
SERANG–Pemerintah Provinsi Banten resmi meluncurkan program 1 Desa 1 Sarjana. Program ini tak lepas dari sejumlah kritik.
Program dengan alokasi bantuan keuangan Pemprov Banten sebesar Rp20 juta per mahasiswa ini, digadang-gadang sebagai terobosan untuk mencetak generasi unggul desa dan mendorong mereka menjadi motor pembangunan.
Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sindangheula, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, Amin Rohani, mengatakan program ini perlu dikritisi secara serius agar tidak berhenti menjadi slogan politik tanpa manfaat nyata bagi masyarakat desa.
“Gagasannya bagus, tapi kalau tidak dikawal dengan mekanisme yang jelas, program ini hanya akan menjadi seremonial belaka,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (23/8/2025).
Amin mempertanyakan, jika para mahasiswa yang dibantu dengan bantuan tersebut lulus, apakah mereka akan berkomitmen kembali membangun desa.
“Setelah lulus, apakah sarjana yang dibiayai uang rakyat ini akan kembali ke desa, atau justru meninggalkan desa untuk bekerja di kota, Kalau jawabannya yang kedua, maka desa tidak mendapatkan apa-apa,” tegasnya.
Ketua BPD juga menyoroti aspek keadilan. Ia menilai program ini harus memprioritaskan warga desa yang berprestasi tapi kurang mampu.
Tanpa seleksi yang transparan, kata dia, program justru berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial.
Terlebih, jika program ini hanya dinikmati oleh keluarga yang sudah mampu secara ekonomi, maka sama saja membiayai yang kaya dengan uang rakyat.
“Itu pengkhianatan terhadap tujuan awal,” ujarnya.
Tak hanya soal seleksi, akuntabilitas dana juga disorot. Dengan nominal Rp20 juta per mahasiswa, ia menegaskan perlunya sistem pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Desa, kata dia, wajib dilibatkan dalam pengawasan melalui laporan terbuka yang bisa dipantau publik.
BPD Sindangheula juga mengajukan solusi agar program ini tidak sekadar melahirkan sarjana tanpa arah.
Ia mendorong adanya ikatan pengabdian pasca kuliah. Sarjana penerima program harus kembali menyumbangkan tenaga, pengetahuan, atau ide untuk desanya, baik lewat pemberdayaan UMKM, pertanian, digitalisasi layanan desa, maupun kegiatan sosial lainnya.
“Desa tidak butuh sarjana yang hanya menyandang gelar. Desa butuh orang-orang yang membawa pulang ilmu, gagasan, dan semangat membangun. Kalau tidak ada ikatan pengabdian, program ini rawan jadi proyek politik jangka pendek,” tegasnya.
Dengan sikap kritis ini, Ketua BPD Sindangheula menegaskan bahwa dirinya tidak menolak program.
Sebaliknya, ia mengingatkan bahwa program 1 Desa 1 Sarjana hanya akan punya arti bila benar-benar dijalankan dengan prinsip tepat sasaran, transparan, dan berkelanjutan.
“Jika tidak, program ini dikhawatirkan hanya akan menjadi pencitraan politik yang menguap tanpa meninggalkan dampak bagi desa,” tukasnya. (*/Ajo)
