati Natakusumah yang diusung oleh partai politik yang tergabung dalam Koalisi Banten Maju atau KBM mendapatkan lawan yaitu pasangan Airin Rachmy Diani dan Ade Sumardi yang diusung oleh PDIP dan Partai Golkar.
Semula, hampir saja Pilgub di Banten akan ada kotak kosong, setelah pasangan Andra dan Dimyati memborong -tepatnya diborong- oleh koalisi besar yang hanya menyisakan dua partai politik, PDIP dan Partai Golkar.
Belakangan Partai Golkar pun merapat ke KBM atas perintah pengurus pusatnya. Harapan Airin pupus untuk menjadi Banten 1.
Langkah tidak terduga dilakukan oleh Partai Golkar yang kemudian menyusul sikap PDIP yang sebelumnya menyatakan akan mengusung Airin dan berpasangan dengan Ade untuk maju sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten.
Partai Golkar keluar dari KBM dan bergabung dengan PDIP. Dengan demikian dalam Pilgub Banten 2024 tak ada kotak kosong.
Mengapa kontestasi Pilgub dengan kotak kosong itu Penulis sebut sebagai hambur bungbu? Karena hal ini akan menimbulkan pesimisme pada masyarakat.
Mereka bisa saja berpandangan bahwa “Kalau pada akhirnya hanya diikuti oleh kotak kosong, sebaiknya tidak usah dipilih. Tunjuk saja dan kemudian tetapkan. Dana sebesar itu sebaiknya digunakan untuk pembiayaan lain yang lebih bermanfaat”.
Kotak kosong dan cara pandang yang demikian bisa menandakan bahwa kualitas demokrasi semakin menurun. Walau ada benarnya dan itu memang realistis, namun dalam perspektif kehidupan berdemokrasi, itu menunjukkan ketidakberesan. Borong partai, sikap pragmatis, dan mengabaikan platform partai, merupakan rangkaian penyebab yang menjadi pemantik atas munculnya fenomena tersebut.
Pembiayaan Pilgub Banten dari APBD yang berupa hibah dananya begitu besar. Itu belum ditambah oleh biaya bagi penyelenggaraan Pilkada di 8 Kabupaten dan Kota yang ada di Banten. Sekedar untuk diketahui, hibah dari masing-masing pemerintah daerah juga sangat besar.
Di Kabupaten Tangerang, untuk KPU 78 M, Bawaslu 37 M. Kota Tangerang, KPU 61 M, Bawaslu 10 M. Kabupaten Serang, KPU 56 M, Bawaslu 22 M. Kabupaten Lebak, KPU 50 M, Bawaslu 20 M. Kabupaten Pandeglang, KPU 48 M, Bawaslu 15 M. Kota Tangsel, KPU 47 M, Bawaslu 18 M. Kota Cilegon, KPU 32 M, Bawaslu 11 M. Kota Serang, KPU 28 M, Bawaslu 7 M.
Jadi, untuk kepentingan memilih calon kepala daerah di Banten, tidak kurang dari 1,1 Triliun digelontorkan oleh pemerintah daerah kepada penyelenggara Pilkada, KPU dan Bawaslu dalam bentuk hibah daerah. Itu baru untuk penyelenggara. Belum ditambah hibah bagi kepentingan pengamanan, yang dikelola oleh Polri dan TNI.
Pilkada serentak di Banten ini -juga di daerah lain- merupakan pengalaman pertama untuk menyerentakkan memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur, dengan calon Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota. Dalam Pilkada sebelumnya, masing-masing diselenggarakan dalam waktu yang berbeda.
Dana hibah yang begitu besar diperuntukan bagi operasional lembaga penyelenggara, belanja logistik, untuk menggelar kegiatan penunjang, serta honorarium penyelenggara adhoc di tingkat kecamatan, desa dan kelurahan, serta tingkat Tempat Pemungutan Suara atau TPS. Honorarium inilah yang menjadi pengeluaran terbesar dari dana hibah tersebut.
