Tak Kunjung Negara
(Mukadimah Kenduri Cinta, Juli 2018)
NEGARA dapat dikatakan sebagai sebuah organisasi kekuasaan dalam luasan wilayah tertentu. Yang diciptakan oleh sekelompok manusia setelah menyatakan diri senasib sepenanggungan. Pada awal zaman bercocok tanam, manusia mulai hidup menetap pada wilayah yang memungkinkan mereka menanam tanaman. Berbeda dengan masyarakat pemburu yang hidup tidak menetap dan kesadaran berbagi tugas dalam kelompoknya masih sederhana. Masyarakat yang bercocok tanam memerlukan koordinasi dan pembagian tugas yang lebih tertata. Hal ini karena hasil panen dari usaha menanam tidak langsung dapat dinikmati sebagaimana dengan hasil buruan.
Orang-orang yang bercocok tanam harus dapat membaca, mengenali, dan berinteraksi dengan alam lebih baik. Rahmat dari Tuhan berupa alam tidak sekadar langsung dinikmati. Namun dengan bertanam, alam mesti diolah dan dipelihara. Teknik Irigasi untuk menyalurkan air ke lahan pertanian perlu dipelajari. Banyak peneliti menemukan fakta bahwa masyarakat pertama yang mulai menerapkan teknik ini adalah manusia-manusia awal nusantara.
Seiring waktu berjalan, koloni masyarakat ini hidup nyaman dengan pola kehidupan bercocok tanam. Kemungkinan ini yang menjadi cikal keberadaan desa-desa purba. Dari setiap desa bermunculan pemimpin-pemimpin desa yang terseleksi secara alami. Dari koloni-koloni desa yang ada mulai terjalin interaksi dan pertukaran hasil panen. Pusat-pusat pertukaran hasil panen semakin menarik orang untuk datang dan menetap. Lokasi semacam ini akan menjadi pusat kegiatan masyarakat purba yang kelak menjadi kota. Kemungkinan interaksi dan koordinasi antar pemimpin desa mulai muncul di sini. Adanya tujuan bersama yang mendasari aktivitas organisasi yang menyerupai negara sederhana.
Ada pendefinisian negara sebagai organisasi dalam suatu wilayah yang melaksanakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya, dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Aristoteles memiliki sebuah pemahaman bahwa negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
Sedangkan secara umum yang menjadi representasi negara di tengah masyarakat adalah pemerintahan. Pertanyaan berikutnya, sudah senasib sepenanggungankah? Bersamakah? Dan terpadukah keluarga-keluarga itu? Apakah keberadaan negara sudah benar-benar untuk menjadikan rakyat berdaulat atas diri sendiri? Bagaimanakah pemerintahan yang ada menjalankan amanah tugas kenegaraan?
Bagaimana sebenarnya Negara lahir? Dalam sebuah penelitian, ada dua alasan mengapa sebuah negara lahir; secara primer dan sekunder. Negara yang lahir dengan cara primer adalah negara yang muncul secara bertahap. Menurut G. Jellinek, ada 4 tahapan lahirnya suatu negara; Fase persekutuan manusia, fase kerajaan, fase negara dan fase negara demokrasi dan diktator. Lahirnya kesepakatan untuk memunculkan negara juga karena adanya kesadaran hak milik atas tanah yang diduduki oleh sekelompok masyarakat.
Kemudian lahirlah kerajaan. Setelah berjalannya waktu, muncul kesadaran berdemokrasi dan berkedaulatan pada masing-masing individu. Sistem kerajaan dirasa sudah kuno. Sehingga kepemimpinan seorang Raja menjadi tidak dominan. Biasanya, sebuah kerajaan akan dikuasai oleh keluarga inti dari pihak kerajaan saja. Kalaupun ada pejabat kerajaan yang dijabat oleh pihak luar kerajaan, maka tugas dan wewenangnya akan dibatasi, tidak sepenuhnya berkuasa atas pemerintahan kerajaan.
Sebuah kerajaan tidak terlalu ketat soal luas teritori geografis. Karena sebuah kerajaan justru mengedepankan luas pengaruh kekuasaan politiknya. Ironi yang terjadi di Indonesia saat ini justru Partai-partai Politik yang semestinya menjadi wadah penyalur aspirasi kedaulatan rakyat, justru menjadi alat pertarungan antar ‘Raja-raja’ yang sedang memperebutkan kekuasaan dalam sebuah negara.
