Gerakan Daerah Istimewa Banten Sebaiknya Berkaca Pada Kebijakan dan Kiprah Hamengkubuwono IX

Dprd ied

CILEGON – Lahirnya gerakan yang ingin menjadikan Banten menjadi Daerah Istimewa dalam beberapa tahun belakang ini, ada baiknya melihat keadaan pada internal Banten sendiri dan berkaca pada daerah yang memang sudah Istimewa.

Dengan sudah tidak adanya Keraton Surosowan yang keberadaannya dulu merupakan simbolisme Kesultanan Banten yang sudah diruntuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad 19 lalu, maka mulai pudarlah tata cara adat keraton dalam mengayomi kehidupan masyarakat. Dan bila melihat kultur dan sosiologi masyarakat Banten sekarang, walau di beberapa wilayah di Banten dalam moment-moment tertentu masih menjaga dan melestarikan warisan-warisan adat Kesultanan Banten seperti Debus dan yang bernuansa religius Panjang Maulid, namun secara umum kehidupan masyarakat Banten sudah banyak meninggalkan kesakralan tata cara adat kehidupan pada masa-masa Kesultanan Banten sebagaimana Keraton Mataram di Jogja.

Terlepas adanya konstelasi dan perubahan dalam Internal keraton Jogjakarta dalam beberapa tahun belakangan ini, namun patut dan perlu kita belajar dari sosok Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menjadikan Jogjakarta menjadi daerah Istimewa, apalagi soal kedaulatan dan martabat, mengingat era demokrasi yang mengadopsi sistem dari barat ini justru melahirkan hiruk-pikuk berkepanjangan dalam masyarakat kita sekarang.

Mungkin bagi warga Negara Indonesia khususnya DI Yogyakarta yang berusia diatas 50 tahun, tentu bisa mengenang kiprah almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau adalah Raja Kasultanan Yogyakarta, Kepala Daerah DIY, mantan Wakil Presiden RI, pejuang dan pahlawan negara. Ini adalah ayah dari Sri Sultan HB X yang saat ini memerintah. Almarhum Sultan HB IX dikenal sebagai pemimpin yang amat sangat merakyat dan dicintai rakyat. Beliau sering blusukan ke pasar-pasar bukan untuk cari dukungan, tapi ingin membantu warga miskin. Beliau sudah kaya dan terhormat dari lahir sehingga tidak butuh pencitraan.

Sejarah mencatat, beliau punya peran besar dalam kemerdekaan RI dan upaya mempertahankan kemerdekaan. Sampai-sampai beliau dan Bung Karno berinisiatif memindahkan ibukota ke Jogja untuk mempertahankan kemerdekaan, serta beliau membangunkan gedung Istana Negara di Yogyakarta (sampai sekarang masih ada gedungnya, disamping Malioboro, seberang Benteng Vredeburg).

Sejarawan mencatat, beliau beberapa kali ditawari menjadi Presiden dan beberapa kali berkesempatan menjadi Presiden tapi beliau tidak mau. Beliau hanya sekali menjadi Wapres (jaman Soeharto) dan itupun hanya satu periode dan setelah itu tidak mau lagi dipilih. Kecintaan warga DIY terhadap almarhum sangat tinggi. Wajar ketika beliau wafat tahun 1988, sepanjang jalan dari Keraton hingga Imogiri Bantul (tempat pemakaman) dijejali para pelayat. Diatas 500 ribu pelayat. Guiness Book Of International Record mencatat peristiwa itu sebagai jumlah pelayat terbanyak di dunia yang pernah ada. Koran dan media besar nasional pun menjadikannya sebagai topik bahasan utama: perginya pemimpin besar, pembela rakyat nan sejati.