Karena Pilkada serentak ini menjadi hajat bersama, maka dalam hal pembiayaan pun ditanggung bersama. Bila sebelumnya pembiayaan Pilkada ditanggung oleh masing-masing daerah, seperti sebuah kabupaten menggelar Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, maka pembiayaan sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah kabupaten tersebut.
Kali ini, pada Kabupaten atau Kota yang menggelar Pemilihan Bupati dan Wakil atau Walikota dan Wakil, juga memilih Gubernur dan Wakil. Waktu pemungutan dan penghitungan suaranya dilakukan pada saat yang sama. Dengan penyelenggara yang sama, mereka memiliki tugas sebagai penyelenggara Pilbup atau Pilwalkot, juga Pilgub.
Untuk seluruh pembiayaan bagi penyelenggaraan Pilbup atau Pilwalkot oleh KPU dan Bawaslu Kabupaten dan Kota, sepenuhnya bersumber dari hibah daerah Kabupaten dan Kota masing-masing. Seperti belanja logistik, kegiatan penunjang, dan operasional lembaga. Kecuali untuk honorarium yang bersumber dari hibah Pemerintah Provinsi Banten.
Sharing pembiayaan ini telah menjadi komitmen antara pemerintah daerah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota, sebagai tindak lanjut dari instruksi Kementerian Dalam Negeri yang telah diketahui oleh Presiden RI.
Sehingga Pilkada serentak ini menjadi tanggung-jawab seluruh pihak, baik dalam aspek pembiayaan maupun dalam kesuksesan penyelenggaraan.
Oleh karena itu, penyelenggara sebaiknya menggunakan dan memanfaatkan uang negara ini dengan baik, amanah, sesuai rencana, berbasis program, yang dikelola berdasarkan prinsip efektif dan efisien. Menggunakan uang hanya untuk pengeluaran yang bersifat prioritas, penting, substantif, dan membawa kemanfaatan serta dampak yang baik.
Tak perlu menggelar acara-acara seremonial yang tidak substantif. Seperti halnya ritual launching atau sosialisasi dengan menghadirkan sosialita artis ibukota yang pastinya dibayar mahal. Kurangi acara-acara yang tidak berhubungan langsung dengan perhelatan Pilkada.
Karena itu perilaku penghamburan uang negara. Konsep dan kemas sebuah acara secara cerdas. Tujuan tercapai dengan biaya yang tidak jor-joran.
Agenda kegiatan sekelas rapat teknis dengan menghadirkan peserta internal dari jajaran penyelenggara, cukup digelar di kantor yang tak banyak memerlukan biaya. Tak perlu di tempat lain yang mesti berbayar, yang kadang substansi dari penyelenggaraan acara dimaksud tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Penyusunan program sebaiknya berbasis kebutuhan. Bukan berbasis ketersediaan anggaran. Karena bila demikian, akan banyak kegiatan-kegiatan seremonial yang tidak urgent dan hanya digelar dalam rangka menggugurkan kewajiban. Penyelenggara mesti punya pertimbangan bahwa dana yang dipakai berasal dari uang rakyat. Dengan begitu diharapkan muncul empati dan kehati-hatian dalam pengelolaan dan penggunaan anggaran.
Penyelenggara itu terdiri dari dua komponen. Jajaran sekretariat dan pimpinan atau anggota. Bila sekretariat terdiri dari PNS dan PPPK, yang diangkat oleh pemerintah hingga masa pensiun, sementara jajaran pimpinan atau anggota dipilih lewat seleksi setiap lima tahun. Ketika periode jabatan berakhir, maka masa tugasnya juga berakhir. Pimpinan atau anggota ini bisa kembali mendaftar dan ikut seleksi kembali untuk periode berikutnya.
