Patrimonialisme dalam Politik Keluarga di Tengah Demokrasi yang Belum Substantif

 

Penulis : Nazila Zalianti, Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Program Studi Ilmu Pemerintahan 2024

Kehidupan politik sering kali memperlihatkan kekuasaan yang tidak hanya di kuasai oleh suatu lembaga, melainkan oleh figur dan keluarganya. Kekuasaan Seakan diwariskan secara turun temurun untuk jaringan keluarga dan kekerabatan.

Relasi kuasa dalam sistem tersebut tidak lagi berlandaskan pada aturan formal, Namu pada loyalitas personal.

Peristiwa ini dikenal dengan istilah “patrimonialisme”. Menurut Johannes Lemke, Patrimonialisme merupakan suatu bentuk organisasi politik yang di mana Kewenangannya berdasar terhadap kekuasaan pribadi yang di jalankan oleh seorang penguasa, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Max Weber (1922), dalam Economy and Society, Menggambarkan terkait patrimonialisme di mana bentuk kekuasaan bersifat tradisional, sehingga administrasi negara dijalankan sebagai perpanjangan dari rumah tangga penguasa.

Artinya, negara tidak terlihat sebagai entitas yang terpisah dari individu penguasa, melainkan bagian dari lingkup privatnya. Dalam konteks ini pemimpin menjalankan kekuasaannya atas dasar hubungan keluarga, loyalitas pribadi, atau jaringan patron-klien.

Situasi ini sering kali dihadapkan dengan hukum yang tumpul, karena keputusan politik dan administratif dibuat berdasarkan kepentingan personal.

Sistem hukum yang seharusnya menjadi dasar pijakan negara, tidak memiliki kekuatan karena dipinggirkan oleh kekuasaan yang berorientasi pada kehendak individu atau kelompok kecil di sekitarnya.

Patrimonialisme dapat menggambarkan terkait wajah kekuasaan yang tampak kuat namun rapuh secara kelembagaan. Selain itu, patrimonialisme mempunyai ciri-ciri yang dapat meliputi kekuasaan bersifat pribadi, hukum yang tidak tegas, nepotisme, dominasi hubungan kekerabatan dalam distribusi kekuasaan, dan akuntabilitas yang lemah.

Pada kejadian masa lampau seperti Orde Baru juga mencatat bahwa model ini tidak asing dalam konteks Indonesia, bahkan hingga pada masa reformasi ini.

Pada masa orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto juga pernah mencatat bahwa Indonesia, kekuasaannya sering digunakan secara personal dengan berdasarkan pada hubungan pribadi, bukan hanya dilakukan secara formal atau konstitusi.

Misalnya, kekuasaan Soeharto sangat bergantung terhadap loyalitas, bukan pada institusi negara.

Sistem tersebut dapat mencerminkan sifat patrimonial, di mana kekuasaan dipertahankan melalui hubungan pribadi dan patronase, bukan mekanisme legal formal.

Maka tak heran, bila banyak wilayah Indonesia, termasuk di daerah-daerah tertentu masih menggunakan gejala negara yang berjalan secara “tradisional”, di mana kekuasaan dijalankan secara personal, bukan impersonal sebagaimana ideal negara modern.

Kekuasaan yang Menetap di Nama Keluarga

Fenomena politik lokal di Indonesia terdapat beberapa cerita terkait kekuasaan yang berputar di lingkaran yang sama.

Tidak jarang, sebuah wilayah dipimpin oleh seorang yang berasal dari keluarga yang sama, berganti wajah tetapi tidak berganti arah.

Situasi ini tidak lahir dari kehendak rakyat semata, namun dari konstruksi kekuasaan yang telah dibangun dan dijaga melalui relasi personal.

Pada beberapa daerah, pemilihan kepala daerah memang dilakukan secara langsung, akan tetapi hasilnya tetap menunjukkan kembali nama-nama yang “lama”.

Di balik spanduk demokrasi, kekuasaan ternyata bisa berjalan melalui logika pewarisan, bukan persaingan gagasan.

Salah satu Implikasi nyata dalam hal patrimonialisme terlihat pada di Kabupaten Lebak, Banten.

Mulyadi Jayabaya yang pernah menjabat sebagai bupati Lebak selama dua periode (2003-2013).

Setelah itu, putrinya, Iti Octavia Jayabaya Juga melanjutkan kursi kepemimpinan dalam dua periode berikutnya ada bupati kabupaten Lebak.

