Sejarah Kitab Dala’il Khairat, Pegangan Tradisi Ke-Islaman di Banten
*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)
MEMBACA kitab Dalail Khairat yang lidah orang Cilegon menyebutnya Dula’ilan di Masjid, Langgar atau Mushola pada saat menjelang berbuka puasa di bulan Ramadhan sudah menjadi tradisi dan ritual rutin bagi masyarakat Cilegon dan Banten umumnya di perkampungan.
Namun sepertinya kearifan lokal yang bernuansa Islam ini semakin terkikis oleh modernisasi global.
Padahal, seperti halnya Al-Qur’an, Dalail Khairat ini juga kerap dimusabaqahkan. Apalagi dalam bulan atau momentum Panjang Maulid Nabi Muhammad SAW yang dalam perayaannya setiap bulan Maulid juga diisi dengan membaca Dala’il Khairat ini.
Untuk diketahui, Kitab Dalail Khairat disusun oleh Abu Abdillah Muhammad Ibn Sulaiman al-Jazuliy al-Simlaliy al-Syarif al-Hasani, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam atau Syekh al-Jazuliy. Ia dilahirkan di Jazulah, Marokko, Afrika.
Imam al-Jazuliy belajar di Fas yaitu sebuah kota yang cukup ramai yang terletak tak jauh dari Mesir. Di kota ini pula ia menulis kitab Dalail Khairat yang terkenal itu.
Kitab ini merupakan kumpulan Shalawat dengan beragam versi redaksi. Sebagaimana al-Barzanji , muatan salawat dengan berbagai variannya, sanjungan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan keindahan bahasa.
Adapun sebab musabab Sayyid Muhammad Al-Jazuli mengarang kitab Dalailul Khairat adalah karena pada suatu saat beliau singgah di suatu desa bertepatan dengan waktu (habisnya) sholat dhuhur. Tetapi beliau tidak menjumpai seorang pun yang dapat beliau tanyai untuk mendapatkan air wudlu. Akhirnya beliau menemukan sebuah sumur yang tidak ada timbanya, maka beliau berputar-putar di sekitar sumur dalam keadaan bingung karena tidak menemukan alat untuk menimba air.
Kemudian beliau dilihat oleh seorang anak perempuan kecil yang berusia sekitar tujuh tahun.
Anak itu bertanya kepada Sayyid Muhammad Al-Jazuli.
“Ya syaikh, kenapa anda nampak kebingungan berputar-putar disekitar sumur?”
Syaikh menjawab, “saya Muhammad ibn Sulaiman”
Anak itu bertanya lagi, “Apa yang hendak tuan kerjakan?”
Syaikh menjawab, “Waktu sholat Dhuhurku sudah sempit, tetapi saya belum mendapatkan air untuk berwudlu”
Anak kecil itu bertanya lagi,
“Apakah dengan namamu yang sudah terkenal itu tidak bisa (hanya sekedar) mendapatkan air wudlu dari dalam sumur? Tunggulah sebentar!”
Kemudian anak kecil itu mendekat ke bibir sumur dan meniupnya sekali, tiba-tiba airnya mengalir dan memancarkan di sekitar sumur seperti sungai besar. Kemudian anak kecil itu pulang ke rumahnya, dan syaikh Muhammad pun segera berwudlu dan melaksanakan shalat dhuhur.
Setelah itu Syaikh Muhammad Al-Jazuli bergegas mendatangi rumah anak perempuan kecil itu, sesampainya disana beliau mengetuk pintu.
Anak itu berkata, “siapa itu?”
Syaihk menjawab, “wahai anak perempuanku, saya bertanya kepadamu, saya bersumpah demi Allah swt yang menciptakan kamu dan menunjukkan kepadamu terhadap Nabi Muhammad SAW. Saya hendak menanyakan tentang satu hal, saya mohon kamu mau menceritakan kepadaku dengan apakah kamu bisa mendapat martabat yang tinggi?”
Lalu anak perempuan kecil itu menjawab, “Kalaulah tidak karena sumpahmu, tentulah aku tidak akan menceritakannya. Saya mendapatkan keistimewaan itu karena membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW” .
Setelah peristiwa itu kemudian Syaikh Muhammad Al-Jazuli mengarang kitab Dalailul Khairat di Kota Fas. Sebelum beliau menyebarluaskan kitab itu, beliau mendapat ilham untuk pulang kembali ke tanah kelahirannya. Maka beliau kembali dari Fas ke desa di tepi daerah Jazulah.
Kemudian beliau dengan kesendiriannya itu bertemu Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn Abdullah as-Shaghir, seorang penduduk di pinggiran desa dan beliau berguru Dalail kepadanya. Kemudian Syaikh Muhammad Al-Jazuli melaksanakan kholwat untuk beribadah selama 14 tahun dan kemudian keluar dari kholwatnya untuk mengabdikan diri dan menyempurnakan pentashihan kitab Dalailul Khairat pada hari Jum’at, 6 Rabi’ul Awwal 862 H. Delapan tahun sebelum beliau wafat.
WAFATNYA SANG MUALLIF
Beliau wafat ketika melaksanakan Shalat Subuh pada sujud yang pertama pada tanggal 16 Rabi’ul Awwal 870 H. Beliau dimakamkan setelah waktu Shalat Dhuhur pada hari itu juga di tengah Masjid yang beliau bangun. Sebagian dari keramatnya adalah setelah 77 tahun dari wafatnya beliau, makam beliau dipindahkan ke Marakisy (Maroko). Ketika jenazah beliau dikeluarkan dari kubur, keadaannya masih utuh seperti ketika beliau dimakamkan. Rambut dan jenggot beliau masih nampak bersih dan jelas seperti pada hari beliau dimakamkan.
Makam beliau sering diziarahi oleh banyak orang. Sebagian besar dari peziarah membaca kitab Dalailul Khairat disana, sehingga dijumpai di makam itu bau minyak misik yang amat harum karena begitu banyak dibacakan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, para sahabat, dan keluarganya.
Kisah wangi semerbak adalah sebagian dari sejarah Syaikh Muhammad Al-Jazuli. Sejarah yang lain tentang beliau bahwa para orang shaleh dari berbagai penjuru dari masa ke masa senantiasa membaca dan mengamalkan kitab beliau, yaitu Dalail Al-Khairat.
Akhirnya beliau mendapat predikat sebagai seutama-utamanya orang yang bersama Rasulullah SAW. Kelak karena banyaknya pengikut beliau yang membaca shalawat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Seutama-utama manusia bersamaku pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak membaca shalawat untukku”.
Syaikh al-Khafidh Abu Na’im berkata, “Sejarah besar tentang Syaikh Muhammad Al-Jazuli ini benar-benar sesuai dengan hadits dan fatwa para sahabat tentang membaca shalawat kepada Nabi ini saya telah menukilnya meskipun banyak para ulama yang mengetahuinya secara pasti”.
Wallahu a’lam bish-showab… (*)
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online