Antara sekretariat dengan pimpinan ini mesti sinergis, kolaboratif, dan proporsional. Sinergis itu diwujudkan dalam bentuk adanya kesepahaman antara sekretariat dengan pimpinan dalam hal implementasi program. Kolaboratif adalah adanya kerjasama dan saling mendukung atas kesuksesan program. Sementara proporsional adalah masing-masing menempatkan diri sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Proporsional ini penting agar masing-masing tidak saling mengintervensi sehingga muncul situasi “pacorok-kokod”. Jajaran pimpinan bekerja di level regulasi dan kebijakan. Sementara jajaran sekretariat memberikan support terhadap kerja-kerja pimpinan. Pemberian pelayanan oleh sekretariat terhadap pimpinan ini sesuai dengan peraturan yang menaunginya. Bukan pelayanan tanpa batas.
Jangan sampai atas nama pelayanan jajaran pimpinan ingin dilayani sepenuhnya hingga hal-hal yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Pelayanan itu sebatas urusan pekerjaan dan kedinasan. Bukan dalam rangka di luar itu. Misalnya kepentingan pribadi dan keluarga. Karena bila pelayanan dimaknai demikian, ini akan bermasalah di hari kemudian.
Uang kehormatan jajaran pimpinan dan gaji pegawai sekretariat itu sudah lebih dari cukup untuk keperluan hidup bulanan. Apalagi baru-baru ini Presiden RI Joko Widodo merestui peningkatan besaran uang kehormatan, gaji, dan honorarium. Maka tak perlu berpikiran untuk mengutak-atik tambahan penghasilan dari celah yang memungkinkan bisa didapat darinya.
Biarkan jajaran sekretariat bekerja sesuai dengan ranahnya. Jajaran pimpinan jangan membuat mereka kelabakan dalam penyusunan laporan pertanggung-jawaban akibat keperluan dan kebutuhan pimpinan di luar anggaran yang telah ditetapkan. Sekedar untuk beli rokok, tak perlu berkirim kode dengan memfoto sebatang rokok dalam bungkusnya. Ini contoh receh. Contoh lain, banyak dan berlimpah.
Banyak contoh penyelenggara Pemilu dan Pilkada di beberapa daerah tersandung persoalan hukum. Pada umumnya bermasalah dalam persoalan pengelolaan hibah daerah. Pestanya sudah usai, namun masalahnya masing “ngantai”. Tak sedikit yang berkahir di meja pengadilan. Beberapa diantaranya meringkuk di hotel prodeo. Peristiwa ini mesti menjadi pembelajaran bagi para penyelenggara untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Sekedar contoh, mantan Ketua Bawaslu Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan terbukti bersalah dan divonis 2 tahun 8 bulan karena terbukti korupsi dan hibah Pilkada 2019. Dua kawannya juga menerima vonis yang sama plus denda uang yang mencapai ratusan juta. Lima mantan anggota KPU Kabupaten Aru Provinsi Maluku divonis 1 tahun 6 bulan karena diduga menyalahgunakan dana hibah Pilkada 2020.
Contoh lain, Sekretaris Bawaslu Sulawesi Tengah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Sulteng karena diduga melakukan penyelewengan dana hibah Pilkada Sulteng 2020. Sekretaris KPU Kabupaten Seram Bagian Barat di Provinsi Maluku ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Maluku karena diduga melakukan penyelewengan dana hibah sebesar 20 miliar rupiah pada Pilkada Kabupaten SBB tahun 2017.
Masih banyak contoh lain di daerah lain yang akhirnya memposisikan para penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu, baik jajaran sekretariat maupun pimpinan, menjadi tersangka, bahkan terpidana, meringkuk dalam penjara, akibat penyalahgunaan dana hibah Pilkada. Kalau sudah begitu, boro-boro bisa jadi berkah. Sebaliknya, hibah bisa menjadi tulah.
Karenanya, tunjukkan kompetensi. Rawat integritas. Jaga amanah!
***
Tangerang, Sabtu, 31 Agustus 2024
Penulis adalah Pegiat Demokrasi dan Pemilu, Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas), Pengurus ICMI Orwil Banten