Aroma Politis Dibalik Penolakan Full Day School
Oleh: Abdul Azis Muslim, M.SI.
Beberapa hari terakhir ini marak aksi demo di beberapa daerah menolak kebijakan yang diistilahkan dengan Full Day School (FDS).
Padahal sebenarnya tidak ada kebijakan Mendikbud soal FDS. Yang ada hanyalah kebijakan Permendikbud No 23 tahun 2017 berkaitan hari sekolah, dimana jam belajar sekolah ditambahkan menjadi 8 jam dan jumlah hari sekolah menjadi lima hari dalam seminggu. Jadi jam belajar siswa yaitu 8 jam perhari, x 5 hari= 40 jam belajar sama dengan jam kerja guru PNS.
Permendikbud ini dilatarbelakangi oleh keinginan mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan era global, maka dipandang perlu penguatan karakter peserta didik melalui restorasi pendidikan karakter di sekolah.
Apakah siswa akan terus belajar 8 jam di kelas sejak pagi hingga sore?? Jawabannya adalah TIDAK. Karena tidak semuanya berupa kegiatan belajar di kelas, tapi lebih banyak di isi dengan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Intrakurikuler lebih kepada pemenuhan kebutuhan kurikulum. Sedangkan penguatan nilai karakter lebih banyak kepada kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler. Kegiatan keagamaan sebagai bagian dari penguatan nilai karakter masuk dalam ekstrakurikuler selain kegiatan krida, karya ilmiah, latihan pengembangan minat dan bakat, seni dan lainnya.
Lalu dimana posisi Madrasah Diniyah dalam kebijakan Permendikbud No 23 tahun 2017 tentang lima hari sekolah? Posisi madin termasuk bagian dari ekstra kurikuler kegiatan keagamaan dalam mendukung penguatan nilai karakter. Permendikbud No 23 tahun 2017 pasal 5 ayat 7 menyebutkan yang dimaksud dengan kegiatan keagamaan meliputi madrasah diniyah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, katekisasi retreat, baca tulis AlQur’an dan kitab suci lainnya. Pasal ini sekaligus menegaskan bahwa posisi Madin dalam kebijakan lima hari sekolah tidak dibuang atau dipinggirkan, justru diakomodir secara kuat oleh pihak kemendikbud. Bahkan dalam beberapa kali kesempatan, Muhadjir Effendi menegaskan bahwa dengan kebijakan akan terjadi sinergi antara sekolah sekolah umum dengan madrasah diniyah yang ada. Bahkan guru-guru madrasah diniyah nantinya akan digaji dari dana BOS.
Mengapa FDS Ditolak?
Tanggal 7 Agustus lalu, PBNU mengeluarkan surat intruksi No 1460/C.I.34/08/2017 yang isinya menyerukan kepada PWNU, PCNU, Pengurus Lembaga NU dan Pengurus Badan Otonom NU seluruh Indonesia untuk melakukan aksi demo menolak kebijakan Menteri Pendidikan dengan apa yang mereka istilahkan sebagai Full Day School (FDS). Alasanya karena kebijakan FDS akan mematikan dan menggerus keberadaan Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren, yang selama ini dianggap sebagai tulang punggung dalam menghadapi persemaian paham-paham radikal. Selain itu, PBNU melalui instruksi ini juga mendesak pemerintah daerah untuk menolak kebijakan FDS, serta mendesak kepada seluruh jajaran struktural NU untuk melakukan upaya-upaya lain di masing masing wilayah untuk melakukan aksi menolak Permendikbud No 23 tahun 2017 tentang lima hari sekolah dan kebijakan yang merugikan pendidikan Madrasah Diniyah. Di akhir surat instruksi, tertulis bahwa aksi-aksi demo itu dilakukan demi menjaga harga diri dan martabat Nahdlatul Ulama.
Penolakan terhadap kebijakan FDS ini tidak terlepas dari perkembangan politik di DPR, dimana sejak 2016, Fraksi PKB sedang mengajukan usulan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren untuk masuk dalam Prolegnas 2017.
RUU ini muncul sebagai inisiatif FPKB dalam rangka memberdayakan dan menguatkan keberadaan Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren yang dianggap sebagai soko guru dan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, yang selama ini dianggap kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Implikasi jika RUU ini dibahas oleh DPR dan disahkan menjadi UU salah satunya berdampak kepada anggaran, dimana akan banyak ribuan pondok pesantren dan madrasah diniyah yang akan mendapat pembiayaan dari negara.
