Wacana Penggabungan Banten dan Jakarta Pasca Ibukota Pindah ke IKN, Mengulang Sejarah Kesultanan Banten?

KPU Cilegon Coblos

SERANG – Pasca disahkannya Undang-undang No.3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara (IKN), dimana Pusat Pemerintahan akan segera berpindah ke wilayah Kalimantan Timur, selanjutnya kini muncul wacana tentang penggabungan Provinsi Banten dan Jakarta sebagai daerah otonom baru ke depannya.

Wacana ini mencuat setelah sejumlah tokoh Banten yang juga pemimpin Ormas Islam yakni Al-Khairiyah dan Mathlaul Anwar, menyampaikan gagasannya tentang penggabungan Banten dan Jakarta menjadi satu provinsi.

Ketua Umum PB Al-Khairiyah Haji Ali Mujahidin pertama kali melemparkan wacana ini melalui siaran persnya kepada awak media, Minggu (8/5/2023).

Ali Mujahidin mengusulkan Provinsi Banten dan wilayah Jakarta perlu digabungkan pasca Jakarta tidak lagi menjadi Ibukota Negara.

Pria yang akrab disapa Haji Mumu itu mengusulkan nama daerah baru yakni Provinsi Banten Jayakarta atau Provinsi BAJA.

Menurutnya, ide dan gagasan penggabungan dua kekuatan daerah ini sudah ada sejak era Presiden Soekarno, dimana tercermin pada proyeksi pembangunan ekonomi maritim di Pelabuhan Sunda Kelapa dan Selat Sunda.

“Sunda Kelapa dan Selat Sunda bisa jadi merupakan proyeksi dan cita cita kekuatan ekonomi kemaritiman yang memang sangat potensial berada di wilayah Banten dan Jakarta. Bahkan, salah satu Kota di Provinsi Banten tepatnya di Kota Cilegon sejak zaman Trikora, Soekarno telah membangun pelopor industri baja nasional dan menjadi pelopor bertumbuh kembangnya industri besar vital dan strategis wilayah Provinsi Banten,” ujar Haji Mumu.

“Hal itu belum termasuk panjang jalur pantai antara teluk Banten dan teluk Jakarta yang jika digabungkan menjadi satu wilayah akan sangat potensial mewujudkan peningkatan program kemaritiman Pemerintahan Joko Widodo. Tentunya akan jauh lebih mudah nantinya dilanjutkan oleh estafet kepemimpinan berikutnya, untuk terus dikembangkan dan dapat mendongkrak perekonomian Nasional dengan cepat,” imbuhnya.

Selain potensi ekonomi, Haji Mumu juga menyebut bahwa penggabungan Banten dan Jakarta, sesuai dengan sejarah masa lalu dimana wilayah Jakarta merupakan bagian dari kekuasaan Kesultanan Banten.

Hal senada yang juga mengungkit sejarah disampaikan oleh Ketua Umum PB Mathlaul Anwar, KH Embay Mulya Syarief.

KH Embay Mulya Syarief mengaku mendukung Banten dan Jakarta menjadi satu provinsi jika Ibu Kota Negara pindah ke Ibu Kota Nusantara IKN di Kalimantan Timur.

“Insyaa Allah siap mendukung. Saya pernah bicarakan wacana tersebut dengan Pj Gubernur sekitar dua bulan yang lalu,” kata KH Embay kepada Fakta Banten, Selasa (9/5/2023).

Tokoh Banten ini mengulas bagaimana sejarah Jakarta dan Banten pada masa kesultanan.

“Jakarta itu semula merupakan wilayah Banten yang dipimpin oleh seorang Adipati yaitu Pangeran Wijaya Kusuma. Ketika Kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda dan kemudian ditetapkan menjadi Karesidenan,” ungkapnya.

Embay menyebut, jika wilayah Kesultanan Banten itu sangatlah luas. di antaranya wilayah Utara berbatasan dengan Kesultanan Cirebon di Pamanukan, di Selatan berbatasan dengan Kesultanan Mataram di Bagelen Banyumas.

“Di Barat berbatasan dengan Kesultanan Palembang Darussalam di Bengkulu. (lihat peta kuno),” terangnya.

Benarkah Banten dan Jakarta punya hubungan sejarah yang sangat erat?

Mengutip artikel dari Wikipedia berjudul Daerah Khusus Ibukota Jakarta, didapati penjelasan tentang sejarah dari masa ke masa tentang status wilayah Jakarta.

Era Jayakarta (1527-1619)

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Bangsa Portugis adalah Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16Surawisesa, raja Sunda sebagai pengusaha awal Sunda Kelapa (sejak 397–1527) meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.

Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan pendudukan Pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527.

Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti “kota kemenangan”, Jayakarta berasal dari dua kata Sanskerta yaitu Jaya yang berarti “kemenangan” dan Karta yang berarti “dicapai”.

Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.

Era Batavia (1619-1942)

Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia.

Sejak era inilah disebutkan kekuasaan Kesultanan Banten terlepas dari wilayah Jakarta, hingga kemudian setelah itu Jakarta berkembang dalam tiga tahap.

Kota Tua Jakarta“, yang dekat dengan laut di utara, berkembang antara 1619 dan 1799 pada era VOC. “Kota baru” di selatan berkembang antara 1809 dan 1942 setelah pemerintah Belanda mengambil alih penguasaan Batavia dari VOC yang gagal yang sewanya telah berakhir pada 1799. Yang ketiga adalah perkembangan Jakarta modern sejak proklamasi kemerdekaan pada 1945. Di bawah pemerintahan Belanda, ia dikenal sebagai Batavia (1619–1949), dan Djakarta (dalam bahasa Belanda) atau Jakarta, selama pendudukan Jepang dan masa modern. (*/Red)

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien