Oleh : Ahmad Basori (Pemerhati Sosial Politik)
Evaluasi pemilihan kepala daerah langsung telah dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di sela-sela rapat dengan komite DPD RI di Senayan. Tito mengatakan biaya yang cukup tinggi, kerawanan konflik dalam Pilkada langsung menjadi alasan Pemilukada langsung perlu dievaluasi.
Lalu Tito mengusulkan sebagai jalan tengah adalah Pemilukada asimetris. Pilkada asimetris yang dimaksud adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya.
Misalnya, seperti di DKI Jakarta yang walikota dan bupati tidak dipilih melalui Pilkada. Hal tersebut dikarenakan status daerah tingkat II di DKI Jakarta bukanlah berstatus daerah otonom tetapi sebagai daerah pembantu. Kondisi ini membuat posisi walikota dan bupati ditentukan oleh gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Begitu pula dengan daerah-daerah yang memiliki kerawanan konflik yang tinggi maka dapat dilaksanakan Pemilukada tidak langsung.
Langkah Tito untuk mengevaluasi Pemilukada langsung merupakan langkah maju dan rasional. Pasalnya konsep-konsep demokrasi yang diterima oleh bangsa ini bukanlah konsep yang sempurna dan final yang tidak memerlukan sebuah evaluasi.
Keberhasilan sebuah negara dalam menerapkan sistem demokrasi tidak jumud hanya pada kriteria Pemilukada langsung. Sehingga negara yang tidak melaksanakannya dianggap atau tidak sempurna demokrasinya. Kriteria itu sebenarnya relatif saja karena penerapan demokrasi di berbagai negara tidaklah sama. Demokrasi menyesuaikan dan berinovasi sesuai dengan pengalaman sejarah dan nilai-nilai yang dianutnya.
Jika kenyataannya Pemilukada tidak mampu mendatangkan kedaulatan rakyat dan tidak mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan maka meninggalkan konsep itu tidaklah salah. Tidak perlu khawatir akan turunnya angka-angka indeks kemajuan demokrasi dunia atau khawatir akan diberikannya label sebagai negara yang tidak demokratis. Pemilukada sudah berjalan 15 tahun lamanya rakyat hanyalah dijadikan alat untuk memperoleh kuasa. Rakyat sama sekali tidak berdaulat, Robert Dahl berani mengkritik demokrasi yang berjalan saat ini hakikatnya adalah oligarki.
Pemilukada Langsung yang berbiaya tinggi telah telah membuat calon kepala daerah mengumpulkan dana dari berbagai sumber, terutama yang memiliki uang. Dampaknya saat kepala daerah menduduki kursi kepala daerah yang berdaulat sebenarnya bukanlah rakyat tetapi segelintir orang yang memiliki modal. Harapan Abraham Lincoln agar pemerintahan tetap berada ditangan rakyat, dari rakyat, untuk rakyat “Goverment Of The People, by The People, For The People” tampaknya hanya tinggal harapan.
Pemilukada yang berbiaya tinggi seharusnya dapat melahirkan kepala daerah yang berintegritas dan tidak korup. Kenyataannya dari data kompas 7 oktober 2019 terdapat 119 kepala daerah yang korupsi sejak tahun 2002 lembaga anti rasuah itu berdiri. Tingginya tingkat korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah salah satunya disebabkan oleh pemilukada yang berbiaya tinggi. Calon kepala daerah mesti keluar uang Rp30 miliar untuk bertarung dalam Pemilukada Langsung sedangkan gaji dan tunjangan kepala daerah dalam satu periode itu hanya Rp12 miliar. Maka wajar setelah berkuasa yang dikerjakan bukanlah mensejahterakan rakyat tetapi bagaimana mengembalikan modal dan mendapatkan keuntungan dari modal yang telah dikeluarkan.
Persoalan yang lainnya yang sangat penting untuk dievaluasi adalah Pemilukada langsung telah merusak moral rakyat. Politik menghalalkan segala cara ala Macheavelli yang dimainkan oleh elit politik telah menular dan menjalar ke konstituennya. Kejujuran, kesopanan, keakraban mengikis digantikan sifat saling curiga, emosi, permusuhan, cacian dan makian. Politik dimainkan tanpa adanya hubungan yang hamonis dengan sebuah etika.
Para politisi tidak serius memberikan pembelajaran politik kepada konstituennya. Para elit politik tidak membuat rakyat menjadi pemilih yang rasional. Para elit telah membentuk rakyat menjadi pemilih yang pragmatis, memilih bukan karena program dan track record tetapi karena sedikit uang yang diberikan. Dampaknya demokrasi yang berlangsung tidak berkualitas dan prosedural semata.
Pemilukada langsung memang harus sudah dievaluasi. Dengan biaya yang mahal pemilukada tidak sebanding dengan kebermanfataannya. Pemilukada dalam praktek perjalanan bangsa ini terbukti tidak cocok untuk negara yang masih berkembang dan memiliki pendapatan perkapita yang rendah. Diperlukan keberanian riset yang mendalam agar demokrasi yang berjalan sesuai dengan nilai-nilai dan cara pandang bangsa ini.
Mengembalikan Pemilukada langsung kepada pemilukada tidak langsung bukanlah sebuah kemunduran para elit politik, pemikir dan ilmuwan politik mesti melihat persoalan ini secara jernih. Diperlukan politik bermental tinggi untuk meninggalkan kepentingan individu dan golongan semata. Kepentingan bersama untuk membawa demorkrasi yang dijalankan dapat membawa kesejahteraan dan menghadirkan keadilan. Perjalanan pemilukada selama 15 tahun telah mengajarkan kepada bangsa ini bahwa pemilukada langsung hanya bagus secara teori namun secara praktek di lapangan sangat buruk sekali. (***)