PB PII Akan Gugat Program Organisasi Penggerak Kemendikbud
JAKARTA – Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) dalam waktu dekat bersiap layangkan gugatan ke Mahkamah Agung terkait program organisasi penggerak (POP), hal tersebut menyusul akan dilangsungkannya POP yang menuai polemik panjang.
“Bagaimana seleksinya, apalagi di tengah pandemi Covid-19 ini. Kami lihat pelaksana yang ditunjuk bukan yang selama ini kami kenal dan ketahui sepak terjangnya. Adakah lembaga (ormas atau organisasi profesi) sebaik NU dan Muhammadiyah dan PGRI yang lebih kompeten dalam hal pendidikan?,” tanya Husin Tasrik Makruf Nasution Ketua Umum PB PII, Sabtu (25/7/2020).
“Di tengah kesulitan siswa mendapat fasilitas dan akses pembelajaran. Negara malah membiayai program yang tidak menunjukan keberpihakan. Sikap kami tegas, agar program tersebut dibatalkan,” tandasnya.
Husin menambahkan, program tersebut tidak menjadi solusi shortcut pada permasalahan yang dihadapi para guru dan murid saat ini. Padahal presiden telah berulangkali agar kebijakan yang dilakukan harus Extraordinary.
Husin menilai Mendikbud saat ini masih menjalankan program seperti biasanya. Hampir di semua Dirjen di Kemendikbud masih menjalankan program yang tidak berorientasi pada permasalahan inti. Salah-satunya program POP.
“Menurut kami, Persekjen No. 3 Tahun 2020 yang menjadi dasar program POP bertentangan dengan Permendikbud No. 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana) pasal 11. Dalam keadaan bencana, tidak ada kewajiban Kemendikbud meningkatkan kapasitas guru, yang ada adalah memberikan bantuan pemulihan warga Satuan Pendidikan yang terkena bencana agar dapat kembali ke dalam kehidupan normal,” tambah Husin.
Pihaknya merasa miris karena di awal semester tahun ajaran baru 2020/2021 ini hambatannyata masih dialami banyak siswa, mulai dari kendala tidak memiliki smartphone secara pribadi dan tidak ada akses internet, bahkan belum mendapat akses listrik.
Husin menjelaskan, terdapat lebih dari 46 ribu sekolah yang tidak dapat menjalankan PJJ daring tersebut. Ini terjadi mayoritas di daerah pelosok, pegunungan, khususnya di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan.
Keterbatasan terhadap akses internet, listrik, tidak punya smartphone atau komputer membuat pembelajaran dilakukan dengan metode guru berkunjung ke rumah siswa atau luring. Tetapi metode itu tidak efektif, sebab jumlah guru tak memadai jika harus melayani semua siswa satu per satu.
“Ini problemnyata, telah diakui oleh Kemendikbud sendiri di banyak kesempatan. Lalu solusinya tidak pernah terdengar ada kebijakan extraordinary,” jelas Husin.
Husin menambahkan, pemerintah punya tanggungjawab memenuhi hak warga negara akan pendidikan sebagaimana amanah Undang-undang Dasar.
“Jangan dibiarkan loss generasi. Ada ribuan saudara kami para pelajar yang tinggal di pelosok desa kondisinya kurang beruntung dan tidak mengikuti kegiatan belajar secara layak,” pungkas Husin.
Sementara itu, Komandan Koordinator Pusat Brigade PII Sureza Sulaiman yang juga penanggung jawab satgas Covid-19 BPII, mengatakan permasalah utama yang sedang dihadapi adalah tingginya ketimpangan ekonomi dan pendidikan di tengah masyarakat, sehingga menyebabkan terhambatnya proses pembelajaran bagi peserta didik. Menurutnya peran Kemendikbud harus Extraordinary.
“Peran Kemendikbud, harus lebih Extraordinary dalam merespon persoalan,” kata Sureza.
Sureza mengusulkan, pemerintah mengeluarkan perpres tentang alokasi khusus anggaran darurat pendidikan selama wabah Covid-19. Kemudian Kemendikbud dan dinas pendidikan tingkat Daerah mendata dan merelokasi anggaran untuk menyelesaikan permasalahan kendala yang dialami para guru dan siswa.
“Kondisi darurat di sektor pendidikan ini belum mendapat perhatian masyarakat luas jika dibandingkan dengan isu ekonomi akibat pandemi.” tambah Sureza.
Menurutnya masih banyak pemangku kepentingan di sektor pendidikan yang belum sepenuhnya menyadari bahwa penutupan kegiatan sekolah berimbas pada terbatasnya pembelajaran bagi murid dalam kondisi yang kurang beruntung.
“Tanpa penerimaan fakta bahwa telah terjadi kondisi darurat di sektor pendidikan pada masa pandemi ini, tidak akan ada pula upaya yang lebih sistematis untuk mengatasi permasalahan. Jika dibiarkan berlarut-larut, maka disparitas kesenjangan kualitas pembelajaran dan pendidikan kita makin besar,” pungkas Sureza. (*/Red/Net)