Selamatkan Demokrasi Dengan Memperkuat Ideologi Partai
Oleh: Anang Azhari, Koordinator Umum JRDP
Pemilu yang paling jurdil sekalipun, belum tentu dapat menghasilkan pemerintahan demokratis. Entah siapa yang kali pertama mengungkap pernyataan itu. Namun, setidaknya ungkapan itu mendapatkan pembenaran jika kita telaah riwayat perjalanan pemerintahan di Indonesia pasca reformasi 1998. Memang ada banyak sudut pandang. Misalkan korelasi antara sistem kepartaian yang berlalu dengan sistem pemerintahan yang ada. Terlebih, Indonesia menerapkan sistem otonomi daerah, dimana seorang kepala daerah juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini tentang konsolidasi politik antara penguasa daerah dan nasional. Atau pernyataan itu mampu juga diulas lewat pendekatan hukum.
Pasca reformasi, sudah lima kali hajatan pemilu digelar. Pertama tahun 1999, kemudian 2004, lalu 2009, lantas 2014, dan terakhir 2019 lalu. Pemilu kemudian menghasilkan sebuah rezim pemerintahan. Jika disimak, memang tidak ada perbedaan mencolok antar satu pemerintahan dengan pemerintahan lainnya. Korupsi masih terus terjadi, ketimpangan ekonomi semakin lebar, dan oligarki menemukan bentuknya yang sempurna.
Ini terjadi karena pemerintahan yang dibentuk oleh parpol pemenang pemilu sama sekali tidak menampakkan ideologi. Ideologi didefinisikan sebagai suatu sistem sebaran ide, kepercayaan, yang memebentuk sistem nilai norma serta sistem peraturan ideal yang diterima sebagai fakta dan kebeneran oleh kelompok tertentu
Asep Nurjaman, mengelompokkan ideologi partai di Indonesia menjadi empat ketgori.
- Parpol berideologi Islam. Masuk dalam kategori ini adalah PKS, PPP, dan PBB
- Parpol berideologi nasionalis sekuler. Di antaranya PDI Perjuangan.
- Parpol berideologi nasionalis religius. Contohnya, Partai Demokrat, PKB, PAN, dan Partai Golkar.
- Parpol berideologi nasionalis Kristen. Contohnya dulu ada Partai Damai Sejahtera (PDS).
Penggolongan parpol tersebut bukanlah suatu hal baku. Tergantung indikator yang digunakan sebagai dasar penggolongan. Ideologi Islam di situ digunakan ketika suatu parpol menggunakan istilah-istilah Islam dalam AD/ART nya. Sedangkan untuk nasionasilme religius, meskipun walaupun tidak menyebutkan Islam secara eksplisit, namun dalam AD/ART mencantumkan nilai-nilai agama dan moral. Sedangkan nasionalisme sekuler, manakala AD/ART sama sekali tidak menyebutkan istilah-istilah Islam, moral, dan ajaran agama.
Itulah mengapa, setiap parpol nampaknya begitu sangat pragmatis dalam menghadapi pencalonan pemilu dan atau pilkada. Koalisi dibentuk bukan berdasarkan kesamaan ideologi, namun kebutuhan untuk memenangkan pertarungan. Imbasnya, pemerintahan yang terbentuk juga abai terhadap pakem ideologi karena sejak awal mereka diselimuti satu kepentingan yang sama. Yakni, menjadi pemenang pemilu dan atau pilkada. Itulah doktrin pragmatisme politik. Asal menang, ideologi nomor kesekian.