*) Oleh: Jusman Syafii Djamal
STRATEGI daya saing bertumpu pada upaya menemukan keunggulan produk atau proses berbeda. Memilih untuk berbeda. “Diferentiation” atau “cost leadership” jadi kata kunci. Dengan kata lain, daya saing tumbuh jika kita secara sengaja memilih sekumpulan aktivitas rekayasa, rancang bangun, dan proses pengolahan, untuk melahirkan produk berbeda dengan nilai guna yang unik dan otentik.
“Strategi berarti memilih mana aktivitas atau mana jalan yang tidak dipilih dan dijadikan prioritas,” begitu kata Steve Jobs.
Untuk membangun strategi daya saing, kita bisa melakukan langkah step bystep atau lompatan jauh ke depan. Jika kita kurang sumber daya dalam jangka pendek, kita bisa melakukan langkah bermula dari akhir menuju awal. Dari hilir ke hulu, dimulai dengan melakukan proses ATM: Ambil, Tiru, dan Modi kasi. Lakukan program untuk imitasi, adopsi, dan rekayasa ulang produk yang ada di pasar hanya untuk menguasai konsep teknologi dan kekuatan pasar. Quality cost and delivery.
Tetapi, dalam jangka panjang, kita tak mungkin terus-menerus menjadi follower atau tukang copy paste. Perlu dilakukan proses pendalaman struktur industri. Penguasaan pasar, keahlian merawat dan memodikasi, serta penguasaan jalur distribusi, harus dibarengi dengan langkah untuk menguasai keahlian rekayasa dan rancang bangun.
Dari tukang jahit, makloon, dan perakitan, diperkuat menjadi desainer atau perancang. Dari original equipmentmanufacture ditransformasi menjadi original design manufacture untuk kemudian membangun branding produk sendiri.
Langkah sistematis berkesinambungan untuk industi nasional mampu agar berdiri di atas kaki sendiri ini memerlukan perencanaan dan konsistensi. Diperlukan investasi dan inovasi untuk menjadi unggul dalam kompetisi di pasar domestik maupun international. Investasi memerlukan dukungan perbankan dan insentif fiskal yang memadai.
Keperluan dukungan nansial jangan terus dipandang sebagai ke-manjaan para industriawan untuk dibilang “ingin menyusui” dan tak mau maju-maju. Kalau pada industri international ada proses deregulasi yang memudahkan mereka masuk ke pasar domestik, dengan pelbagai insentif, kenapa untuk industriawan dan pengusaha dalam negeri tak diperbolehkan?
[parallax-scroll id=”9911″]
Amerika pun yang semula memberi keleluasaan pada industri dan perusahaan asing untuk menguasai pasar domestik dan membiarkan industrinya melakukan outsourcing, sebagai upaya mencari lokasi produksi berbiaya rendah, kini menghadapi buah simalakama. Industrinya terus merosot dan lapangan kerja tak tercipta.
Akibatnya, Donald Trump kini menegaskan, “American First”. Dahulukan kepentingan Amerika dengan melakukan proteksi. De-regulasi menjadi Re-regulasi, menata ulang postur dan kebijakan industrialisasinya dengan mengedepankan industri nasional.
Karenanya, sudah saatnya bagi kita untuk tak peduli cemoohan, yang selalu mengatakan bahwa perusahaan Indonesia itu tak bermutu, sekedar tukang jahit dan jago kandang saja.
Anggaplah cemoohan itu sebagai pecut untuk kita bekerja lebih keras. Sebab, penguasaan teknologi ibarat membaca buku yang rumit dan kompleks. Lebih baik dari akhir bab baru masuk introduksi. Ada langkah dan tahap demi tahap yang dilewati. Tiap jenis teknologi memiliki siklus hidup. Ada yang memiliki clock speed cepat, ada yang lambat. Karena pasar tak mungkin menunggu.
Kita memang harus jago kandang. Kekuatan pasar domestik kita memang harus dimanfaatkan untuk menguasai teknologi. Jika kita di awal sudah keluar benteng karena takut dicemooh jago kandang, sama saja seperti pasukan yang menyerahkan jalur logistik pada musuh.
Kita jangan lengah pada perang urat syaraf yang selalu bilang, “Manusia bersumber daya iptek Indonesia kurang banyak, perlu tenaga ahli asing dan waktu lama untuk menguasai teknologi.” Akibatnya, kita tidak percaya diri dan meninggalkan benteng pertahanan, yakni pasar domestik untuk dikuasai produk impor. Kita lantas hanya menjadi penonton dan pembeli. Semua industri dan perusahaan luar negeri pasti mengincar pasar domestik dari 250 juta orang di sini.
Keunggulan produk made in Indonesia hanya mungkin meningkat jika terjadi siklus produksi yang berkesinambungan. Pengalaman memproduksi barang dan jasa yang terus menerus hanya mungkin muncul jika ada interaksi, antara perusahaan dan industri domestik dengan pasar dalam negeri.
Hanya dengan keahlian memproduksi barang dan jasa, kita menemukan lahan subur untuk masuk ke hulu, yakni proses rekayasa dan rancang bangun berdasarkan research and development.
“Competitive strategy is about being different. It means deliberately choosing a diferent set of activities to deliver a unique mix of value,” kata MichaelPorter dalam bukunya, Competitve Strategy.
Karenanya, mengapa kita selalu ragu melakukan investasi pada proses inovasi ? Mengapa kita terus mengolok-olok Industri Nasional dan pengusaha dalam negeri. Kita semua berkata mengkritik adalah pecut untuk maju. Akan tetapi kita jarang menyadari bahwa jika kritik berubah menjadi upaya sistematis berkelanjutan untuk menggebuk dan membully para pekerja Industri yang sedang terengah-engah menghadapi kerasnya persaingan produk import yang masuk seperti air bah ke pasar domestik, kita sebetulnya sedang melancarkan psy war agar semua selalu ragu dengan pilihan mau kemana ?
Ketika Donald Trump Presiden Amerika menjalankan policy “American First”, kita di Indonesia masih terus såja berdebat ini salah itu keliru. Saling menarik tali kolor yang hendak maju melangkah.
Di malam ke 25 Ramadhan ini kita berdoa : “Ya Allah mudahkanlah jalan bagi Bangsa Indonesia membangun kekuatan industrinya sendiri”. Jauhkan kami dari kebangkrutan fikiran, sebab kami menyadari fikiran yang bangkrut mengkerut jauh lebih berbahaya dari mereka yang menyerah, mundur teratur, putus asa karena bangkrut usahanya.
Jika ada yang keliru, mohon dimaafkan, Salam. (*)
*) Penulis adalah Komisaris Utama PT Garuda Indonesia (Persero)