Sebenarnya keberadaan Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren sudah terakomodir dan masuk dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 30 disebutkan bahwa Pendidikan Keagamaan berbentuk Pendidikan Diniyah, Pesantren, Pabhaja, Pasraman, Samanera dan lainnya. Pendidikan keagamaan dikelola di bawah naungan Kementerian Agama. Dalam PP No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan secara lebih lengkap diuraikan sangat detil apa dan bagaimana pendidikan keagamaan yang ada di enam agama tersebut.
Soal penolakan terhadap Permendikbud No 23 tahun 2017, sebenarnya posisinya masih pending. Status hukumnya akan dinaikkan menjadi Perpres. Pembahasan perpres dikoordinasikan oleh Menko PMK Puan Maharani. Jadi posisi mendikbud masih wait and see. Menko PMK yang akan mengkoordinasikan pembahasan secara subtansial. Bagi saudara-saudara kita yang menolak kebijakan Permendikbud No 23 tahun 2017 silahkan disampaikan kepada Menko PMK.
Kembali ke soal RUU Madin dan Pondok Pesantren yang diusulkan FPKB untuk masuk prolegnas. Jadi penolakan kebijakan FDS di satu sisi, dan upaya pengusulan RUU Madin dan Pondok Pesantren yang diinisiasi oleh FPKB dan didukung oleh NU di sisi lain, sangat berkaitan.
Padahal persoalan utamanya bukan apakah perlu atau tidak RUU Madin dan Pontren? Tapi justru persoalan intinya ada di UU Sisdiknas yang harus direvisi dan diperbaiki dalam menata dan memperbaiki secara keseluruhan sistem pendidikan nasional. Karena masih banyak isu-isu lain soal pendidikan yang belum terakomodir di UU Sisdiknas mengingat dinamika perkembangan kemajuan jaman yang ada.
Demo aksi penolakan soal lima hari sekolah, seolah saling berkejaran waktu dengan upaya FPKB memasukkan usulan RUU Madin dan Pontren dalam Prolegnas dengan pembahasan Perpres pengganti Permendikbud tentang lima hari sekolah. Ada kekhawatiran kalau Perpres itu memperkuat kebijakan lima hari sekolah dan sekaligus mengakomodir aspirasi penguatan madrasah diniyah dalam program penguatan pendidikan karakter di sekolah yang juga berimplikasi kepada sisi anggaran, SDM, sarana prasana, maka RUU Madin dan Pontren menjadi tidak penting lagi dibahas. Dan ini secara politis akan sangat merugikan PKB dan NU. Karena ini bisa menjadi komoditas politik untuk pertarungan memperebutkan tiket tiga besar 2019
Keberadaan RUU Madin dan Pontren selain memiliki implikasi anggaran yang sangat besar dan memberatkan postur APBN di saat Presiden Jokowi sedang fokus ke infrastruktur dan negara juga sedang berhemat di tengah situasi dunia yang krisis, nilai dan kepentingan politis dari RUU Madin dan Pontren hanya lebih menguntungkan satu kelompok tertentu ketimbang kepentingan seluruh golongan masyarakat. Jika RUU Madin dan Pontren disahkan, akan banyak ribuan sekolah diniyah dan pesantren yang naik kelas menjadi “sekolah negeri dan pesantren negeri” dalam arti dibiayai APBN yang juga berimplikasi. FPKB sangat berkepentingan RUU ini bisa gol dan disahkan karena nilai politisnya besar dan momentumnya tepat. NU juga berkepentingan RUU ini bisa disahkan karena akan banyak bisa menghidupkan dan memberdayakan pesantren dan madrasah diniyah.
Oleh sebab itu meskipun Muhadjir Effendi sudah melakukan safari ke para tokoh dan kyai besar di Jawa Timur, menjelaskan apa dan bagaimana soal kebijakan pendidikan 5 hari sekolah kaitannya dengan pendidikan karakter, keuntungannya untuk madrasah diniyah dan pesantren, dan para kyai itu bisa memahami dan mengerti.
