Warga Desa Bojongmanik Keluhkan Besarnya Biaya Urus Sertifikat Tanah
PANDEGLANG – Puluhan warga dari sejumlah kampung di Desa Bojongmanik, Kecamatan Sindangresmi, Kabupaten Pandeglang mengeluhkan biaya pembuatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Pasalnya, warga diminta biaya pembuatan hingga jutaan rupiah oleh seorang oknum aparatur desa. Ironisnya, kejadian itu sudah berlangsung sejak tahun 2015 silam.
Salah seorang warga Kampung Numpi, Ahmad Patori menuturkan, besaran biaya yang dipungut oleh oknum desa bervariatif. Dari mulai Rp. 300 ribu, hingga ada yang mencapai Rp. 3 juta.
Dirinya menceritakan, mulanya warga di kampungnya tidak mengetahui bahwa proses pembuatan program yang dulu dikenal dengan nama Prona itu gratis.
“Warga baru tahu saat Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Pandeglang awal Oktober lalu. Saat itu, Kepala Negara secara simbolis memberi bantuan sertifikat tanah ke ribuan penerima,” tuturnya kepada awak media.
Meski sudah menyetorkan sejumlah uang sejak tahun 2015, namun sampai saat ini sertifikat yang diharapkan belum juga muncul. Padahal warga dijanjikan akan selesai dalam waktu 6 bulan.
“Setelah dibagikan presiden, sertifikat itu dikembalikan lagi karena belum ditanda tangani dan diberi stempel BPN (Badan Pertanahan Nasional). Janjinya, sertifikat itu akan selesai dalam waktu 1 minggu. Tetapi sampai sekarang belum ada juga,” keluhnya.
Perihal adanya pungutan liar yang dilakukan oleh oknum desa lanjut Patori, warga sudah menanyakan langsung ke oknum bersangkutan. Namun jawaban yang diberikan tidak memberi pencerahan terhadap warga.
“Warga juga sudah menyampaikan ke BPN, namun telah ditegaskan bahwa BPN tidak pernah memungut biaya,” katanya.
Senada dengan warga lainnya dari Kampung Tarikolot, Nana Sujana. Ia menyebutkan, panitia PTSL melakukan pemungutan biaya kepengurusan dalam dua tahap. Mulanya, warga diminta uang muka lalu sisanya dibayarkan saat sertifikat telah diterima.
“Saya sudah bayar Rp. 400 ribu, yang diminta Rp. 700 ribu. Sisanya nanti kalau sudah ada sertifikatnya,” ucapnya kesal.
Jelas saja, akibat hal itu warga dibuat merugi. Oleh karena itu, warga telah melaporkan kasus tersebut ke Polres Pandeglang agar bisa diselidiki secara hukum. Sebanyak 72 warga dari 9 kampung telah menyatakan kesiapannya untuk memberi keterangan apabila dibutuhkan.
“Saya dan warga lain merasa ditipu, jelas sekali ini merugikan kami,” seru Nana.
Saat dikonfirmasi, mantan Kepala Desa Bojongmanik yang kembali terpilih dalam. Pilkades lalu, Sukri membantah tudingan tersebut. Dengan nada yang meninggi, ia bergeming bahwa program PSTL tidak pernah dipungut biaya. Apalagi ia mengklaim bahwa pihaknya sudah memberi sosialisasi terkait tata cara pembuatan PSTL.
“Ini pengaduannya lengkap tidak? Kalau ada laporkan ke saya. Kalau yang dipungut biaya, bukan dari Bojongmanik, tetapi luar Bojongmanik,” sanggahnya.
Hanya saja, Sukri mengaku bahwa pihaknya memberlakukan biaya untuk sebatas pembelian materai dan fotokopi. Ketika ditanya alasan pemungutan biaya itu, dirinya justru menyarankan awak media untuk menanyakan langsung ke panitia. Sukri pun menantang warga yang merasa dirugikan untuk melaporkan ke Kantor Desa.
“Tanya saja ke panitia biar lebih jelas. Bawa saja orangnya yang bilang biaya sertifikat Rp. 3 juta ke sini. Bawa orangnya. Saya tidak mau berandai-andai,” cetusnya.
Selain Kampung Numpi dan Tarikolot, kampung lain yang juga dipungut biaya kepengurusan PSTL, meliputi Kampung Masjid, Lapangan, Jabing, Cikupaeun, Gayong, Tanjung Jaya, dan Kampung Gebang. (Gatot)