Belum Dapat Kejelasan dari Pemerintah, Nelayan Teluk Tabur Bunga di Perahu
PANDEGLANG – Sebagai bentuk kekeselan terhadap pemerintah karena dianggap tidak dapat memberikan kejelasan, para nelayan Desa Teluk, Kecamatan Labuan gelar aksi tabur bunga pada bangkai kapal.
Hal itu dilakukan sebagai upaya penyampaian keluhan terhadap pemerintah yang dianggap membiarkan para nelayan mati suri karena kapal-kapal nelayan di sekitar Teluk banyak yang hancur namun hingga saat ini para nelayan tersebut belum mendapatkan bantuan.
Pasca tsunami pada 22 Desember 2018 lalu, yang menyapu beberapa wilayah di pesisir pantai Pandeglang mengakibatkan banyak kerusakan baik tempat tinggal ataupun alat pencaharian masyarakat nelayan seperti kapal dan jaring ikan.
Dikatakan Masdi, salah satu nelayan warga Desa Teluk, Kecamatan Labuan, mengungkapkan, saat ini dirinya terlunta lunta tidak dapat bekerja, sebab, satu-satunya alat pencaharian yang ia miliki hancur digusur gelombang tinggi tsunami.
“Berpuluh-puluh tahun saya merintis pengen punya kapal, sekarang sudah hancur kena tsunami,” katanya.
“Saya gak tau harus ngeluh kemana, ngomong kesiapa, saat ini mau ikut bekerja melaut tapi harus bergantian, satu kapal bisa lima atau enam orang, kalo memang sudah penuh ya harus nunggu giliran,” katanya.
Ia yang hanya mengakui dapat bekerja sebagai nelayan saat ini belum bisa melakukan apa-apa bahkan untuk makan sehari-hari pun merasa sulit.
Kondisi saat ini, membuatnya merasa seperti mati suri, semenjak dihantam tsunami dirinya tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
“Saya harus mencari usaha kemana, keahlian saya nelayan, selama ini untuk mencukupi keluarga saya dari hasil nelayan, kedepannya gimana, saya ini mau minta kepastian dari pemerintah, kita pengen hidup kembali, saya juga pengen nyekolahin anak, biar pintar-pintar kaya pejabat, saya pengen, saya cuma punya kapal satu dan sudah hancur,” ucapnya.
“Saya warga nelayan meminta kepastian kepada pemerintah dan meminta bantuannya agar hidup kembali, saya tidak tau selanjutnya kaya gimana, mana kapal saya hancur,” sambungnya.
Jumlah perahu yang sedikit membuat banyak kepala keluarga harus bergantian untuk melaut, sebab kapasitas satu kapal nelayan hanya bisa di tumpangi maksimal enam orang saja.
“Akhirnya terlunta-lunta dan tidak bisa melaut, makanya denger anak menjerit pengen jajan pengen ini itu, saya cuma merasakan kesedihan sebagai orang tua sebagai kepala keluarga saya sudah dua bulan menganggur,” jelasnya.
Untuk itu, Ia meminta kepastian dari pemerintah agar dapat segera melakukan tindakan dan membantu para nelayan yang tidak memiliki kapal untuk dapat kembali beraktivitas melaut.
“Kami masyarakat nelayan minta bantuan dari pemerintah, harus ada kepastian, jangan cuma bulan ini atau bulan itu, sudah di data tapi gak jelas tanggapan dari atas (pemerintah-red) belum ada responnya, sudah ada mungkin tiga kali di data diulang-ulang, tapi belum ada realisasinya,” tandasnya. (*/Dave)