Oleh: Iswandi Syahputra
ORANG-orang yang dulu membully Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah hingga membawa jilbab sebagai identitas religiusnya, sekarang kenapa tidak membully Miryam S Haryani Inisiator Gadis Ahok? Padahal keduanya sama-sama tersangka KPK untuk kasus korupsi.
Hal ini dapat dibaca sebagai:
1) Sikap netizen di media sosial adalah praktik politik kepentingan. Jadi khalayak netizen jangan mudah terbawa arus opini sebab mungkin saja ada agenda tersembunyi di balik bully membully itu.
2) Kebencian itu menular dengan cepat jika disuarakan dengan massif melalui media sosial. Apalagi bila menggunakan seleb, seperti musisi, seniman atau artis bahkan agamawan. Mereka inipun mungkin tidak sadar lagi ‘dipakai’ sebagai baut atau skrup kecil dalam mesin besar pencetak realitas.
3) Ini yang gawat, kebencian sosial yang terbangun bukan pada perilaku korupsinya, tapi pada kelompok atau identitas religius (dalam hal ini Islam). Karena pelaku dari kelompok berbeda, bergegas dibully, demikian juga jika pelakunya membawa identitas Islam. Kasus Ridho Rhoma dan Iwa K menunjukkan itu juga.
Ini berlangsung lama sejak sebelum 2010. Opini jahat karena menyebar kebencian berbasis identitas tersebut diam-diam merasuki fikiran orang. Khalayak mudah dirasuki karena kebencian itu ditutupi oleh topeng kebaikan: Koruptor adalah musuh kita bersama.
Saat topeng itu dibuka, mana suara koruptor adalah musuh kita bersama untuk pelaku Miryam?
Kasus ini membawa kita sebagai netizen untuk paham bahwa tidak cukup literasi (kecerdasan) untuk mengarungi lautan media sosial. Dibutuhkan juga kecerdikan untuk memahami realitas virtual. Inilah dunia post-realitas. (*)
*Penulis adalah Pengamat Sosial dari UIN Sunan Kalidjaga Yogyakarta.
Sumber: Kanigoro.com