Kegagalan Berfikir Ade Sumardi Dalam Penanganan Masalah Stunting di Provinsi Banten
Oleh: Rizky Arifianto Ketua DPW PRIMA Banten
SERANG – Isu stunting jadi salah satu topik yang ramai diperbincangkan pasca debat kedua Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Provinsi Banten yang digelar di hotel bidakara jakarta pada kamis 7 November 2024 yang lalu.
Pasalnya, persoalan stunting jadi salah satu pertanyaan panelis yang ditanyakan kepada pasangan nomor urut 01.
Pada kesempatan tersebut, Cawagub nomor urut 01, Ade Sumardi menjabarkan terkait strateginya dalam menurunkan prevalensi stunting di Provinsi Banten.
Setidaknya ada dua hal dari jawaban Ade yang perlu dipertanyakan kembali.
Pertama, terkait pendefinisian stunting. Adapun penjelasan Ade adalah sebagai berikut:
‘Stunting adalah gagal tumbuh pada anak. Ada dua kategori stunting, yang pertama adalah gagal tumbuh fisiknya, dan yang kedua adalah gagal tumbuh otaknya’
Uniknya, pada penjelasan lanjutan Ade kemudian menyebut bahwa anak yang pendek belum tentu stunting jika otaknya cerdas. Adapun kalimat lengkapnya adalah sebagai berikut:
‘Jadi yang pendek itu belum tentu stunting kalau otaknya cerdas. Maka, kategori stunting itu ada dua itu; gagal tumbuh fisiknya dan gagal tumbuh otaknya.’
Penjelasan lanjutan dari Ade justru menimbulkan kebingungan. Dengan logika yang sama, kita bisa menyimpulkan sebaliknya, anak yang tidak cerdas belum tentu stunting jika badannya tinggi.
Jadi, apa fungsi kategorisasi stunting yang ia uraikan sebelumnya? Bagaimana kelak Ade mengidentifikasi anak pengidap stunting? Ini yang tidak terjawab dengan tuntas.
Hal lain yang juga perlu dipertanyakan adalah saat Ade mengaitkan pernikahan dini dengan anak stunting. Adapun pernyataan lengkapnya adalah sebagai berikut:
‘Jaga jangan sampai ada pernikahan dini, karena itu akan menyebabkan anaknya stunting.’
Tak sampai di situ, Ade juga melarang kehamilan bila si calon ibu mengidap penyakit kronis. Ade menyimpulkan bahwa anak yang lahir dari calon ibu yang mengidap penyakit kronis dapat dipastikan berisiko stunting.
Perihal stunting, Ade Sumardi berulang kali menyampaikan gagasan berbasis asumsi. Ade sering lompat ke konklusi tanpa premis yang jelas.
Tak ada penjelasan konkrit terkait pernikahan dini dan ibu yang sakit kronis dipastikan melahirkan anak stunting.
Hal ini perlu dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Asumsi-asumsi yang sembrono jelas berbahaya jika dijadikan dasar pengambilan kebijakan publik.
Hal semacam itu dikenal dengan istilah jumping to conclusion. Secara sederhana, jumping to conclusion adalah tindakan mengambil keputusan final dengan fakta yang tidak lengkap. Misal, “Dia anggota keluarga koruptor, sudah pasti dia koruptor juga!”
Jumping to conclusion adalah bias kognitif yang berbahaya dan dapat berakibat fatal. Kenapa? Saat seseorang menganggap sesuatu sebagai sebuah kesimpulan final, maka otak akan menutup ruang untuk kemungkinan-kemungkinan serta alasan dan kesimpulan lain. Akibatnya adalah sikap reaksioner yang kemudian disesali.
Kembali menyoal stunting, berbagai penelitian menjelaskan bahwa faktor hulu terjadinya stunting adalah persoalan kemiskinan yang berdampak kepada kekurangan gizi (terutama pada ibu hamil) dan 1.000 hari pertama sejak anak dilahirkan. Selain itu, krisis air bersih juga menjadi persoalan yang turut menyumbang tingginya jumlah stunting.
Gross, Schultink, dan Sastroamidjojo, dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengetahui penyebab dan mengidentifikasi kelompok risiko stunting, menyebut bahwa stunting diawali dengan tidak terpenuhinya gizi yang disebabkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air minum, pendidikan, layanan kesehatan, rumah yang layak dan pengaruh budaya.
Hal ini diperkuat oleh penelitian lain yang dilakukan oleh Hasanah, Handayani, dan Wilti yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan siginifikan antara faktor lingkungan dengan stunting.
Faktor lingkungan yang dimaksud di antaranya adalah ketersediaan air bersih, kepemilikan sanitasi, dan sampah rumah tangga. Seluruhnya dianggap berkontribusi dalam penyebaran penyakit diare, ISPA, dan pada titik tertentu berhubungan erat dengan kasus stunting.
Setidaknya dari dua penelitian tersebut di atas, didapati fakta bahwa permasalahan stunting tidak bisa disimplifikasi menjadi sebatas persoalan gizi dan nutrisi saja. Akan tetapi, stunting berkaitan erat dengan hubungan pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia (air bersih, sanitasi/jamban, akses terhadap pangan, serta kemiskinan).
Pandangan bahwa stunting disebabkan oleh kurang gizi atau gizi buruk sudah kurang relevan lagi saat ini. Stunting merupakan akumulasi dari berbagai penyebab yang telah terjadi pada seluruh aspek kehidupan pada individu atau keluarga penderita stunting.
Hal ini perlu dielaborasi lebih dalam demi menghindari kesalahan dalam mendiagnosa sebuah fenomena. Seorang dokter perlu melakukan verifikasi berganda dalam proses diagnosa; analisa, evaluasi, re-evaluasi, hingga akhirnya sampai pada tahap kesimpulan, kemudian menyusun resep dan agenda pengobatan.
Bayangkan jika seorang yang menderita panas dalam, oleh karena kesalahan diagnosa dokter, kemudian diberi resep dan agenda pengobatan layaknya pasien kanker. Berbahaya, bukan?
Apalagi, identifikasi permasalahan stunting sebagaimana yang dibahas sejak awal, bakal dijadikan dasar sebuah pengambilan keputusan atau kebijakan publik. Kegagalan mendiagnosa akan berakibat kepada kesalahan penanganan, dalam hal ini penyusunan program terkait pengentasan stunting di Provinsi Banten. ***