Quo Vadis Pilkada
Oleh: Ahmad Muhibin, S.Hi, Ketua Fraksi Gerindra DPRD Kabupaten Serang
Pendahuluan
Wacana Pemilihan Kepala Daerah di tingkat Kabupaten maupun Provinsi oleh DPRD yang diusulkan oleh Presiden RI Prabowo Subianto, menjadi bahasan yang cukup menarik karena hal yang sama pernah dilakukan di era sebelum reformasi dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Presiden RI Prabowo Subianto mengatakan “pilkada mahal, harus ada perbaikan sistem”. KPU menyikapi usulan Presiden RI tersebut dengan mematuhi aturan yang dibuat oleh DPR karena setiap pilkada itu dievaluasi oleh DPR untuk perbaikan pilkada selanjutnya.
Pemilihan kepala daerah baik ditingkat kabupaten maupun provinsi hanya diselenggarakan 1 (satu) hari saja, namun biaya nya sangat besar.
Anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024.
Apabila kita lihat dari sisi ekonomi masyarakat masih banyak masyarakat yang perlu bantuan dari pemerintah, apabila pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD maka dinilai akan lebih efisien secara biaya yang besar yang digunakan untuk pesta demokrasi tersebut bisa dialokasikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Wacana perbaikan sistem pemilihan kepala daerah dinilai memberikan nilai positif bagi system politik di Indonesia. Seperti di Malaysia, Singapura dan India, bupati dan gubernur dipilih oleh DPRD setempat.
Evaluasi sistem tersebut perlu dilakukan selama masih ada dalam koridor yang seharusnya. Ada banyak cara untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah yang free and fair serta ada kontestasi politik yang free. Biaya politik yang besar itu salah satunya dikarenakan karena Penegakan Hukum yang tidak jalan sehingga terjadi money politic yang gila-gilaan.
Selain itu apabila kita lihat dari sisi sosial budaya yang kita anut di Indonesia, masyarakat belum semuanya sadar akan pentingnya suara rakyat dalam kegiatan pesta demokrasi sehingga masih ada suara yang tidak terpakai dan tidak sedikit pula suara yang rusak dan tidak sah sehingga mengakibatkan golput.
Kedudukan DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga perwakilan rakyat yang bertugas sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. DPRD memiliki peran penting dalam tata kelola pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Salah satu tugas DPRD adalah mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk tingkat provinsi atau kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk tingkat kabupaten/kota.
Wewenang ini menempatkan DPRD sebagai lembaga yang turut menjaga stabilitas dan akuntabilitas pemerintahan daerah. Namun, dengan munculnya wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD, muncul pula perdebatan terkait demokrasi dan akuntabilitas publik.
Sebelum era reformasi, kepala daerah di Indonesia dipilih oleh DPRD. Namun, sejak diberlakukannya pemilihan langsung melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, masyarakat memiliki hak langsung untuk memilih kepala daerah.
Kini, wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali muncul dengan argumen, pertama, Efisiensi Biaya dimana pemilihan langsung dianggap membutuhkan biaya yang besar, termasuk untuk logistik, pengawasan, dan kampanye.
Kedua, Mengurangi Politik Uang dikarenakan pemilihan langsung sering kali menjadi ladang subur bagi praktik politik uang. Ketiga, memperkuat sistem parlementer lokal, yaitu pemilihan oleh DPRD dinilai dapat memperkuat hubungan kepala daerah dengan legislatif. Meski, wacana ini menuai kritik karena dinilai dapat mengurangi demokrasi langsung, yang menjadi salah satu capaian penting reformasi. Kekhawatiran lainnya adalah meningkatnya risiko politik transaksional di internal DPRD.
Beberapa negara melakukan pemilihan kepala daerah oleh legislatif diantaranya, sistem parlementer di Jerman mengamanatkan bahwa kepala daerah tertentu, seperti wali kota di beberapa negara bagian, dipilih oleh dewan legislatif lokal. Proses ini mencerminkan konsensus antara partai politik di parlemen.
Demikian halnya kepala menteri di India, yang memimpin pemerintah negara bagian, diangkat berdasarkan suara mayoritas di legislatif negara bagian serta Malaysia, sistemnya mirip dengan India. Menteri Besar di negara bagian dipilih berdasarkan dukungan legislatif negara bagian, yang dipilih langsung oleh rakyat.
Implikasi Wacana Pemilihan oleh DPRD
Dengan ramainya diskusi-diskusi terkait pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD terdapat beberapa implikasi yaitu secara positif, adanya penghematan anggaran pemilu,meminimalisasi konflik horizontal di masyarakat akibat polarisasi politik serta mengurangi beban politik kepala daerah untuk berfokus pada populisme.
Namun dari sisi implikasi negatif, Demokrasi langsung tereduksi, dan suara rakyat tidak terwakili secara langsung,potensi politik uang dan lobi-lobi di DPRD meningkat serta kredibilitas kepala daerah dapat dipertanyakan, terutama jika ia terpilih melalui konsensus politik transaksional.
Penutup
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan langkah yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, sistem ini mungkin efisien dalam konteks tertentu, tetapi tidak selaras dengan semangat demokrasi langsung yang kini dipegang teguh di Indonesia. Perdebatan ini perlu melibatkan kajian mendalam terkait aspek biaya, transparansi, dan efektivitas tata kelola pemerintahan, serta mempertimbangkan pengalaman dari negara-negara yang menerapkan model serupa.
Wacana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD merupakan isu yang menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, pemilihan oleh DPRD dinilai dapat meningkatkan efisiensi anggaran, memperkuat hubungan kepala daerah dengan legislatif, serta mengurangi potensi konflik horizontal dan politik uang di tingkat masyarakat.
Namun, di sisi lain, mekanisme ini dapat melemahkan prinsip demokrasi langsung, memunculkan risiko politik transaksional di DPRD, dan mengurangi akuntabilitas kepala daerah kepada rakyat.
Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah oleh legislatif dapat berjalan efektif dalam sistem parlementer atau di wilayah dengan budaya politik yang matang.
Namun, untuk konteks Indonesia, perubahan mekanisme pemilihan ini berpotensi menimbulkan tantangan baru, terutama terkait kepercayaan publik terhadap proses politik.
Oleh karena itu, setiap kebijakan terkait wacana ini harus mempertimbangkan aspek demokrasi, akuntabilitas, dan kepentingan masyarakat luas. Alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah memperbaiki sistem pemilihan langsung, seperti memperketat pengawasan untuk mencegah politik uang dan menekan biaya pemilu, daripada menghapuskan hak rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya. ***