Berbeda sekali paradigma yang terjadi dengan perjuangan-perjuangan kemerdekaan. Faktor adanya penjajahan lebih menguatkan semangat nasionalime senasib-sepenanggungan yang menyatukan Kerajaan-kerajaan supaya dapat menggalang kekuatan perjuangan secara bersama. Kerajaan dan kesultanan yang semula terpisah-pisah kemudian meleburkan diri menjadi sebuah negara republik. Persoalannya justru mulai muncul sejak awal proklamasi kemerdekaan. Manakala terjadi pembiaran wilayah abu-abu antara eksistensi negara dan kekuasaan pemerintahan.
Proklamasi kemerdekaan lebih menyerupai sebuah klimaks perjuangan kemerdekaan untuk segera melepaskan diri dari penjajahan negara lain ketimbang lahirnya sebuah negara-bangsa. Setelah proklamasi pun tidak serta merta Republik Indonesia langsung diakui dan diterima oleh negara-negara tetangga dan mata dunia. Luas teritorial geografis Negara Indonesia pun berubah.
Dengan dinamika politik nasional dan internasional, negara Indonesia pernah berubah bebeberapa kali bentuk kenegaraan dan konstitusinya. Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945, pada tahun 1949 pernah menjadi Republik Indonesia Serikat. Sebelum akhirnya kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lepasnya Timor Leste di tahun 1999 berpengaruh terhadap luas teritorial georafis NKRI.
Begitupun dengan perubahan UUD’45 di tahun 2002 yang juga sebenarnya telah mengubah konstitusi negara. Selanjutnya, praktek demokrasi dengan pemilihan umum langsung nyata-nyata sangat berpengaruh terhadap legitimasi kekuasan pemerintahan lima tahunan terhadap negara.
Akibatnya, kita sendiri masih sama-sama gagap membedakan antara negara dan pemerintah. Praktek demokrasi di Indonesia hari ini secara de facto justru melanggengkan sistem monarki yang sedang mempraktikkan pertarungan kerajaan-kerajaan politik dalam memperebutkan kekuasaaan negara. Meskipun secara de jure Indonesia ini adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik.
Padahal bagi rakyat yang berdaulat, apapun jenis dan bentuk yang akan diterapkan oleh sebuah negara bukan merupakan hal yang penting. Karena yang utama adalah bagaimana sebuah negara dapat mewujudkan kesejahteraan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Persoalannya adalah keberadaan negara tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Justru saat ini kekuasaan pemerintah merapuhkan kedaulatan rakyat.
Sistem demokrasi dengan pemilihan umum langsung, seharusnya bertujuan untuk memilih orang-orang terbaik bangsa untuk mengelola negara. Presiden dan para Menteri bukanlah juragan dari rakyat, mereka justru adalah karyawan utama yang dibiayai oleh rakyat untuk mengelola negara. Pemerintah yang selalu berganti pada setiap periode kekuasaan adalah orang-orang berkualitas yang bertugas untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun ternyata, harapan itu tidak semudah yang dibayangkan oleh para founding fathers Indonesia ini. Kekuasaan dalam wilayah Negara disalahartikan sebagai kekuasaan mutlak pemerintah yang sedang bertugas mengurusi negara. Proses peralihan kekuasaan pada setiap pemilihan umum tak ubahnya hanya sebuah pertunjukan perebutan dan perpindahan kekuasaan dari kelompok yang satu dengan yang lainnya. Bukan hanya berbicara soal siapa partai yang akan berkuasa selanjutnya, namun juga lebih dari itu, ada tokoh-tokoh yang tidak tersentuh yang juga memainkan peran mereka di belakang layar untuk menentukan pihak mana yang akan berkuasa.
Pada akhirnya, negara ini tak kunjung benar-benar menjadi negara. Penguasa semakin bertindak lalim terhadap rakyat. Pesta demokrasi setiap 5 tahun dilangsungkan bukan dalam wujud kedaulatan rakyat, namun hanya memuaskan hasrat politik pribadi dan kelompok semata dengan duduk di bangku pemerintahan. Sementara kekuasaan pemerintah justru berperan sebagai yang paling memiliki negara.
Tidak mungkin dengan menebarkan bulir beras di sebidang tanah lantas mengharapkan tumbuh subur tanaman padi. Adalah tindakan bodoh jika mengelola kesuburan tanah menggunakan alat Piring, Sendok dan Garpu. Megahnya infrastruktur irigasi juga bukan ukuran kemajuan persawahan. Pemerataan pengairan bukanlah dengan rumus kesamaan digelontorkannya debit air kepada setiap petak sawah, tanpa memperhatikan faktor luas dan karakteristik tanah masing-masing petak sawah yang berbeda-beda.
Pun semakin absurd jika klaim persawahan harga mati justru digemborkan oleh para pembangun pondasi Restoran Globalisasi di atas lahan konstitusi sawah yang sudah disepakati bersama. (*/Caknun.com )