Bila menilik kebijakan dan keputusan rezim pemerintahan sekarang yang cenderung pro China atau etnis Tionghoa, kita warga banten juga mesti berkaca dari Sri Sultan HB IX karena yang menarik dari beliau ialah sikapnya terhadap warga keuturuan Tionghoa. Belau orang yang sangat humanis dan tidak membeda-bedakan, namun urusan kebijakan pemerintahan beliau sangat tegas. Salah satu aturan peninggalan beliau ialah melarang warga keturunan Tionghoa untuk memiliki tanah di Jogjakarta, dalam artian tanah sebagai hak milik. Warga keturunan hanya boleh punya Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan.

dprd tangsel

Dan aturan ini sampai sekarang masih berlaku di DIY, dan ini salah satu keistimewaan DIY. Aturan itu lahir karena ada sejarahnya. Yakni pada saat tahun 1948, atau tahun-tahun saat mempertahankan kemerdekaan RI, sejarah mencatat bahwa etnis Tionghoa lebih memilih membantu pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia ketimbang ikut berjuang bersama elemen bangsa lainnya untuk mengusir Belanda. Dalam sejarah, ini dicatat sebagai Agresi Militer II Belanda, yakni Desember 1948. Saat itu komunitas Tionghoa yang ada di Jogja justru berpihak dan memberikan sokongan ke Belanda yang sebelumnya sudah menjajah Indonesia 350 tahun.Sejak itulah Kanjeng Sultan Hamengkubuono IX kemudian mencabut hak kepemilikan tanah terhadap etnis Tionghoa di Yogyakarta. Tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah, komunitas Tionghoa akan eksodus dari Yogyakarta.

Namun Kanjeng Sultan HB IX masih berbaik hati dan menenangkan ke mereka bahwa meskipun mereka telah berkhianat kepada Negeri ini tetapi tetap akan diakui sebagai tetangga. “Tinggallah di Jogja. Tapi maaf, saya cabut satu hak anda, yaitu hak untuk memiliki tanah”.Itulah kenapa hingga sekarang ini pengusaha Tionghoa tidak punya hak milik atas tanah di berbagai pusat bisnis di kota Jogja. Mereka hanya bisa punya hak guna atau hak pakai sampai jumlah tahun tertentu.

Hal ini diperkuat bahwa pada 1975, Paku Alam VIII menerbitkan surat instruksi kepada bupati dan wali kota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah kepada warga negara nonpribumi. Surat ini masih berlaku.Surat instruksi tersebut mengizinkan warga keturunan memiliki tanah dengan status hak guna bangunan (HGB), bukan hak milik (SHM). Bila tanah tersebut sebelumnya dimiliki pribumi, lalu dibeli warga keturunan, maka dalam jangka tahun pemakaian tertentu tanah itu status kepemilikannya dialihkan pada negara.

Tahukah anda kalau kalangan investor dan cukong sudah beberapa kali menggugat aturan itu dan mengadukan hal itu ke Presiden. Dalihnya ialah aturan itu dianggap rasis dan tidak adil. Dan para penggugat itu biasanya menyuruh dan mendanai LSM. Namun oleh Mahkamah Agung tetap tidak dikabulkan karena hal itu bagian dari keistimewaan DIY.

Begitulah almarhum Sri Sultan HB IX yang visioner, tahu bagaimana mencintai dan menjaga negerinya. Beliau tahu bagaimana berbuat baik kepada sesama dan mengambil pelajaran dari berbagai kejadian/sejarah. Setiap membaca biografi beliau saya selalu terharu, merindukan pemimpin berkharisma, tidak ambisi kekuasaan dan harta, mencintai rakyatnya dengan tulus bukan karena pencitraan, dan hidupnya penuh kesederhanaan.Semoga Sang Pencipta memuliakan kubur beliau, mengampuni segala dosanya dan menerima semua amal kebaikannya. Aamiiin !!

Nah, loh… Dulur-dulur, Adakah figur pemimpin seperti beliau di Banten…?
Mungkin yang ngaku keturunan mah banyak, banyak pula mantan Gubernur Banten yang masuk bui. Masih yakin tah lur, Banten dadi Daerah Istimewa ???

 

 

Penulis: Ilung (dari berbagai sumber)

Golkat ied