Oleh: Muhamad Agung Laksono
DALAM membaca Laporan Keuangan Konsolidasian Interim PT Krakatau Steel (Persero) Tbk untuk periode semester I atau Quartal 2 (Q2) yang berakhir 30 Juni 2025 tidak hanya menghadirkan angka-angka finansial yang mengkhawatirkan, tetapi juga memantik refleksi mendalam tentang arah dan komitmen kita terhadap pengelolaan aset strategis nasional.
Data yang terpapar jelas menunjukkan kemerosotan signifikan yang patut dipertanyakan keselarasan dengan semangat kemandirian dan kekuatan ekonomi nasional yang seharusnya menjadi pilar utama.
Mari kita telaah fakta-fakta dari laporan keuangan Krakatau Steel (KRAS):
Krakatau Steel memang berhasil mencetak Laba Bruto positif sebesar USD 33,965 Juta. Angka ini, pada dasarnya, menunjukkan adanya kemampuan intrinsik di lini produksi untuk menghasilkan keuntungan.
Namun, optimisme ini seketika pupus ketika Laba Bruto tersebut ludes tergerus dan berbalik menjadi Rugi Bersih Tahun Berjalan sebesar USD 138,977 Juta.
Dugaan Penyebab utamanya sangat jelas dan mendominasi: Beban Keuangan yang membengkak luar biasa hingga USD 131,025 Juta, ditambah dengan Beban Usaha yang juga signifikan, sebesar USD 34,904 Juta, yang terdiri dari Beban Penjualan dan Beban Umum dan Administrasi.
Konskuensi fatalnya adalah Akumulasi Kerugian perusahaan yang terus membengkak hingga USD (2.580.406) Ribu dan ekuitas yang terkikis drastis menjadi USD 377.717 Ribu.
Ini adalah potret BUMN strategis yang terbebani oleh utang dan inefisiensi.
Dalam konteks ini, penulis berharap kehadiran PT Danantara Asset Management Persero yang kini menjadi pemegang saham mayoritas (80% saham Seri B) Krakatau Steel, serta peran PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) sebagai bagian dari holding operasional di bawah Danantara, seharusnya membawa harapan besar dan semangat revitalisasi.
Danantara diposisikan sebagai ujung tombak yang mengarahkan dan menjamin keberlanjutan pembangunan industri baja nasional. Namun, hasil kinerja Q2 2025 yang memburuk secara telak memunculkan pertanyaan krusial: Di manakah “Semangat Danantara” yang diagung-agungkan itu?
Penulis tidak bisa memisahkan diskusi ini dari akar sejarah perjuangan ekonomi bangsa. Bung Karno, melalui Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada 28 Maret 1963, dengan tegas mengamanatkan pembentukan kekuatan “funds and forces nasional“.
Ideologi ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah visi konkret: seluruh dana dan kekuatan ekonomi bangsa harus dimobilisasi secara mandiri, efisien, dan berdaulat demi kemakmuran rakyat, bukan untuk melayani kepentingan asing atau inefisiensi internal.
“Funds and forces nasional” berarti kemampuan kita mengendalikan simpul-simpul ekonomi strategis, menggunakan aset negara secara produktif, dan meminimalkan kebocoran yang merugikan.
Ia adalah semangat kemandirian, efisiensi maksimal, dan akuntabilitas demi kesejahteraan umum.
Danantara, sebagai entitas yang mengemban amanat ini, seharusnya menjadi perwujudan nyata dari “kekuatan funds and forces nasional” tersebut.
Fungsi BKI, yang selama ini dikenal sebagai penjaga standar dan kualitas teknis di sektor maritim dan industri, secara implisit juga harus menjadi penjaga standar tata kelola dan efisiensi finansial dalam entitas-entitas di bawah naungan Danantara.
Namun, fakta di Krakatau Steel menunjukkan kontradiksi yang menyolok:
• Bagaimana mungkin “funds” nasional dikategorikan kuat jika USD 131,025 Juta habis untuk beban keuangan dalam enam bulan, menguras habis laba operasional dan menumpuk kerugian?
Ini adalah representasi dari pelemahan “funds” nasional, bukan penguatan.
• Di mana “forces” nasional dalam manajemen, jika di tengah kondisi kritis ini, belum terlihat langkah radikal dalam menekan beban yang menggerogoti perusahaan?
Sebagai aktivis GMNI, yang berharap Presiden Prabowo menjalankan Danantara sesuai semangat Deklarasi Ekonomi (Dekon) Bung Karno tahun 1963, penulis menuntut akuntabilitas dan tindakan nyata:
• Efisiensi Gaji Komisaris dan Direksi Krakatau Steel Group sebagai Manifestasi “Kekuatan Funds Nasional”:
Di tengah kerugian yang masif dan beban yang mencekik, adalah sebuah keniscayaan etis bagi jajaran komisaris dan direksi untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap efisiensi.
Evaluasi ulang yang drastis terhadap gaji, tunjangan, dan fasilitas mereka bukan sekadar penghematan nominal. Ini adalah manifestasi konkret dari semangat “pengorbanan” dan “disiplin” yang diperlukan untuk menguatkan “funds nasional”.
Pucuk pimpinan harus menjadi teladan dalam efisiensi biaya operasional perusahaan yang masih sebesar USD 34.904 Ribu.
• Akuntabilitas Menyeluruh di Krakatau Steel Group: Kehadiran Danantara dan peran BKI yang menjaga standar, harus memastikan bahwa akuntabilitas tidak hanya pada operasional teknis, tetapi juga pada pengelolaan finansial dan etika manajemen.
Kerugian Q2 2025 adalah cerminan bahwa standar ini belum terpenuhi. Pengelolaan utang dan efisiensi harus diinspeksi dengan standar setinggi BKI menginspeksi kelaikan kapal.
• Implementasi Nyata Semangat Dekon dalam Setiap Kebijakan: Danantara harus memastikan bahwa “kekuatan funds and forces nasional” Krakatau Steel tidak habis hanya untuk membayar bunga utang atau biaya operasional yang tidak efisien.
Manajemen Krakatau Steel harus mampu menerjemahkan visi strategis Danantara yang sejalan dengan Dekon Bung Karno ke dalam tindakan nyata yang menghasilkan laba bersih dan menguatkan ekuitas, bukan sebaliknya.
Kesimpulannya, laporan keuangan Krakatau Steel Q2 2025 yang memburuk adalah alarm keras. Jika “Semangat Danantara” benar-benar ingin diwujudkan sebagai penerus cita-cita “kekuatan funds and forces nasional” Bung Karno, maka manajemen Krakatau Steel, di bawah pengawasan ketat Danantara dan dengan prinsip standar BKI, harus segera menunjukkan komitmen nyata terhadap efisiensi fundamental, dimulai dari pucuk pimpinan.
Tanpa langkah berani dan konkret ini, BUMN strategis akan terus menjadi beban, jauh dari cita-cita kemandirian ekonomi bangsa yang dicetuskan oleh Bung Karno. (***)
* Muhamad Agung Laksono,
Penulis adalah pemuda Cilegon dan eks Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

