(Oleh: Hanief Adrian, Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle)
Bung Khalid Zabidi dalam statusnya mengingatkan kembali bahwa perdebatan Islam dan Kenegaraan sudah terjadi setidaknya tiga kali: di sidang BPUPKI, sidang Konstituante, dan surat-menyurat antara Nurcholis Madjid, Mohammad Roem dan Amien Rais. Namun dalam perjalanan sejarah, pendukung Islam Politik sendiri sudah berupaya keras mewujudkan ideologi Islam sebagai ruh Negara Kesejahteraan di Indonesia.
Dari sekian kubu politik tua dan besar yang pernah ada di Indonesia, dapat dikatakan bahwa Partai Islam Masyumi adalah partai politik pertama di Indonesia yang menelurkan konsep Negara Kesejahteraan dalam program politiknya. Urgensi Partai yang diterbitkan Harian Abadi yang pro-Masyumi menjelang Pemilu 1955. Masyumi mengawinkan etos kerja pedagang pribumi Islam dan persekutuannya dengan taipan Cina, Arab dan modal asing Eropa untuk meningkatkan upah kerja, peningkatan koperasi dan kapasitas borjuasi kecil pribumi, plus kebijakan upah sosial yang dibayar oleh negara.
Pemikiran ekonomi ini dipromosikan Syafruddin Prawiranegara, mantan Menteri Kemakmuran pada Kabinet Hatta, Menteri Keuangan pada Kabinet Natsir dan Gubernur Bank Indonesia pertama yang berposisi pro modal asing Eropa secara terang-terangan. Tokoh lainnya adalah Yusuf Wibisono, tokoh buruh SBII onderbouw Masyumi yang menolak strategi pemogokan sekaligus Menteri Keuangan era Kabinet Sukiman-Suwiryo yang memperkenalkan kebijakan THR untuk pegawai negeri dan swasta.
Hanya saja kampanye program ekonomi Masyumi tidak dibarengi dengan kebijakan jelas dengan bagaimana Pemerintah menjalankan program tersebut, apakah dibiayai pajak yang jelas akan memberatkan kelas borjuis kecil Muslim Pribumi, atau memberikan keleluasaan pada daerah dengan otonomi dengan berakibat menurunnya pemasukan negara. Syafruddin adalah proponen pajak usaha agar meningkatnya upah kerja dan belanja tidak memicu inflasi, di samping itu Syafruddin adalah pelopor utama pengetatan anggaran dan rasionalisasi pegawai negeri sipil dan militer. Mazhab anggaran ketat ala Syafruddin justru tidak sinkron dengan kebijakan PM Sukiman Wiryosanjoyo dan Menkeu Yusuf Wibisono yang dikenal dekat dengan golongan Nasionalis PNI dan Islam tradisional seperti NU dan Perti, yang senang mempermudah lisensi ekspor-impor.
Jusuf sendiri saat kembali menjadi Menkeu di era Kabinet Ali Sastroamijoyo II (1956) dibicarakan banyak orang ketika mempermudah lisensi impor untuk sebuah usaha dagang milik tokoh utama pendiri NU.
Namun jika dibandingkan dengan program ekonomi yang dipromosikan PNI yang bermazhab radikal dan mengupayakan nasionalisasi perusahaan asing, atau PKI yang terus-menerus menggerakkan pemogokan buruh dan pendudukan petani atas lahan kebun milik Belanda, IPKI partai kecil yang didirikan para perwira militer kubu AH Nasution dan mendorong kembali ke UUD’45, bahkan NU, Perti, PSII yang tidak memiliki program ekonomi jelas, Masyumi bisa dikatakan memiliki program ekonomi paling masuk akal di tengah situasi meningkatnya inflasi dan terkurasnya keuangan negara akibat operasi militer menumpas DI-TII dan lain-lain. Rasionalitas politik dan ekonomi Masyumi menyebabkan para tokoh PSI, Parkindo dan Partai Katolik yang secara ideologi saling bertolak belakang, konsisten mendukung eksistensi Masyumi hingga dibubarkan Bung Karno tahun 1960.
Antara Politik Modern dan Garis Massa Islam Politik
Dengan pandangan modern dari tokoh-tokohnya dan program yang rasional, Masyumi terhindar dari kampanye politik identitas Muslim vs Non-Muslim (kecuali terhadap PKI). Masyumi bisa diterima berkampanye di Sulawesi Utara dan Tengah yang mayoritas Kristen namun memiliki populasi Muslim Signifikan di Bolaang Mongondow, Gorontalo dan Donggala. M. Natsir secara terbuka menentang nasionalisasi perusahaan Belanda yang diikuti dengan pengusiran kaum Eropa karena jelas berakibat menurunnya ekspor sumber daya alam.
