Pakar Hukum: Kasus Pemerkosaan Bukan Delik Aduan, Polres Serang Kota Keliru Membebaskan Pelaku
SERANG – Polres Serang Kota mengakui telah membebaskan dua tersangka pelaku pemerkosaan terhadap gadis gangguan mental berinisial Y yang sebelumnya sempat ditahan. Kedua tersangka tersebut yakni, EJ (39) paman korban dan SM (46) tetangga korban.
Kasus pemerkosaan gadis dengan gangguan mental itu terungkap oleh Satreskrim Polres Serang Kota pada tanggal 25 November 2021.
Kasus ini disoroti banyak pihak karena menimpa perempuan tak berdaya yang mengalami keterbelakangan mental. Namun siapa sangka, ujung dari kasus ini ternyata berakhir damai di tangan Polres Serang Kota.
Saat ini korban Y sendiri diketahui tengah hamil, buah dari nasfu bejat kedua pelaku.
Menurut polisi, korban Y yang sebelumnya melapor telah mencabut laporannya. Namun pakar hukum dan aktivis menilai bahwa penanganan hukum oleh Polres Serang Kota tidak tepat dan mencederai martabat perempuan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya, menjelaskan bahwa kasus pemerkosaan merupakan delik murni, bukan delik aduan.
“Jadi meskipun pelapor mencabut laporannya, polisi wajib terus melanjutkan proses hukumnya,” ujar Halimah kepada wartawan, Selasa (18/1/2022).
Menurut Halimah, dalam hukum pidana, pemeriksaan perkara yang bergantung pada aduan korban hanya berlaku pada delik aduan (klacht delicten).
“Sedangkan delik perkosaan bukan merupakan delik aduan. Terlebih lagi, korban dari kejahatan ini adalah perempuan disabilitas yang merupakan bagian dari kelompok rentan,” tegasnya.
Pakar hukum ini menilai ironis apabila Polres Serang Kota tidak melanjutkan proses hukum kejahatan perkosaan itu, lantaran pelapor sudah mencabut laporannya.
Dia juga menyikapi keanehan dari pencabutan laporan korban. Dimana faktornya adalah karena korban telah dinikahkan dengan salah seorang pelaku.
“Justru seharusnya dilakukan penyelidikan lebih lanjut terkait hal apa yang melatarbelakangi pelapor mencabut laporannya, apakah pelapor mengalami tekanan, ancaman, dan lain sebagainya,” jelas Halimah.
“Korban yang saat ini telah dinikahkan dengan pelaku perkosaan, tidak dapat dipandang sederhana sebagai bentuk pemulihan situasi pasca terjadinya tindak pidana,” imbuhnya.
Gadis dengan gangguan mental yang menikah setelah diperkosa, menjadi pertanyaan yang seharusnya didalami oleh penyidik kepolisian.
“Restorative justice tidak diterapkan dengan tujuan memposisikan korban untuk menjadi korban kedua kalinya. Perkawinan idealnya dilaksanakan atas dasar kehendak dari kedua belah pihak, dengan tujuan untuk kebahagiaan bersama. Lantas apakah perkawinan antara pelaku dan korban perkosaan adalah perkawinan yang dikehendaki korban?” tegas Halimah.
“Jangan sampai situasi ini terjadi lantaran korban disudutkan dan membuatnya mengikuti pilihan yang sebenarnya korban tidak kehendaki,” imbuhnya lagi.
Ditegaskan Halimah, bahwa hukum harus tampil memberikan perlindungan yang cukup bagi korban, sebagai bentuk perlindungan negara atas warga negaranya.
“Jika seperti ini, korban telah menjadi korban untuk kedua kalinya karena hukum yang tidak bekerja,” sindirnya.
Sementara di lain pihak, dikutip dari pemberitaan IDN Times, Heri Kartini selaku Ketua RT di tempat tinggal korban dan pelaku, membenarkan bahwa kedua tersangka telah bebas.
Meski mengetahui bebas, namun Ketua RT baru mendengar kabarnya saja, lantaran EJ dan SM tidak pernah muncul lagi di lingkungan tempat tinggalnya.
“Dengar-dengar, Pak (bebas), tapi belum jelas karena saya belum lihat,” kata Heri Kartini pada berita IDN Times, Senin (17/1/2022).
Diberitakan sebelumnya, seorang gadis disabilitas berusia 21 tahun di Kota Serang dipaksa melayani nafsu bejad paman dan tetangganya sendiri selama hampir 2 bulan, sehingga korban pun kini kondisinya hamil.
Kasus tersebut terungkap saat orang tua korban yang juga seorang disabilitas bercerita kepada saudaranya bahwa anaknya telah mengalami kekerasan seksual oleh orang terdekatnya. Pasalnya, korban kerap merasa mual-mual dan muntah. (*/Red)