Peringati Hari Lingkungan dan Laut Sedunia, Pena Masyarakat Soroti Tambang Liar di Baduy dan Pulau Sangiang
SERANG – Peringati Hari Lingkungan dan Hari Laut Sedunia, Pena Masyarakat gelar aksi menyoroti berbagai permasalahan yang ada di Provinsi Banten. Aksi tersebut digelar di persimpangan lampu merah, Ciceri, Kota Serang pada Selasa (8/6/2021).
Ketua Pena Masyarakat, Mad Haer mengatakan bahwa wilayah Suku Baduy memang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah Kabupaten Lebak pada tahun 1990. Hal ini memberikan jaminan adanya perlindungan wilayah hutan adat.
“Namun kita menyadari bahwa implementasinya masih terbata-bata. Kecepatannya berbanding terbalik dengan pengalokasian tanah untuk korporasi berskala besar. Disatu sisi masyarakat kesulitan menetapkan mana saja yang seharusnya menjadi wilayah adat, namun di sisi lain pemerintah yang juga “bergegas” menetapkan wilayah-wilayah untuk kemudian dipetakan sebagai proyek pembangunan dengan segala potensi bencana yang mengikutinya,” ujarnya di sela-sela aksi.
Ia pun menuturkan kasus kerusakan lingkungan di hutan larangan yang berada di Gunung Liman beberapa waktu lalu akibat penambangan liar oleh oknum pengusaha.
“Tentu kita masih ingat tentang tangisan Aki Pulung ketika menceritakan adanya kerusakan di hutan larangan di Gunung Liman. Kerusakan ini karena adanya aktivitas penambangan liar oleh oknum pengusaha. Apa yang disampaikan oleh Aki Pulung harusnya menjadi “peringatan tanda bahaya” bagi kita semua,” kata pria yang akrab disapa Aeng itu.
Menurutnya, masyarakat adat Baduy punya peran yang sangat krusial sebagai penjaga bumi. Kerusakan yang terjadi di wilayah adat Baduy, lanjut Aeng, akan berdampak bukan hanya diwilayah tersebut, tetapi seluruh wilayah Banten hingga Jawa Barat.
“Jika penambangan liar terus-terusan terjadi di wilayah Adat, akibatnya akan terjadi bencana longsor, banjir dan juga pencemaran lingkungan. Bukan hanya wilayah hulu (gunung dan sungai) tetapi akan berdampak juga ke wilayah hilir (laut),” tuturnya.
Selain wilayah Baduy, pihaknya juga menyoroti permasalahan yang ada di Pulau Sangiang.
“Berbeda dengan Masyarakat Adat Baduy, Masyarakat Pulau Sangiang hari ini sedang menghadapi masalah, dimana ke tiga warganya dikriminalisasi oleh pihak perusahaan yang menyatakan bahwa masyarakat tinggal dilahan milik perusahaan. Padahal secara fakta sejarah yang dahulu bermukim di Pulau Sangiang, Desa Cikoneng adalah warga asli keturunan Lampung yang sudah lama bermukim di Desa Cikoneng sejak jaman penjajahan Belanda dan Jepang,” ungkapnya.
“Belum lagi ketetapan wilayah Taman wisata alam yang ditetapkan pada tahun 1991 oleh pemerintah pusat. Dimana pemerintah tidak mengakui adanya masyarakat yang berada di Pulau Sangiang,” tukasnya.
Atas hal itu, pihaknya pun mengajak kepada seluruh elemen agar mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang dinilai aman adanya jaminan hukum dari negara, agar bisa menjalankan peran secara optimal, yaitu menjaga bumi dari ancaman bencana yang tidak diinginkan. (*/Roel)