Bahkan saat gelombang kerusuhan anti-Cina yang digerakkan pidato Mr. Assaat, mantan Ketua KNIP dan pejabat Presiden RI era RIS, Syafruddin Prawiranegara secara terbuka di Harian Abadi menyesalkan pernyataan Assaat yang dikenal sebagai tokoh non-partai namun berjiwa pemersatu, tetapi memicu kerusuhan rasial.
Kampanye tentang program ekonomi Masyumi sendiri tidak banyak menarik massa yang terpesona dengan retorika radikal PNI dan PKI yang pada saat itu mengajak Indonesia mendekat dengan Republik Rakyat Tjina, India dan Burma demi memperkuat blok baru yang merdeka dari pengaruh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Di Jawa yang padat penduduknya, Masyumi dipukul keras dengan tuduhan penggerak pemberontakan Darul Islam yang hendak menegakkan Negara Islam Indonesia dan antek Amerika Serikat. Tuduhan ini tidak bisa dikatakan tidak berdasar karena setidaknya ada tiga fakta yang mendukung:
1. Kebijakan Syafruddin yang memotong anggaran dan mendevaluasi Rupiah, merugikan pengusaha dan petani di pedalaman yang merupakan pendukung utama PNI dan NU;
2. Kabinet Sukiman pada tahun 1952 menandatangani Mutual Security Act tanpa sepengetahuan Perdana Menteri, dan yang menandatanganinya adalah Menlu Ahmad Subarjo yang secara politik adalah kader Tan Malaka;
3. Pengikut DI-TII terutama di Jawa Barat dan Aceh, kebanyakan adalah kader dan kerabat keluarga Masyumi. Kartosuwiryo adalah pendiri Masyumi, dan Tgk Daud Beureueh adalah pendiri Masyumi Aceh.
Masyumi sendiri lebih berfokus menghadapi agitasi keras PKI yang berideologi 180 derajat berbeda jauh dengan ideologi Islam Masyumi. Dalam beberapa kampanye, ulama pendukung Masyumi memfatwakan haram memilih caleg DPR dari kelompok Komunis (Murba, PKI, Acoma-Trotskyis). Ketua Umum M. Natsir berkali-kali mengingatkan masyarakat Muslim untuk memilih caleg Muslim dari Masyumi, yang artinya tentu berebut suara dengan NU, PSII dan Perti.
Bentrokan fisik antara kader militan Masyumi dan PKI di Jawa Timur seringkali tidak terhindarkan. Masyumi sendiri percaya diri dengan jumlah pemeluk Islam secara statistik 90% dan dominannya kursi mereka di Parlemen.
Hasilnya? Masyumi menang telak di Sumatera, Kalimantan Barat, Timur, Sulawesi dan Maluku. Di Jawa mereka berdarah-darah memenangkan dapil Jakarta dan Jawa Barat, sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur mereka kalah dari PNI dan NU. Masyumi menahbiskan diri sebagai ‘Partai Luar Jawa’ dengan kedudukan kursi yang imbang dengan PNI di DPR dan nomor dua di Konstituante. Performa politik Masyumi semakin menurun dengan terlibatnya Natsir, Syafruddin dan mantan PM Burhanudin Harahap dalam proklamasi PRRI-Permesta yang sebenarnya lebih berbau gerakan insubordinasi faksi Militer anti-PKI dan anti KSAD Jenderal Nasution.
Bergabungnya tiga tokoh Masyumi dalam gerilya di Sumatera Tengah ini dimanfaatkan benar oleh PKI untuk menghabisi ketiga tokoh tersebut dengan cara menyusup ke dalam Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR), milisi bentukan Pemerintah Pusat untuk menumpas PRRI di Sumatera Tengah. Natsir, Syafruddin dan Burhanuddin lolos dari buruan OPR, sementara Kolonel Dahlan Jambek, putra tokoh Masyumi Syekh Muhammad Jamil Jambek, tewas dalam suatu operasi.
Trauma Sejarah dan Paranoia Islam Politik
Runtuhnya kekuatan Islam Politik terbesar dalam sejarah Republik ini meninggalkan luka mendalam bagi Masyumi dan para penerusnya hingga hari ini. Sekali gerakan Islam Politik muncul, maka paranoia dari kelompok Nasionalis Radikal, Islam Tradisional dan Sayap Kiri lebih sering muncul dalam wacana publik ketimbang wacana Negara Kesejahteraan yang pernah didengungkan Masyumi sebagai program politik, ekonomi dan sosial Islam di Indonesia.