Bahkan ada yang menyarankan bagi saudara-saudara kita yang menolak Permendikbud No 23 tahun 2017 untuk menempuh jalur hukum, seperti ke PTUN atau ke MA. Tapi tetap saran tersebut tidak bisa diterima dan lebih suka menggunakan aksi demo jalanan untuk menolak kebijakan yang mereka sebut Full Day School (FDS) karena efek dan dampak politisnya lebih besar, apalagi jika – misalnya nantinya- ada berakhir chaos, rusuh, korban meninggal malah bisa dijadikan alasan penekan untuk memaksa pemerintah agar kebijakan itu dibatalkan dengan alasan sudah timbul korban. Padahal ada agenda politis terselubung di balik penolakan kebijakan FDS
Model sosialisasi dan komunikasi kebijakan FDS yang dilakukan menjadi tidak efektif. Pak menteri beserta jajarannya perlu lebih kreatif mencari model baru komunikasi lembaga dan melebarkan peta subyek sosialisasi.
Revisi UU Pendidikan
Seharusnya geger soal penolakan kebijakan lima hari sekolah, bisa dijadikan momentum untuk melakukan revisi kebijakan pendidikan secara lebih komprehensif. Keberadaan UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Pengelolaan kebijakan pendidikan yang masih terbagi di dua kementerian (Kemenag dan Kemendikbud) dianggap tidak efektif. Di Kemendikbud, urusan pendidikan langsung di bawah kontrol kebijakan menteri. Di Kemenag, kebijakan pendidikan di pegang oleh pejabat eselon satu. Hal ini kadang membuat koordinasi kebijakan pengelolaan pendidikan di Kemendikbud dengan Kemenag tidak sinkron.
Hal ini terbukti dengan kurang berkembangnya pengelolaan lembaga pendidikan keagamaan dib awah naungan Kemenag. Sangat jarang sekolah-sekolah di bawah naungan Kemenag yang memiliki reputasi dan prestasi nasional bahkan internasional. Sekolah-sekolah agama di bawah naungan Kemenag masih agak dipandang sebelah mata, sebagai sekolah kelas dua dibanding sekolah umum karena memang dari sisi prestasi dan reputasi kurang begitu menonjol. Yang justru terjadi sekarang malah sekolah-sekolah umum bermetamorfosis menjadi sekolah umum plus yang bercirikan keagamaan seperti Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), SMP Islam Terrpadu (SMPIT) SMA IT. Sementara yang sekolah agama (madrasah) mulai masuk ke ranah umum sehingga menjadi Madrasah Plus yaitu sekolah agama tapi muatan pelajaran umum (sains) juga sangat kuat. Tapi yang lebih banyak SDIT, SMPIT, SMAIT ketimbang MI Plus, MTS Plus dan lainnya
Apa yang menjadi aspirasi saudara kita soal perlunya penguatan madin dan pontren, bisa dimasukkan dalam revisi UU Sisdiknas, termasuk soal penguatan pendidikan karakter di sekolah. Soal penjurusan di Sekolah kejuruan dan pendidikan vokasi yang menurut presiden jokowi sangat monoton, begitu saja dianggap tidak cukup mampu menjawab dan memenuhi tantangan zaman.
Kedepan, nilai ajaran agama memang masih akan dibutuhkan terus menerus oleh siswa untuk pembentukan karakter siswa. Akan tetapi sekolah agama belum tentu tetap dibutuhkan karena muatan nilai pelajaran agama tidak hanya bisa diperoleh dari sekolah agama. Oleh sebab itu tantangan kedepan bagaimana sekolah-sekolah agama seperti madrasah diniyah, pesantren, TPA TPQ bisa dikelola sebaik mungkin, tidak hanya dari sisi pengelolaan manajerial, tapi juga dari sisi subtansi material pembelajaran (kurikulum, SDM, sarana prasarana) juga ditingkatkan. Dan itu muaranya adalah perlunya ada reformasi kebijakan pendidikan nasional secara lebih menyeluruh.
Terjebak dalam permainan politik penolakan kebijakan Full Day School tanpa menyelesaikan persoalan dasar pada Sisdiknas akan sangat kontraproduktif dan berpotensi mengadu domba dua ormas Islam terbesar di Indonesia. NU dan Muhammadiyah (*)
Sumber : Kanigoro.com