Jokowi Dianggap Mempermainkan Ustaz Ba’asyir Untuk Elektabilitas
JAKARTA – Pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’asyir masih abu-abu. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto tiba-tiba menggelar konferensi pers yang menyatakan pemerintah akan mengkaji ulang pembebasan pendiri Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) tersebut.
Berkebalikan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada Jumat, 18 Januari, Wiranto mengatakan alasan kemanusiaan jadi nomor dua setelah Ba’asyir menolak menandatangani surat pernyataan setia pada Pancasila dan NKRI.
“[Pembebasan Ba’asyir] masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya seperti aspek Pancasila, NKRI, hukum, dan lain sebagainya,” kata Wiranto dalam konferensi pers berdurasi tak lebih dari lima menit di Jakarta, Senin (21/1/2019).
Apa yang disampaikan Wiranto sebenarnya sudah disanggah kuasa hukum Ba’asyir dari Tim Pengacara Muslim (TPM). Maksud dari penolakan Ba’asyir adalah dia hanya setia kepada Islam, tapi bukan berarti anti-Pancasila dan NKRI.
“[Ba’asyir bilang] ‘kalau Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, saya pilih Islam saja,’” kata kata salah satu anggota TPM Achmad Michdan, kemarin. “Ustaz 81 tahun, terus kita mau bagaimana supaya karakternya diubah? Itu amat prinsip,” tambahnya.
Pertimbangan Elektabilitas
Rencana pembebasan dan kemudian pembatalan ini dibicarakan di mana-mana, termasuk oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga. Juru bicara BPN, Ferdinand Hutahaean mengatakan pemerintahan Jokowi tak konsisten. Ia kemudian menduga ada motif politik di balik ini semua.
Ferdinand menduga, rencana pembebasan awalnya agar pemilih beragama Islam simpati dan akhirnya memilih Jokowi-Ma’ruf pada pilpres nanti. Karena itu pula alasan yang digembar-gemborkan adalah ‘kemanusiaan’. Namun kemudian, petahana dan tim sadar jika itu justru tidak direspons positif. Lantas muncullah keputusan pembatalan.
“Mungkin Jokowi salah kalkulasi. Dia berharap [umat] Islam mendukung dia, ternyata hasilnya sebaliknya,” kata Ferdinand kepada reporter Tirto, Selasa (22/1/2019).
Hal ini, kata Ferdinand, jelas tak etis.
“Jokowi mempermainkan rasa kemanusiaan seorang ustaz Abu Bakar Ba’asyir hanya karena masalah elektoral; elektabilitas,” katanya. “Kecuali kalau Jokowi tetap bebaskan [Ba’asyir] dengan alasan kemanusiaan. Ya mungkin dia malah dapat poin.”
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menduga serupa, bahwa keputusan Jokowi memang berhubungan dengan Pilpres 2019.
“Selama ini, kan, Jokowi dikesankan anti-Islam dan ini masih melekat,” kata Ujang kepada reporter Tirto.
Bagi Ujang, respons negatif muncul karena Jokowi dianggap sebagai kepala negara yang membiarkan bekas teroris plus anti-NKRI bebas; plus melanggar hukum karena pembebasan Ba’asyir menyalahi prosedur. Inilah yang menurutnya melatari Wiranto ‘menganulir’ keputusan Jokowi.
“Tentu pada tahun politik kebijakan presiden akan berdampak politis.”
Sebetulnya, TPM, juga Ba’asyir, sadar bahwa memang ada faktor politis di balik rencana pembebasan itu.
“Saya jelaskan bahwa ini tahun politik, pasti ditarik ke kanan dan kiri. Ustaz pun berkata sesuatu yang tidak perlu [disampaikan ke publik] karena saya tidak mau mempolitisir ini,” kata Ketua Pembina TPM, Mahendradata, kemarin (21/1/2019).
Juru Bicara TKN Jokowi-Ma’ruf, Ace Hasan Syadzily, menyanggah semua asumsi itu. Pertama, ia mengatakan awalnya rencana pembebasan memang atas pertimbangan kemanusiaan—bahwa Ba’asyir sudah tua, sakit-sakitan, dan lain-lain—tapi kemudian itu harus diimbangi pertimbangan lain.
“Jika Ba’asyir tidak menunjukkan kesetiaannya kepada Pancasila dan UUD 1945, kebijakan tersebut patut dikaji ulang,” kata Ace kepada reporter Tirto.
Sanggahan kedua adalah soal keterkaitan dengan politik. Dia mengatakan sama sekali tidak ada maksud tersembunyi dari Jokowi untuk menarik simpati pemilih Islam ketika berencana membebaskan Ba’asyir.
“Ini tidak ada kaitannya dengan elektabilitas,” pungkasnya. (*/Tirto)