Cak Nur dengan jargon ‘Pembaharuan Pemikiran Islam’ sebenarnya berupaya membumikan wacana Keislaman agar mampu menghadapi tantangan ekonomi-politik kekinian dengan cakupan lebih luas dari sekedar politik elektoral 5 tahunan, namun slogan Cak Nur yang terkenal ‘Islam Yes, Partai Islam No’ dipeyorasikan menjadi gerakan menjauhkan Islam dari politik. Hal ini bertentangan dengan fakta sejarah bahwa Cak Nur pada tahun 1971 berkampanye untuk Parmusi dan 1977 di PPP, rumah besar ummat Islam yang didirikan Rezim Orde Baru.
Para penerus Masyumi terus dijebak dengan retorika politik identitas di level akar rumput, alpa menyusun program ekonomi-politik nyata untuk rakyat. Politik identitas sendiri menjadi wajar dimainkan secara elektoral karena Indonesia memilih sistem demokrasi liberal sejak reformasi, isu identitas menjadi komoditas politik yang paling laku diperjualbelikan oleh partai politik manapun, termasuk yang berasas Nasionalis Sekuler sekalipun.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berkali-kali menahbiskan diri sebagai penerus Masyumi, tidak mampu menaikkan jumlah pemilih, hanya mampu mempertahankan loyalitas pemilih yang berbasis usrah-usrah pengajian yang pada hari ini sudah meluas dari lingkungan kampus.
Paranoia ini terus dipelihara oleh kelompok Nasionalis Sekuler dan juga kelompok Islam Tradisional yang menolak segala agenda gerakan Pan-Islamisme, arus pemikiran utama yang mewarnai Islam Politik di Indonesia.
Adalah fakta sejarah bahwa pengikut Masyumi terlibat dalam DI-TII, kemudian elit Masyumi terlibat PRRI dan berupaya mendirikan Republik Persatuan Indonesia, catatan sejarah yang menjadikan Soeharto dan Rezim Orde Baru menolak kembalinya Natsir dkk ke panggung politik.
Kalangan Islam Tradisional sendiri masih belum melupakan catatan bahwa elit mereka yang berasal dari pesantren dipinggirkan perannya oleh elit Masyumi yang berlatar belakang pendidikan Belanda.
Trauma sejarah ini juga yang menjadikan penguasa baru memerlukan kekuatan ummat di saat-saat tertentu saja, ummat diberi peran hanya sebagai tukang dorong mobil mogok.
Mendudukkan Kembali Garis Massa Islam dan Cita-Cita Mewujudkan Negara Kesejahteraan
Ajakan Bung Khalid untuk duduk kembali membicarakan arah dan ideologi bangsa kita melihat situasi politik dan ekonomi kekinian perlu ditanggapi dengan serius, karena kooptasi kekuasaan menunggangi ummat hanya untuk kepentingan elektoral sesaat, untuk kemudian memasukkan ummat ke dalam kerangkeng dan menginjak-injaknya dengan kejam atau mematikan ummat pelan-pelan, bukan kejadian sekali-dua kali di Republik Indonesia.
Harus diakui wacana terpelajar dan mencerahkan bagaimana ruh keadilan yang diperjuangkan Islam dipinggirkan jauh oleh retorika populis dan dangkal tentang kesejahteraan yang sebenarnya diwujudkan dengan cara serampangan.
Garis Massa Islam sendiri terjebak dalam retorika populis dan kisah-kisah keadilan individu yang tidak akan berguna ketika dihadapkan pada realitas ketidakadilan sosial di depan mata. Dan hari ini, wacana kaum terpelajar dan tercerahkan tidak mungkin dibenturkan dengan Garis Massa Islam yang semakin kuat, justru pencerahan-pencerahan ini harus beresonansi dengan garis massa.
Kegagalan masa lalu Masyumi adalah ketidakmampuan para elit politiknya yang berpandangan modern dalam membaca garis massa Islam, kemudian tergerus dalam politik elektoral dan kalah ketika dihadapkan pada represifitas penguasa. Maka penting bagi kaum terpelajar untuk masuk dalam logika garis massa Islam, agar gerakan yang ada tidak hanya bernafas panjang secara spiritual, namun juga siap memenangkan pertarungan-pertarungan ke depan. (*)
Sumber: