KH Agus Salim, Pejabat yang Melarat Hingga Akhir Hayat

Sankyu

Jakarta  Prof William Schermerhorn, salah seorang pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati memiliki penilaian khusus tentang sosok Kiai Haji Agus Salim. Kebetulan saat itu Agus Salim menjadi delegasi perwakilan Indonesia bersama Mohammad Hatta dan Ahmad Soebardjo.

Menurut dia, Agus Salim adalah sosok orang yang sangat pandai, jenius dan menguasai sembilan bahasa. Tapi dia punya satu kelemahan, “yaitu selama hidupnya melarat,” tulis Prof Schermerhorn dalam catatan hariannya, Senin malam 1 Oktober 1946.

“Lewat jalan ini dengan sepeda, bagaikan naik perahu di atas air yang berombak,”

Mohammad Roem dalam buku Manusa dalam Kemelut Sejarah terbitan LP3ES, Februari 1978 melukiskan kesederhanaan seorang Agus Salim. Saat itu di suatu hari di tahun 1925, Roem diajak Kasman dan Soeparno ke rumah Haji Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, Jakarta.

Kasman dan Soeparno adalah pelajar Stovia kelas dua bagian persiapan. Adapun Roem pelajar kelas satu. Ketika itu Agus Salim menjadi penasihat Jong Islamieten Bond yang didirikan oleh Samsuridjal. Kasman dan Soeparno, anggota pengurus cabang Jakarta.

Maksud kedatangan mereka adalah ingin tahu kapan Haji Agus Salim mulai memberikan kursus agama Islam. Roem menggambarkan hari itu dari Asrama Stovia di Gang Kwini ke Tanah Tinggi ditempuh selama 10 menit dengan mengayuh sepeda.

Jalan yang diaspal hanya sampai stasiun Senen, seterusnya jalan tanah biasa dan berlubang-lubang serta becek. “Lewat jalan ini dengan sepeda, bagaikan naik perahu di atas air yang berombak,” begitu Roem melukiskan rute jalan ke rumah kontrakan Agus Salim.

Di serambi rumah, Agus Salim menyambut tetamunya dengan ramah. Sesudah bersalaman, ia mulai bicara kepada Kasman, “Hari ini Anda datang secara biasa. Kemarin peranan sepeda dan manusia terbalik.”

Sekda ramadhan

Sehari sebelumnya Kasman memang datang ke rumah kontrakan Agus Salim. Karena kondisi becek, ban sepeda yang dia tumpangi penuh lumpur sehingga tak bisa dijalankan. Terpaksa Kasman memanggul sepeda tersebut. “Kemarin saya datang, dan ditunggangi sepeda, bukan saya yang menunggangi sepeda,” sahut Kasman.

Agus Salim mengambil taplak meja dan kelambu untuk membungkus jenazah sang putra

Dalam catatan M Roem yang lain disebutkan bahwa Haji Agus Salim pernah tinggal di Gang Lontar Satu di Jakarta. Untuk menuju Gang Lontar Satu, harus masuk dulu ke Gang Kernolong, kemudian masuk lagi ke gang kecil.

Artawijaya dalam buku Belajar dari Masyumi juga menggambarkan bagaimana kesederhanaan seorang KH Agus Salim. Meski seorang pejabat negara, Agus Salim tak punya rumah pribadi. Hidupnya dihabiskan dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya.

Selain di kawasan Senen, Agus Salim juga pernah mengontrak di kawasan Karet Tengsin, Tanah Abang. Di Karet, ia tinggal di Gang Listrik. “Anehnya meski tinggal di Gang Listrik, rumah Salim pernah hidup tanpa listrik karena tak sanggup membayar iuran bulanan,” tulis Antawijaya.

Agus Salim, dia melanjutkan, adalah teladan pejabat yang mengedepankan kesederhanaan. Bahkan ketika salah satu anaknya meninggal dunia, dia tak mampu membeli kain kafan karena tidak punya uang. Terpaksa Agus Salim mengambil taplak meja dan kelambu untuk membungkus jenazah sang putra.

Ketika ada kolega yang membawa dan menawarkan kain kafan, Agus Salim menolak dengan halus. “Orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru. Untuk yang mati, cukuplah kain itu,” demikian kata Salim.

Kasman pun memuji kesederhanaan Haji Agus Salim sebagai seorang pemimpin. Dalam bahasa Belanda Kasman membuat ungkapan tentang sosok Agus Salim, “Een leidersweg is een lijdenweg. Leiden is lijden (jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin itu menderita),” kata Kasman. (*/Detik.com)

Honda