Pada Pilkada 2018, Iti Octavia Melaju sebagai calon tunggal, setelah dua calon perseorangan gagal dalam proses verifikasi administratif.

Menurut (Mahpudin, 2020) mencatat bahwa seluruh partai politik di Lebak merapat ke pasangan Iti-Ade, dan tidak ada lawan kuat yang mampu menentang hegemoni politik keluarga Jayabaya di dalam kabupaten Lebak.

Hal ini dapat mencerminkan praktik patrimonialisme, bukan sekedar dominasi elektoral saja. Seperti yang digagas oleh Max Waber (1922) :

Kekuasaan yang dijalankan sebagai kelanjutan dari rumah tangga penguasa. Johannes Lemke juga menjelaskan bahwa patrimonialisme terjadi saat kewenangan tidak didasarkan pada aturan yang objektif, seperti pada kekuasaan pribadi penguasa.

Dinasti Jayabaya ini membentuk suatu pola kekuasaan yang tidak berpindah karena sistem, tetapi karena relasi personal yang sudah tertanam.

Gejala ini bukan hanya terjadi pada Indonesia saja. Filipina, negara dengan sejarah panjang Pemilu langsung, yang dapat menggambarkan pola seragam.

Dinasti keluarga Marcos dan Aquino Menjadi simbol bahwa kekuasaan bisa diwariskan, bukan hanya dipilih.

Menurut (Pradikta, 2024) Menyinggung jelaskan bahwa dinasti politik yang terjadi pada Filipina dapat bertahan karena lemahnya suatu institusi dan kuatnya budaya patron-klient.

Kesamaan antara Filipina dan Indonesia terletak pada cara kekuasaan tetap berada dalam tenaga keluarga, meski dalam kerangka Pemilu.

Apa yang sudah dijelaskan oleh Max Weber (1922) dan Johannes Lemke mengenai Patrimonialisme yang nampaknya tidak kehilangan relevansi, bahkan di tengah era demokrasi elektoral seperti sekarang. Jika demokrasi idealnya dilakukan secara inter sional dan berbasis hukum, namun kenyataannya, banyak negara di Asia Tenggara yang masih memperlihatkan pola kekuasaan yang sangat personal.

Seperti dinasti politik keluarga Jayabaya di Indonesia atau Marcos di Filipina. Demokrasi hadir dalam bentuk prosedural, tetapi praktiknya tetap dilakukan dalam logika hubungan pribadi, loyalitas, dan warisan kekuasaan.

Dampak dari Patrimonialisme dalam Politik Keluarga

Dari pengamatan saya, patrimonialisme tidak hanya lahir dari ambisi mempertahankan kekuasaan, tetapi juga dipelihara oleh budaya politik yang mengutamakan loyalitas personal dan hubungan kekerabatan.

Ketika masyarakat lebih peduli pada siapa yang menjabat daripada bagaimana ia menjalankan tugasnya, sistem hukum dan institusi menjadi tidak berdaya.

Dalam kondisi semacam ini, partai politik kehilangan fungsinya sebagai ruang kaderisasi, dan kekuasaan cenderung berputar pada orang yang sama dengan wajah berbeda.

Lalu, apakah reformasi kelembagaan cukup jika budaya politik masih menomorsatukan hubungan pribadi daripada kapasitas?

Situasi ini bukan tanpa dampak bagi masyarakat. Ketika kekuasaan dikuasai oleh kelompok yang itu-itu saja, masyarakat kehilangan ruang untuk memilih alternatif yang lebih segar dan berintegritas.

Pelayanan publik kerap tidak berjalan optimal karena jabatan diisi bukan atas dasar kemampuan, melainkan hubungan.

Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi menjadi rendah, dan muncul sikap apatis karena merasa perubahan hanya ilusi.

Seperti yang diungkapkan Elly Nurlia, masyarakat di Banten bahkan sudah terbiasa dan cenderung membiarkan dinasti politik berlangsung, yang secara tidak langsung membuka jalan bagi normalisasi kekuasaan turun-temurun (Radar Banten, 2023).

Meski patrimonialisme memiliki akar yang kuat dalam sejarah dan relasi sosial, bukan berarti ia harus menjadi warisan yang terus dilestarikan.

Demokrasi tidak akan tumbuh di atas relasi pribadi yang eksklusif, tetapi pada sistem yang memberi ruang bagi siapa pun untuk tampil atas dasar integritas dan kapasitas.

Masyarakat perlu melihat bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak turun-temurun. **

Honda Promo
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien