Honda Slide Atas

Jangan “Fomo” di Gunung, Pendakian ke Aseupan Perlu Dievaluasi

PANDEGLANG – Tren mendaki gunung kini menjadi kegemaran kalangan muda, khususnya generasi Z.

Aktivitas ini bahkan dianggap sebagai bagian dari gaya hidup “FOMO” (Fear of Missing Out), sehingga banyak gunung di Indonesia, termasuk di Kabupaten Pandeglang, dipadati pendaki setiap akhir pekan.

Fenomena ini terlihat jelas di jalur pendakian Gunung Aseupan via Kadu Hejo, Kecamatan Pulosari.

Gunung yang memiliki ketinggian 1.174 meter di atas permukaan laut (MDPL) tersebut menjadi destinasi favorit akhir pekan bagi para pendaki muda di Provinsi Banten.

Peningkatan kunjungan ke Aseupan terjadi setelah jalur pendakian Kawah dan Curug Puteri di Gunung Pulosari ditutup, serta adanya pembatasan pendakian di Gunung Karang.

Sebagai gunung dengan ketinggian terendah di kawasan pegunungan Aseupan, Karang, dan Pulosari (Akarsari), Aseupan menjadi alternatif utama bagi pendaki yang ingin “muncak” di akhir pekan.

Namun, maraknya pendakian ‘seadanya’ memunculkan masalah baru, terutama terkait sampah dan keselamatan. Plastik kemasan makanan dan minuman kerap ditemukan berserakan di sepanjang jalur pendakian.

Selain itu, banyak pendaki tidak membawa perlengkapan keselamatan dan peralatan darurat dengan alasan pendakian dilakukan secara tektok atau pulang-pergi dalam satu hari.

Padahal, kondisi ekstrem di gunung dan hutan bisa terjadi sewaktu-waktu, sehingga keselamatan pendaki menjadi taruhan.

Persoalan lainnya adalah minimnya pengetahuan teknis pendakian di kalangan para pendaki “FOMO” ini.

Kemampuan bertahan hidup di alam liar, keterampilan menghadapi kondisi darurat, serta keahlian navigasi jalur menjadi pertanyaan besar, mengingat jalur pendakian dapat berubah akibat longsor atau bencana alam lainnya.

Kondisi tersebut mendapat perhatian serius dari pemerhati lingkungan, pengelola kawasan Gunung Aseupan, dan kelompok pecinta alam. Menyikapi hal ini, Himpunan Mahasiswa Pelestari Alam (HIMALA) Universitas Mathla’ul Anwar Banten menggelar diskusi bertajuk Saresehan Lingkungan Hidup yang melibatkan praktisi lingkungan, pemerintah, dan pengelola jalur pendakian.

Koordinator kegiatan saresehan, Hasanudin atau yang akrab disapa Besi, menjelaskan bahwa forum ini penting untuk memberi masukan kepada pengelola dan pemerintah dalam merumuskan aturan dan panduan bagi calon pendaki Gunung Aseupan sebelum melakukan pendakian.

“Kita tahu tidak semua pendaki punya kemampuan mendaki,” ujar Besi, Minggu (10/8/2025).

Di sisi lain, Besi mengakui bahwa pendakian Gunung Aseupan turut mendorong perputaran ekonomi lokal.

Aktivitas ini memberdayakan masyarakat sekitar hutan melalui pemanfaatan jasa lingkungan non-kayu. Namun, ia menilai tetap diperlukan pengayaan pengetahuan bagi pendaki serta penguatan aturan pendakian.

“Agar keselamatan mereka para pendaki ini juga jadi perhatian dan jangan sampai kegiatan ini malah merusak keasrian di Gunung Aseupan,” imbuhnya.

Fasilitator diskusi, Nasrullah, menambahkan bahwa saresehan ini memberi kesempatan bagi pengelola jalur pendakian untuk menerima masukan sekaligus meningkatkan layanan kepada pendaki.

Menurutnya, gunung tidak boleh hanya dipandang sebagai tempat wisata, melainkan juga sebagai sumber jasa lingkungan yang harus dilindungi.

“Fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati sebagai penyeimbang hutan, serta fungsi hidrologis yang perlu dijaga, jangan sampai kegiatan pendakian malah membuat keseimbangan alam terganggu,” kata Nas.

Gunung Aseupan sendiri merupakan habitat alami berbagai satwa penting, seperti macan tutul (Panthera pardus), beberapa jenis elang, primata, serta hewan terestrial lainnya.

Dari kawasan pegunungan ini, mengalir pula daerah aliran sungai besar seperti Cisanggoma dan Cipunten Agung yang menjadi sumber air penting bagi wilayah sekitarnya.

Melihat potensi sekaligus kerentanannya, evaluasi terhadap tata kelola pendakian di Gunung Aseupan menjadi langkah mendesak.

Kolaborasi antara pemerintah, pengelola, komunitas pendaki, dan masyarakat lokal diperlukan agar kegiatan pendakian dapat berjalan aman tanpa mengorbankan kelestarian alam.

Sementara itu Kepala Dinas Parawisata (Dispar) Kabupaten Pandeglang, Rahmat Zultika berharap kegiatan pendakian di gunung Aseupan ini menjadi salah satu tujuan wisatawan yang berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, namun dengan tidak mengorbankan nilai-nilai konservasi di wilayah itu.

“Jangan mendaki hanya untuk sekedar wisata, jangan jadi pendaki FOMO tapi harus memperhatikan nilai-nilai kelestarian alam,” ujarnya.

Dengan pembenahan aturan, peningkatan kesadaran pendaki, serta dukungan semua pihak, Gunung Aseupan diharapkan dapat terus menjadi destinasi wisata alam yang indah, sekaligus tetap lestari bagi generasi mendatang. (*/ARAS)

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien