Jakarta – Pemerintah dan pengembang diingatkan tidak bergantung pada material properti biasa seperti batubata ataupun material sejenisnya dalam membangun rumah. Pasalnya, ada potensi bahan baku lain, seperti kayu dengan teknologi tinggi, yang bisa diaplikasikan. Apalagi Indonesia punya beragam jenis kayu yang banyak dan dari sisi produksi masih mencukupi.
Pakar kehutanan dan pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Ricky Avenzora mengemukakan, terobosan mutakhir perlu diterapkan untuk menuntaskan masalah backlog alias ketimpangan akses perumahan di Indonesia.
“Masih bergulirnya isu backlog property dan kemahalan harganya menjadi salah satu indikator penting untuk menyatakan bahwa supremasi kayu untuk kebutuhan hidup manusia tidak bisa dipungkiri,” tegas Ricky, Kamis (7/9).
Kayu, ditegaskan Ricky, bagi kehidupan manusia, punya peran tak terbantahkan. Untuk itu, harus dijadikan dasar untuk memperbaiki kekeliruan besar yang telah dibuat kurun waktu lima dekade lalu di saat politik-lingkungan telah dibiarkan “menghancurkan” wood-based industry dan ekonomi Indonesia.
“Atas dasar isu lingkungan yang dihembuskan para antek-antek ecoterorism, kita semua telah gegabah dan “over-acting” dalam membangun sektor kehutanan kita yang menjadi sumber material penting, murah dan bersifat renewable untuk membangun rumah bagi rakyat,” tegas Ricky.
Ia menambahkan, terlepas dari valid tidaknya angka ketimpangan pasokan rumah dan kebutuhan rumah yang dipakai banyak pihak saat ini, dalam hal supply-capacity ada dua hal penting yang tidak bisa dipungkiri yaitu pembangunan perumahan rakyat telah menjadi sangat mahal, dan pembangunan perumahan rakyat telah kehilangan hakekatnya sebagai salah satu wujud penting dari tanggungjawab pemerintah untuk menegakan kesejahteraan serta keadilan sosial.
“Perlu kita sadari bahwa berbagai mining-based material yang dipakai dalam membangun perumahan selama ini adalah tidak hanya menimbulkan efek ekonomi tinggi dalam berkinerja, melainkan juga telah menimbulkan capital-flight yang luar biasa besarnya bagi keuntungan bangsa lain,” tegasnya.
Aspek kemahalan harga material properti, menjadikan harga rumah menjadi semakin tidak terjangkau oleh rakyat, dan kemudian pada fase berikutnya pada banyak kasus menyuburkan praktek-praktek pembangunan perumahan rakyat yang penuh dengan siasat-pemasaran yang tidak bertanggunjawab dan merugikam rakyat dalam hal kualitas rumah yang didapat.
Lebih lanjut, dijelaskan Ricky, pada ruang lain, menimbulkan efek persaingan usaha perumahan yang sangat tidak sehat. Akhirnya, kapitalisasi usaha perumahan hanya dikuasai oleh para pemilik modal besar; yang kemudian pada suatu fase menjadi sangat greedy untuk menguasai lahan, pasar dan mendikte harga perumahan.
Kata Ricky, dalam konteks membangkitkan wood-based-home-development, tidak perlu ada keraguan bahwa Indonesia memiliki potensi kayu yang lebih dari cukup untuk dipakai membangun perumahan rakyat setiap tahunnya.
Ia mengingatkan, jika dahulu kebutuhan kayu pertukangan selalu diorientasikan untuk dipasok melalui skema hard-wood yang umumnya menjadi ciri utama dari produk hutan alam, maka saat ini berbagai teknologi desain konstruksi, teknologi wood-compound, serta pengawetan kayu telah maju sangat pesat untuk mencapai efisiensi penggunaaan kayu secara luas dan murah. Jadi, tidak ada alasan lagi menafikan manfaat besar kayu dalam menyokong perumahan.
“Adapun untuk memberdayakan sektor kehutanan bagi pembangunan perumahan rakyat, empat hal penting mendesak dilakukan dan diterapkan secara konsisten, yaitu reengineering politik dan kebijakan kehutanan, reengineering politik dan kebijakan tata ruang, reengineering politik dan kebijakan ekonomi kerakyatan, serta mendesain program transisi yang masif serta terukur,” tegasnya.
Empat hal itu, ditegaskan Ricky, bukan hanya penting dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha dalam mendesain rencana kerja mereka secara berkelanjutan dan pasti, terutama berkaitan sokongan industri dan teknologi kayu, melainkan juga sangat diperlukan untuk mengangtisipasi cepatnya pertumbuhan populasi dan berbagai kebutuhannya.
“Politik dan kebijakan kehutanan perlu “dicuci gudang” dan dibersihkan dari semua paradigma placebo benefit yang dicanangkan oleh para anasir ecoterorism,” pungkasnya. (*)
*) Ricky Avenzora Akademisi/Pakar Kehutanan Pertanian IPB