Terkait Kasus Pagar Laut Tangerang, Bareskrim Polri Ngotot Tidak Ada Unsur Korupsi

TANGERANG – Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) telah mengirim jawaban atas pengembalian berkas perkara pemalsuan dokumen penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di Desa Kohod, Tangerang ke Kejaksaan Agung. Kasus pemalsuan ini terkait dengan masalah pagar laut.
“Kami sudah membaca dan mempelajari petunjuk P19 dari Kejaksaan. Penyidik berkeyakinan perkara tersebut bukan merupakan tidak pidana korupsi,” ujar Dirtipidum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djuhandhani Rharjdjo Puro di gedung Mabes Polri, Kamis, 10 April 2025.
Sebelumnya, pada 24 Maret 2025, jaksa mengembalikan berkas perkara 4 tersangka kasus pemalsuan HGB di Desa Kohod.
Jaksa meminta agar penyidik Polri menindaklanjuti perkara itu ke ranah tindak pidana korupsi.
Sebab jaksa penuntut umum menganalisis ada sejumlah tindakan melawan hukum dalam penerbitan HGB dan SHM di wilayah laut Desa Kohod itu.
Yakni, pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dan indikasi penerimaan gratifikasi atau suap oleh tersangka.
Jaksa mengindikasikan bahwa penerbitan sertifikat HGB dan SHM di atas perairan laut Desa Kohod digunakan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah dalam pengerjaan proyek pengembangan Kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coastland.
Setelah mendapat petunjuk dari jaksa, Djuhandani mengatakan pihaknya mengadakan diskusi dengan sejumlah ahli, salah satunya BPK. Hasil diskusi yang dilakukan belum ditemukan adanya kerugian negara.
Hal itu mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi No 25/PUU-XIV/2016, Djuhandhani menjelaskan tindak pidana korupsi harus ada kerugian nyata.
Hal itu merupakan konsekuensi hukum dari penghapusan frasa ‘dapat’ dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
Ia menjelaskan, berdasarkan putusan itu, suatu tindak pidana bisa disebut tindak pidana korupsi hanya jika terbukti ada kerugian negara.
Kerugian itu harus dihitung oleh lembaga yang berwenang yakni BPK atau BPKP.
“Itu jawaban kami kepada JPU,” ujar dia.
Di sisi lain, ia menjelaskan jika saat ini Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri juga tengah menyelidiki, apakah memang ada indikasi suap atau pemberian gratifikasi kepada penyelenggara negara dalam penerbitan HGB dan SHM di perairan laut Desa Kohod.
Jika pun nantinya Kortas Tipikor menemukan ada suap atau gratifikasi, Djuhandhani menyebut Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) akan dibuat terpisah. Karena tindak pidananya berbeda.
Jenderal bintang satu itu mengatakan, berdasarkan asas Lex Consumen Derogat Legi Consumt, maka fakta-fakta yang dominan dalam sebuah perkaralah yang digunakan.
“Melihat posisi kasus tersebut fakta yang dominan adalah terkait pemalsuan dokumen dimana tidak menyebabkan kerugian negara terhadap keuangan negara ataupun perekonomian negara,” ujarnya.
Pada prinsipnya ia mengatakan penyidik Bareskrim tetap pada posisi awal yakni menyidik tentang pemalsuan sertifikat.
“Nggak sampai gratifikasi.” ujarnya.
Saat ini polisi sudah menetapkan 4 tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen GHB dan SHM yang terkait dengan masalah pagar laut di Desa Kohot.
Mereka adalah Kepala Desa Kohod Arsin bin Asip, Sekretaris Desa Kohod Ujang Karta,serta dua kuasa hukum dari kantor Septian Wicaksono Law Firm yaitu Septian Prasetyo dan Candra Eka. (*/Tempo)