SENGGOL BACOK
Oleh: Tb Ardi Januar *)
Istilah dari judul di atas kerap dialamatkan kepada mereka yang sedang sensitif secara emosional. Ini biasa terjadi kepada perempuan yang hendak datang bulan atau lelaki yang tengah depresi menghadapi beragam persoalan. Untuk bahasa anak sekarang, “Senggol Bacok” sama artinya dengan “sensi”.
Namun siapa sangka istilah “Senggol Bacok” menjadi sesuatu yang nyata dalam kehidupan. Minggu dini hari kemarin, seorang pakar IT bernama Hermansyah menjadi korban keganasan jalanan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka bacok dan jari di tangannya nyaris putus. Peristiwa ini terjadi setelah mobil yang dikemudikannya konon bersenggolan dengan dengan pengemudi lain.
Kabar ini seketika menjadi viral di dunia maya. Pasalnya Hermansyah bukan sekadar ahli IT biasa, dia pernah menghebohkan publik setelah memberi pernyataan di acara talkshow televisi terkemuka bahwa kasus chat sex yang melibatkan HRS dan FH adalah hoax alias rekayasa belaka. Boleh dibilang dia berani melawan logika hukum aparat kepolisian yang kekeuh berpendapat chat tersebut asli.
Hermansyah bukan pakar IT terkemuka seperti Roy Suryo atau Abimanyu. Saya baru sekali melihatnya di acara talk show tersebut. Wajahnya seperti orang lugu dan jauh dari kata seram. Penampilannya sederhana. Tutur katanya juga menggambarkan dia bukan pribadi yang nyolot. Karena itu saya merasa kaget kenapa orang selugu itu harus dibacok berkali-kali hanya karena persoalan senggolan kendaraan di jalanan.
Saya bisa mengerti dan dapat merasakan psikologis jalanan Ibu Kota. Hampir 20 tahun saya bergelut dengan jalanan baik dengan sepeda motor ataupun mobil. Kesimpulannya banyak pengemudi yang masih arogan dan tidak mengindahkan aturan. Banyak juga pengemudi serampangan tanpa memikirkan keselamatan. Namun, rasanya saya tidak pernah menemukan ada orang yang bersenggolan atau bersalipan harus berujung dengan bacok-bacokan.
Saya punya pengalaman. Lima tahun lalu pernah menabrak mobil seorang perwira TNI di Jalan alternatif Cibubur gara-gara asyik BBM-an. Begitu mobil saya menyundul mobil belakang bernomor plat dinas, seketika saya langsung lemas karena imej tentara di kepala saya galak, tukang main pukul dan susah diajak kompromi. “Mati gua… Bisa disuruh push up nih…” ujar saya di dalam hati.
Namun siapa sangka persoalan ini bisa selesai dengan cepat dan dewasa. Saya minta maaf dan siap bertanggung jawab. Bapak perwira yang namanya saya lupa pun memaafkan sambil berpesan agar lebih hati-hati. Tidak ada hal-hal yang dikhawatirkan seperti yang saya bayangkan.
Begitu juga saat dahulu saya mengendarai motor pernah bersenggolan di Pasar Kramat Jati dengan akamsi alias anak kampung sini. Saya bilang dia akamsi karena mereka boncengan tidak mengenakan helm dan hanya pakai celana pendek. Meski senggolannya cukup kencang, masalah dapat selesai setelah kami saling mengecek kondisi motor satu sama lain.
Kembali ke permasalahan Hermansyah. Saya tidak tahu apakah peristiwa yang dialaminya terjadi secara spontan atau direncanakan. Saya tidak punya keahlian untuk menyimpulkan. Namun logika dan nalar saya yang berdasarkan pengalaman, sulit rasanya mengatakan bila kejadian tersebut hanya karena persoalan salip-salipan dan senggolan.
Anggaplah peristiwa ini benar-benar hanya karena salah faham di jalanan. Ini menjadi fenomena yang amat mengerikan. Bagaimana bisa ada sekelompok orang tega melukai seseorang dengan sadis di hadapan seorang perempuan yang tak lain adalah istrinya. Mengerikan karena pembunuh berkeliaran di sekitar kita.
Namun, apabila peristiwa ini terkait dengan sepak terjang Hermansyah selaku pakar IT yang siap memberikan kesaksian di persidangan, ini jauh lebih mengerikan. Berarti kita sedang hidup di rezim yang demokrasinya semu dan supremasi hukumnya palsu. Hal ini akan berdampak cukup besar bagi mereka yang ingin menyampaikan kebenaran sesuai dengan kapasitas pendidikan dan keahlian.
Saya tidak mau berandai-andai. Saya hanya bisa berdoa agar Hermansyah diberi kekuatan dan dapat segera diberi kesembuhan. Saya juga mendukung aparat kepolisian agar segera mengungkap kasus ini yang dirasa amat biadab secara tindakan.
Belakangan ini sebenarnya saya sedang tak berminat menulis sambil menyoroti beragam isu kontroversi. Saya tidak tertarik membahas ulah anak bungsu Jokowi ataupun ocehan berbau plagiat dari Mbak Afi.
Namun kasus Hermansyah telah mengusik hati. Bagaimana bisa orang dibuat hampir mati hanya karena urusan ego dalam mengemudi. Terlebih sang korban calon saksi ahli dalam kasus yang tengah diperbincangkan seantero negeri.
Saya merasa tulisan ini terlambat dalam menyikapi. Tapi ternyata sampai saat ini belum ada pernyataan resmi dari Pak Jokowi. Belum ada juga sikap atau kecaman dari mereka yang biasa vocal bicara tentang hak asasi.
Mari kita dukung polisi untuk mengungkap kasus ini. Mari tetap berani menyuarakan isi nurani. Mari kita hindari tindakan main hakim sendiri. Dan mari kita tetap waras dalam mengemudi.
*) Jurnalis dan peminat masalah sosial
Sumber: kanigoro.com