Hukum dan Media Sosial: Antara Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab Hukum
Oleh: Dede Firdaus Suyadi, Dosen Hukum Tata Negara Program Studi Hukum Universitas Pamulang
Di zaman ketika satu postingan bisa viral dalam hitungan menit, dan satu komentar bisa jadi alasan untuk dilaporkan ke polisi, kita semua perlu berhenti sejenak dan bertanya: sebenarnya, apakah media sosial masih ruang bebas berekspresi, atau justru menjadi arena rawan yang setiap ucapannya bisa berujung pasal?
Saya mengajar hukum, dan tiap tahun ada aja mahasiswa yang bertanya, “Pak, kalau saya bikin meme tentang pejabat, bisa dipidana nggak?” atau “Kalau saya kritik kampus di Instagram, itu termasuk pencemaran nama baik?”
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan karena mereka paranoid, tapi karena fakta di lapangan memang absurd, orang bisa dijerat hukum hanya karena unggahan di instagram story.
Welcome to Indonesia. Negara hukum yang “kadang” masih belajar membedakan antara kritik dan penghinaan, antara satire dan fitnah, antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian.
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Medsos bukan lagi sekadar platform untuk berbagi foto atau kabar pribadi, melainkan telah menjelma menjadi ruang publik digital yaitu tempat masyarakat berdiskusi, menyampaikan pendapat, bahkan melakukan advokasi hukum dan sosial.
Fenomena ini menandakan kemajuan demokrasi, sekaligus menantang batas-batas hukum yang ada.
Mari kita bahas dari dasar, konstitusi kita menjamin kebebasan berekspresi. Pasal 28E UUD 1945 bilang setiap orang bebas mengeluarkan pendapat.
Tapi kita sering lupa, UUD juga bilang hak asasi itu dibatasi oleh hak orang lain, moral, ketertiban umum, dan tentu saja, hukum. Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Hal ini diperkuat dengan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Tapi kita sering lupa, UUD juga bilang hak asasi itu dibatasi oleh hak orang lain, moral, ketertiban umum, dan tentu saja, hukum.
Dunia maya dianggap sebagai ruang yang bebas nilai, bebas hukum, dan bebas risiko.
Postingan bersifat fitnah, ujaran kebencian, hoaks, bahkan ancaman kekerasan sering kali dianggap sebagai bentuk “kebebasan berekspresi.”
Padahal, dalam perspektif hukum, setiap pernyataan di media sosial dapat dikualifikasikan sebagai tindakan hukum yang dapat menimbulkan konsekuensi, baik pidana maupun perdata.
Dan, masalah tidak berhenti di situ, penerapan UU ITE dalam berbagai kasus kerap menimbulkan kontroversi, karena dinilai multitafsir dan membuka ruang kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi.
Tidak sedikit kasus kritik terhadap pejabat publik yang kemudian diproses hukum dengan dalih pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.
Di sinilah letak persoalan penting, bagaimana hukum mampu menjaga ketertiban digital, tanpa sekaligus membungkam suara-suara kritis yang sah secara konstitusional?
Kalau setiap kritik dijawab dengan laporan polisi, lama-lama rakyat jadi takut bicara.
Ini bukan lagi soal hukum, ini soal iklim demokrasi. Jangan sampai negara yang katanya demokratis, tapi perilakunya otoriter dalam bentuk digital.
UU ITE seharusnya direvisi bukan hanya pada teksnya, tapi pada semangat penegakannya. Yang dibutuhkan bukan pasal baru, tapi cara pikir baru. Hukum pidana itu harus jadi ultimum remedium atau jalan terakhir, bukan jalan pertama.
Kalau masih bisa mediasi, klarifikasi, atau edukasi, ya jangan buru-buru pidana.
Kita tentu tidak menginginkan media sosial menjadi lahan subur untuk penyebaran hoaks, persekusi, atau perpecahan sosial.
Tetapi kita juga tidak menginginkan hukum menjadi alat kekuasaan yang represif terhadap aspirasi publik.
Maka, solusinya bukan semata-mata revisi undang-undang, tetapi juga peningkatan literasi hukum dan literasi digital masyarakat.
Literasi hukum menjadi kunci utama untuk membentuk masyarakat yang sadar hak sekaligus sadar batas.
Masyarakat perlu paham bahwa kebebasan menyampaikan pendapat tidak berarti bebas menghina, mencemarkan nama baik, atau menyebarkan informasi yang belum terverifikasi.
Jejak digital adalah jejak hukum. Sekali kita mengunggah sesuatu ke internet, maka hal itu dapat digunakan sebagai bukti hukum di kemudian hari.
Saya sering bilang ke mahasiswa: jempolmu bisa jadi jeratmu. Dunia digital tidak mengenal kata “hapus”. Yang kamu anggap sekedar “postingan iseng” bisa jadi barang bukti esok hari.
Screenshot itu abadi, bro. Dan di dunia hukum, barang bukti digital itu valid. Foto, video, rekaman suara, dan tentu saja unggahan medsos bisa dijadikan dasar untuk penuntutan.
Jadi jangan kaget kalau status Facebook lima tahun lalu bisa bikin kamu sidang hari ini. Tapi saya juga nggak mau jadi dosen yang cuma ngomel, “Kalian harus hati-hati ya posting di medsos.” ucapan kayak gitu basi bagi saya. Yang lebih penting sekarang bagaimana negara dan masyarakat sama-sama sadar bahwa hukum itu bukan alat untuk menakut-nakuti, tapi alat untuk menjaga ruang publik tetap sehat.
Pada akhirnya, media sosial bukanlah musuh hukum. Justru media sosial bisa menjadi mitra penting dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam kehidupan bernegara.
Namun agar potensi ini terwujud, semua pihak harus memiliki kesadaran bahwa kebebasan tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab. Hukum hadir bukan untuk mengekang, melainkan untuk menjaga agar ruang publik digital tetap sehat, adil, dan bermartabat.
Sebagai dosen hukum yang juga manusia biasa, saya nggak mau sok-sokan moralis. Saya tahu kadang kita emosi, kadang kita kecewa, dan kadang kita pengen banget ngetik sesuatu yang bikin lega hati. Tapi ingat, “Apa yang bikin lega, belum tentu legal.”
Kita boleh tetap kritis, tetap nyinyir kalau perlu, tapi tetap paham batas hukum. Jangan sampai jempol yang niatnya untuk menyuarakan kebenaran malah jadi alat yang menggiring kita ke balik jeruji.
Demokrasi digital butuh kebebasan, tapi kebebasan itu nggak bisa jalan sendirian, harus ditemani tanggung jawab. Dan ya, tanggung jawab itu dimulai dari kita. Dari satu jempol. Dari satu klik. Dari satu postingan. ***
